21 Juli 2007

ProDemokrasi, Tabloid Pertama di Sultra

KALAU Media Kita adalah koran harian pertama di Sultra, maka ProDemokrasi adalah tabloid pertama yang ada di Bumi Anoa tersebut. Bedanya, Media Kita lahir 3 tahun sebelum reformasi, sedangkan ProDemokrasi lahir setahun setelah reformasi bergulir. Perbedaan lainnya Media Kita berada dalam grup besar, yakni Jawa Pos, sedangkan ProDemokrasi tidak ada apa-apanya. Dia hanya didirikan oleh praktisi pers dan hukum.
Pendirinya 6 orang terdiri 4 dari kalangan pers dan dua dari praktisi hukum. Saya dari pers bersama Sultan Eka Putra, Mappajarungi, dan Andi Sangkarya Amir. Dua dari praktisi hukum adalah Arbab Paproeka SH (kini anggota DPR dari PAN Sultra) dan Baso Sumange Rellung SH (advokat pertama di Sultra). Keenamnya bertemu dalam suatu kesempatan di Hotel Aden Kendari. Dari perbincangan semua ingin adanya media independen yang bisa menjadi penyeimbang terhadap arus informasi di Sultra yang trend-nya makin tidak punya greget.
Dari perbincangan itu disetujui mendirikan Tabloid ProDemokrasi, belakangan populer disebut ProDem। Modalnya adalah sharing dari keenam pendiri ini। Dari enam itu pula kami bagi tugas. Dalam akte, ada dewan pendiri dan dewan pengurus. Pendiri adalah 5 orang, pengurusnya 6 orang. Yang pendiri juga adalah pengurus, yang pengurus juga masuk sebagai pendiri. Cuma dibolak balik saja. Yayasan inilah yang menerbitkan ProDem.



KRU PRODEM DAN KENDARI EKSPRES DALAM SUATU ACARA KELUARGA (ULTAH KE-6 ANAK SAYA) DI KENDARI. TAMPAK INDARWATI, ASTIAN, (ALMH) MULIATI, LA ODE ANDI MUNA, DAN DEDI MUHAMMAD


ProDem adalah tabloid pertama di Sultra. Dia juga tabloid pertama di luar Jawa di era reformasi setelah Tabloid Topik di Makassar. Di Sultra belakangan mucul tabloid lain dengan segmen dan content yang mirip satu sama lain. Semua juga didirikan oleh praktisi pers. Almarhum H Nasrun Yahya menyusul menerbitkan Tabloid Topik Info beberapa bulan setelah ProDem.
Tabloid ProDem dikelola secara swadaya। Para pendiri misalnya Arbab Paproeka, Baso Sumange, Sultan Eka, dan saya sangat yakin ini bisa maju। Itu karena SDM tabloid ini umumnya adalah orang-orang yang sudah jadi। Orangnya hampir separoh pindahan dari Harian Media Kita. Mereka eksodus karena ada problem di sana. Sultan Eka Putra adalah manajer iklan di Media Kita, Astian yang staf iklan di Media Kita juga pindah.
Untuk AJI, dari beberapa nama yang direkomendasikan dalam pertemuan pembentukan AJI Kendari, nama saya ditetapkan oleh AJI Indonesia sebagai ketua. Sekretaris ditunjuk Mappajarungi. Kepengurusan dilengkapi kordinator-kordinator. Arbab dan Baso Sumange juga masuk. Mengapa? Karena keduanya ikut banyak bersuara soal kebebasan pers, selain karena dia pun orang pers dengan mendirikan ProDem.
Yang berseni dari pengelolaan ProDem adalah saat tiba waktu mau cetak. Iklan dan langganan belum tertagih tapi kami sudah harus bayar biaya cetak. Untuk mengantisipasi, terpaksa rogoh kocek sendiri. Dari kantong Arbab sudah tak terhingga lagi. Pengambilan dari uang pribadi para pendiri dihitung sebagai saham masing-masing. Kalau mau dihitung Arbab-lah pemegang saham mayoritas.
Di tengah perjalanan mengelola ProDem, saya pelan-pelan mengurus pendirian Koran Kendari Eksres. Pembicaraan dengan Alwi Hamu sudah oke. Tinggal bagaimana terbitnya. Padahal kantor, SDM, dan fasilitas lainnya belum dikasih. Saya berencana memanfaatkan dan sharing dengan ProDem. SDM-nya saya pakai untuk menerbitkan Kendari Ekspres, begitu juga fasilitasnya. Kantor ProDem yang merupakan ruko 3 lantai milik istri saya harus rela mau dipakai secara gratis. ProDem di lantai 3, Kendari Ekspres di lantai 2.
Sayangnya, rencana saya ditentang Mappajarungi.Dia tidak siap sharing. Sempat tegang meski akhirnya dia memilih opsi dengan memindahkan kantor ProDem ke tempat lain. Mantan-mantan Media Kita memilih Kendari Ekspres, sementara rekrutan baru ProDem memilih ikut pindah. Mappajarungi memboyong ProDem dengan alasan saya telah meninggalkan ProDem. Penilaian yang sebetulnya tidak benar.


17 Juli 2007

Bantu-Bantu Sepakbola Kendari

SAYA termasuk penggemar sepakbola. Dari kecil sudah senang dengan permainan ini. Semasa SMP saya dan teman-teman suka bermain bola di lapangan sepakbola Kampus Unhas lama di kawasan Bara-baraya, Makassar. Kebetulan lapangan itu berada di tengah-tengah kompleks perumahan dosen Unhas. Anak-anak dosen Unhas waktu banyak yang ikut main bola. Latihan bersama, lalu ikut kejuaraan antar kecamatan se-Makassar.
Kami semua membela Kecamatan Tallo. Saya termasuk pemain inti dengan posisi stopper, waktu itu dikenal dengan nama poros halang. Ada juga yang namanya kiri luar dan kanan luar. Saya pakai kostum nomor 5. Sayang waktu itu kami hanya lolos sampai babak kedua. Dari situ dunia sepak bola sudah menjadi bagian saya. Latihan dan latihan terus, sampai ikut memperkuat SMA Islam dalam berbagai pertandingan.


BERSAMA SUHEDDANG ASDAN (DUDUK) SELAKU WAKIL BENDAHARA PERSATUAN SEPAKBOLA KENDARI SAAT AUDIENSI DENGAN PIMPINAN BANK INDONESIA CABANG KENDARI

Saat bekerja di Media Kita, 1995/1996, sepakbola juga menjadi perhatian saya. Saya lihat sejarah, Jawa Pos maju salah satunya karena mendukung Persebaya yang memiliki banyak penggemar. Jawa Pos-lah yang membentuk komunitas bonek, dan bonek ini sangat sayang dengan Jawa Pos. Cara Jawa Pos diikuti Harian FAJAR. Koran ini pun mendukung habis-habisan PSM Makassar, sehingga suporternya sangat mencintai koran ini. Kalau PSM main di luar kandang, cara suporter untuk mengetahui skor pertandingan adalah menanyakan ke FAJAR. Saya selalu menerima telepon penggemar itu saat saya masih di FAJAR.
Cara Jawa Pos dan FAJAR itu saya coba terapkan di Media Kita. Sayangnya tradisi sepakbola di Kendari sama sekali tidak ada. Tim perserikatannya yang dikenal hanyalah Persatuan Sepakbola Kendari (PSK), tapi stagnan dan hanya bercokol di Divisi II PSSI. Parahnya, pengurus perserikatan sudah 10 tahun mandek, tanpa ada pergantian. Tumbo Saranani sudah berkarat di sana tanpa diganti-ganti. Saya miris juga melihatnya. Ada club, tapi itu hanya binaan Kanwil/Dinas PU. Pemainnya bagus-bagus, tapi sayang mereka tidak bisa menjadi pemain profesional karena PSK-nya mandek.
Saya mencoba masuk guna meretas kebekuan sepakbola di Kendari itu. Tujuan saya dua, yakni memajukan sepakbola Sultra dan sekaligus menjadikan koran saya, Media Kita, sebagai bacaan wajib para insan sepakbola, seperti Jawa Pos dan Harian FAJAR tadi. Untuk masuk, tidak gampang. Sebab, saya bukan orang lama di Kendari. Juga karena memang tidak ada tradisi sepakbola di sana. Pengurusnya karatan.
Tapi saya punya ide. Mula-mula saya mendatangi para dedengkot sepakbola. Tanya ini itu. Benar terjadi stagnasi pembinaan lantaran pengurusnya tidak pernah diganti-ganti. Padahal Tumbo Saranani yang memegang perserikatan di sana adalah wasit nasional yang cukup dikenal di kancah sepakbola Indonesia. Dari situlah saya masuk. Saya bikin diskusi berkala dengan tema tunggal: "PSK Menuju Divisi I PSSI". Ya, itu karena PSK terus saja bercokol di Divisi II. Jadi targetnya Divisi I dulu baru kemudian berusaha lolos ke Divisi Utama. Step by step.
Menggelar diskusi pun tidak mudah. Saya harus pontang panting cari sponsor. Lagi pula waktu itu Harian Media Kita tidak punya budget untuk itu. Yang bisa dilakukan hanyalah mensuport pemberitaan. Jadinya saya jalan sendiri mencari dana untuk diskusi, tak sedikit pula saya merogoh kocek untuk itu. Nama-nama seperti Zaenal Asmada, Umar Saranani, Anwar Hamzah, Suheddang Asdan, Sultan Eka Putra, Tumbo Saranani, Ritonga, sudah cukup akrab dalam setiap diskusi. Orang penting lainnya adalah Buhari Matta (kini Bupati Kolaka, Sultra).
Empat kali diskusi digelar akhirnya ditemukan solusi, bahwa pertama-tama yang harus dilakukan adalah merestrukturisasi pengurus. Pengurus lama harus legawa berhenti dan diganti yang benar-benar gila bola. Semua setuju demi sepakbola Kendari. Untuk memilih pengurus, semua menyerahkan pada Walikota Kendari yang waktu itu dijabat Masyhur Masie Abunawas. Memang begitu karena perserikatan sebenarnya adalah milik Pemkot atau Pemda.
Hasilnya, Masyhur Masie Abunawas jadi ketua umum PSK, Buhari Matta jadi ketua harian, Amran Yunus sebagai bendahara, Asdan wakilnya, dan saya bersama Ahmad Mujahid cukup sebagai sekretaris. Pengurus terbentuk, dilanjutkan dengan sosialisasi secara gencar. Ekspos di Media Kita luar biasa besar. Saya bahkan mengumumkan secara besar bahwa akan ada seleksi pemain PSK untuk proyeksi masa depan. Tak lupa saya melalui Media Kita membuat rubrik poling untuk mencari julukan yang tepat untuk tim PSK. Akhirnya didapat: "Pasukan Anoa".
Langkah selanjutnya adalah seleksi pemain. Saya mengurus sosialisasi dan menyiapkan material kelengkapan. Dana terkumpul cukup banyak untuk menyiapkan tim. Dana pribadi Buhari Matta tak terhitung lagi. Setelah seleksi, didapat 40 pemain. Inilah yang ditempa dengan melakukan banyak kali ujicoba. Misalnya melawan PSM Makassar, PSM All Star, PSK All Star, Tim AL Kendari, Tim Linud Kendari, dan sebagainya. Ada harapan bisa lolos ke Divisi I.
Dan, ternyata memang dalam Kompetisi Divisi II se Sultra, Pasukan Anoa juara setelah mengalahkan Persimuna di kandang lawan, Stadion Paelangkuta Muna. Tahun 1997 PSK mewakili Sultra berlaga di Divisi II regional Sulawesi. Di saat PSK sudah mulai menapaki sukses, saya justru berhenti dari Harian Media Kita. Kepemimpinan Media Kita di bawah Kamil Badrun justru sangat phobia dengan sepakbola Kendari. Dia tidak mendukung, saya pun mundur.



MEWAKILI REDAKSI MEDIA KITA DALAM RUPS JAWA POS GROUP DI SURABAYA


Saat reformasi bergulir, orde baru tumbang, semua jadi banyak berubah. Saya kembali ke habitat sebagai jurnalis dengan mendirikan Tabloid ProDemokrasi. Selanjutnya menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari. Seluruh wartawan ProDemokrasi ikut masuk anggota AJI, kemudian mendirikan pula Kendari Ekspres, juga milik Jawa Pos. Saya ditunjuk jadi pemimpin umum/pemimpin redaksinya.

12 Juli 2007

Sebagai Starter di Koran Media Kita


MENYAMPAIKAN PIDATO PADA ACARA PERINGATAN HUT KE-2 HARIAN MEDIA KITA.

Jawa Pos diakui sangat sukses mengembangkan anak perusahaan. Hingga kini Jawa Pos Grup telah memiliki 150 media yang tersebar sampai ke ibu kota kabupaten. Pada tahun 2000 seluruh ibu kota provinsi sudah dikuasai Jawa Pos. Salah satu anak perusahaannya adalah Kendari Pos yang mula didirikan bernama Media Kita.
Media Kita terbit pertama pada 1985. Mulanya adalah dwi mingguan namun setelah diakuisisi Jawa Pos langsung terbit secara harian. Pendiriannya pun cukup berliku. Direktur Pengembangan Anak Perusahaan Jawa Pos, Alwi Hamu, ada di belakang akuisisi itu. Tercatat beberapa kali Alwi Hamu bolak-balik Makassar-Kendari untuk sosialisasi rencana penerbitan Harian Media Kita. Saya sempat mempertemukan dengan Gubernur La Ode Kaimuddin, dan mengawal rencana pendirian Harian Media Kita ini.
Bersama Aidir Amin Daud, saya juga diminta ikut bantu-bantu rekruitment wartawannya. Iklan penerimaan wartawan berkali-kali ditayangkan di Harian FAJAR. Banyak pendaftar, bahkan ada yang langsung dari Makassar. Yang menonjol dalam rekruitment itu adalah mereka yang berlatarbelakang aktivis kampus dan pengelola pers di kampusnya. Nama-nama seperti Jufri Rahim, Jumwal Saleh, Rustam, Andi Sangkarya Amir, Ciman, Indarwati, dan lainnya adalah nama-nama yang sukses bertahan sebagai jurnalis profesional.
Selain itu, personil lama dwi mingguan Media Kita juga terpakai untuk sharing pengalaman dengan wajah-wajah baru. Personil lama yang masih saya ingat adalah Benyamin Bittikaka, Altor M. Opposunggu, almarhum Nasrun Yahya, Luther Bittikaka, La Witiri, dan H Hasan. Ada pula La Paa yang belakang hengkang dari Pelita. Beberapa juga didatangkan dari Harian FAJAR, di antaranya Ramli Ahmad, Sultan Eka Putra, Purwanto, Anis, dan lain-lainnya.
Sebelum terbit pertama, disusun masing-masing penanggungjawab halaman. Rapat dipimpin Alwi Hamu dan H Syamsu Nur, direktur Harian FAJAR, bersama PP Bittikaka dan Aidir Amin Daud. Semua halaman terbagi rata. Orang-orang lama masing-memegang halaman, termasuk La Paa. Sebagai Redaktur Pelaksana ditunjuklah saya bersama Ramli Ahmad. Saya dipilih karena diharapkan roh Jawa Pos ikut bersemayam dalam liputan-liputannya. Kebetulan saya adalah orang Jawa Pos yang ditempatkan di Kendari Sultra. Paling tidak kehadiran saya bisa mewakili Jawa Pos, sama dengan yang lainnya di setiap anak perusahaan yang diakuisisi. Ramli Ahmad memang bukan dari Jawa Pos langsung, tapi hasil tempaan Harian FAJAR yang nota bene para jurnalisnya juga berguru dari Jawa Pos.


JAJARAN REDAKSI MEDIA KITA KETIKA AUDIENSI DENGAN DANREM HALUOLEO KENDARI I.H. NASUTION. DARI KIRI LAPAA, NASRUN YAHYA (ALM), SYAHRIR LANTONI, ALTHOR M. OPPUSUNGGU, I.H. NASUTION, PP BITTIKAKA, KARIM, DAN RAMLI AHMAD.

Terbit pertama cukup melelahkan. Pak Ancu -panggilan akrab Syamsu Nur- bahkan sampai tidak tidur menuggu cetakan pertama koran Media Kita.Sebagai rasa syukur kami mengundang para pejabat Sultra untuk menyaksikan proses pembuatan koran kami. Kanwil Penerangan, Karo Humas Pemda Sultra berkenan datang. Tak ketinggalan sesama profesi wartawan yang bertugas di Sultra. Inilah koran harian pertama dan satu-satunya di Sultra. Koran harian yang sebetulnya sangat dinanti-nantikan di daerah itu.
Tahun pertama memang berat. Banyak pekerjaan berat yang harus dilakukan seluruh komponen. Apalagi saat itu tradisi keagenan di Sultra nyaris tidak ada, lebih-lebih biro Iklan. Koran nasional yang beredar di Kendari kebanyakan disalurkan oleh toko-toko buku. Mereka bukan agen, tapi toko buku. Mereka hanya mengantar pesanan, bukan perambah pasar koran. Jadi jajaran Media Kita pun harus membentuk agen sendiri. Nanti akan dibina. Ternyata mencari agen pun susah-susah banget.
Itu berlangsung setahun. Pada tahun kedua keagenan dan iklan mulai menggeliat. Media Kita pun mulai diterima sampai ke pelosok-pelosok kecamatan di seluruh kabupaten di Sultra. Agen dan pembinaannya makin baik. Iklan mulai mengalir. Liputan-liputan khas Jawa Pos juga makin beragam. Dari 8 halaman ditingkatkan jadi 12. Dalam kurun waktu 2 tahun Koran Media Kita sudah menjadi pilihan utama di Sultra. Tidak ada saingan, dan terus melenggang sendiri.
Secara kuantitas saya ikut puas, namun secara kualitas Koran Media Kita belum ada apa-apanya. Kualitas sangat dipengaruhi oleh salah satunya soliditas pengelolanya. Ternyata konflik sudah masuk, dua kepentingan beradu di dalam. Sebenarnya konflik internal ada di mana-mana. Di grup Jawa Pos selalu terjadi, dan yang paling sering modusnya adalah pemilik lama melawan manajemen baru. Tapi sejauh ini semua konflik itu selesai dengan sendirinya ketika semua bertindak untuk kepentingan perusahaan, bukan kelompok, apalagi agama.
Di tengah konflik itu saya diminta keluar. Alwi Hamu menggaransi akan membuatkan satu koran lagi di Kendari. Saya setuju, dan kembali ke habitat saya di Jawa Pos. Aku akhirnya leluasa bergerak melakukan liputan-liputan untuk Jawa Pos, sementara Harian Media Kita berganti nama menjadi Kendari Pos.

09 Juli 2007

Bupati Usir Wisatawan, Usir Wartawan

JOB pertama di Jawa Pos adalah meliput kasus pengusiran wisatawan asing di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra). Saat itu Kabupaten penghasil kayu jati terbesar di Indonesia Timur itu dipimpin Drs Maola Daud (kini almarhum). Maola Daud termasuk pemimpin yang berhasil. Namun entah apa, ketika wisatawan asing berkunjung ke wilayahnya tiba-tiba diusir. Istilah kami waktu itu adalah pengusiran.
Pada Maret tahun 1992 itu, media massa yang memberitakan pertama hanya Jawa Pos. Sebenarnya ada koran lokal yang belakangan ikut memberitakan, yaitu Mingguan Nusantara Pos dan bulanan Media Kita. Koran yang berskala nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan lainnya luput. Belakangan setelah kasusnya berbuntut baru ramai.
Memang berita itu berbuntut. Maola Daud, sang bupati , merasa tak mengusir wisawatan. Aku tenang saja karena sumber berita saya adalah orang profesional di dunia pariwisata dan kebudayaan Muna, yaitu Siddo Thamrin. Tapi Siddo Thamrin adalah pihak yang sedikit berseberangan dengan Maola. Begitu Maola tahu sumbernya adalah Siddo Thamrin mencak-mencaklah dia.
Bupati yang putra daerah itu berang. Aku dengar dia marah dan mencari saya. Tapi saya berusaha bagaimana memahami psikologisnya dengan mencoba bertemu dia. Maka ditemani La Paa, jurnalis dari Pelita, saya mendatangi rumah kediaman Maola di Kendari. Saat itu keluarga Maola sedang menyiapkan sebuah pesta. Aku masuk mencoba menjelaskan, tapi saya berdua malah diusir. Tersiar kabar bupati usir wartawan.
Belakangan kasusnya berbuntut. Tak hanya mengusir wartawan, Maola juga dikabarkan mencari-cari saya dan La Paa. Ternyata benar. Istri La Paa didatangi orang-orang Maola, diancam dan rumahnya akan dibakar jika tak mendatangkan dua orang ini ke hadapan bupati. Wartawan di Kendari panik. Jangan-jangan terjadi tindak kekerasan pejabat terhadap jurnalis. Para wartawan kemudian berkumpul yang difasilitasi Yamin Indas, wartawan Kompas di Kendari. Sebelumnya saya dan La Paa minta pengamanan pada aparat kepolisian dan TNI.
Itulah pengalaman pertama sejak di Jawa Pos Kendari. Kasus Maola ini baru selesai ketika semua menahan diri. Rupanya pula Maola tak bermaksud menakut-nakuti wartawan. Dia hanya minta orang-orangnya memanggil saya dan La Paa untuk konfirmasi. Sayangnya cara yang dilakukan luar biasa sangar. Begitulah, dan akhirnya saya sulit melupakan yang namanya La Paa.




FOTO DIATAS DIPOTRET SAAT SANTAI SEJENAK KETIKA MELIPUT DI KOLAKA


Suksesi dan Persaingan Liputan
SETELAH kasus pengusiran wisatawan, Sultra memasuki masa-masa awal pemilihan Gubernur. Gubernur Ir H Alala (almarhum) sudah dua periode sehingga harus diganti. Penggantinya, banyak yang mau. Alala ingin penggantinya adalah kroninya, seperti Andi Pangerang Umar, Soleh Solahuddin, dan lain-lainnya yang memungkinkan. Tapi sayangnya TNI punya calon lain. Pangdam VII Wirabuana Zainal Basri Palaguna menginginkan figur dari militer, atau sipil yang berpikiran militer. Jatuhnya lari ke La ode Kaimuddin.
Pertarungan dimulai. Alala dan Pangdam VII tidak satu kata. Wartawan yang untung karena ada sumber berita-berita yang bernuansa konflik. Jurnalisme konflik sangat disukai warga. Golkar pusat turun tangan dengan mengutus Oetoyo Usman. Ketua Golkar Sultra Madjid Joenoes (almarhum) berkeras dan tak mau mengalah pada Oetoeyo Usman. Memang dalam pemilihan kepala daerah ada tiga piliar yang harus sepakat. Yakni apa yang disebut ABG, yaitu ABRI, Birokrat, dan Golkar.
ABRI dan Golkar Pusat kelihatannya minta agar La Ode Kaimuddin yang jadi, sementara Birokrat yang dipegang Alala menolak, begitu pula Madjied Joenoes selaku kroni Alala. Tak hanya itu mayoritas rakyat Sultra juga menolak kroni Alala, siapa pun. Yang mereka mau adalah Kaimuddin. Penolakan oleh Alala disambut gelombang demo. Konflik, perseteruan terus berlangsung hingga September-Oktober. Gelombang massa tak terkendali, namun Alala bertahan. Pers saat itu juga kelihatannya cenderung berpihak ke ABRI, bukan Kaimuddin. Pertarungan berakhir ketika Kaimuddin dilantik jadi gubernur oleh Mendagri yang dijabat Rudini.


REDAKTUR DAN KORESPONDEN Jawa Pos DALAM PERTEMUAN DI BALI. SAYA DUDUK PALING KIRI BERSAMA ARIF AFFANDY (KINI WAKIL WALIKOTA SURABAYA), MAHIYUDDIN LAKAWA, DAN ASMADI.

Heboh suksesi di Sultra sampai ke level nasional. Maka pelantikan La Ode Kaimuddin menjadi riuh dan banyak media nasional mengirimkan wartawannya ke Kendari. Jawa Pos tidak mengirim siapa-siapa. Cukup di-handle Syahrir Lantoni. Saingan Jawa Pos waktu itu, Harian Surya, mengutus Tasman Banto dan Alfred Lande untuk membantu Sudirman yang memang sudah ngepos di Kendari. Mereka membagi tugas. Alfred menempel ke Mendagri, Tasman membantu liputan pelantikan, dan Sudirman mengurus berita serta mengatur pengiriman foto. Maklum untuk mengirim foto harus cari orang yang mau ke Surabaya untuk dititipi rol film itu.
Melihat pasukan Harian Surya, sebagai saingan, saya seperti merasa dikeroyok. Apalagi belum ada koran grup Jawa Pos di Kendari. Tapi aku tenang saja. Toh hasil liputan yang menentukan. Benar adanya. Saya dapat wawancara Mendagri, dapat liputan pelantikan plus fotonya, dan ada wawancara khusus dengan Gubernur La Ode Kaimuddin. Wawancara saya lakukan di rumah Kaimuddin, sesaat sebelum dia menuju ke malam pisah sambut. Artinya sampai malam saya masih mengejar apa yang bisa saya lakukan.
Surya sendiri hanya liputan pelantikan, sambutan Mendagri, serta wawancara warga dan pengamat. Foto mereka sukses terkirim juga, sama dengan saya ketika saya mengejar Alala sampai ke Bandara. Liputan surya dimuat dihalaman depan ditambah halaman Indonesia Timur-nya. Jawa Pos semua di halaman Indonesia Timur, hampir 1 halaman. Faktanya saya menang ‘melawan’ tiga orang.

07 Juli 2007

Masa-Masa Awal di Jurnalistik

Hari-hari pertama di Harian FAJAR cukup menyenangkan. Saya tak menyangka bisa diterima oleh harian yang berada di bawah nama besar Jawa Pos itu. Pagi mengejar sumber berita, sore pulang, menulis berita, dan menyetor ke redaktur. Begitu tiap hari. Aidir Amin Daud, wakil pemi pin redaksi, diam-diam terus mengamati potensi dan hasil kerja saya. Tiga bulan masa percobaan saya lalui dengan baik. Melihat saya cukup bisa diandalkan, saya dipatenkan sebagai reporter. Tiga bulan berikutnya, saya dijajal lagi untuk pekerjaan editing. Hasilnya saya diminta jadi ‘penjaga gawang’ salah rubrik mingguan.


GAMBAR KETIKA MEMBAWAKAN ORASI ILMIAH DI KAMPUS STAIN KENDARI, DALAM RANGKAIAN PELUNCURAN MEDIA MAHASISWA STAIN KENDARI.

Dari rubrik mingguan saya dipercaya menjagagawangi halaman internasional. Tidak terlalu sulit mendapatkan beritanya, karena link berita cukup tersedia dari Jawa Pos. Tinggal pilih dan mengambil yang dibutuhkan. Namun ketika perang Teluk meletus, halaman internasional menjadi pertarungan. Saya pun harus mengikuti perkembangan detik per detik perang di Teluk Parsia itu. Bersyukur, fasilitas dengan parabola dan jaringan internet sudah tersedia di kantor. Sesekali saya menulis tentang perang di Timur Tengah itu.
Menjaga rubrik internasional memaksa saya juga harus tahu banyak perkembangan politik belahan dunia lainnya. Tulisan mengenai kisah hidup dan asmara Winnie Mandela, istri Nelson Mandela, pun pernah saya ulas habis. Dunia internasional cukup kaya dengan beragam informasi. Yang menarik perhatian saya adalah dinamika dan perkembangan bangsa Turki. Negara yang berpenduduk mayoritas muslim itu begitu cepat menerapkan sekularisme. Peran Kemal Attaturk tak bisa dikesampingkan dalam perubahan mendasar di negara itu.
Tak lama di rubrik ini, saya dipindah menangani berita-berita Indonesia Timur. Tak masalah karena saya juga cenderung beriorientasi ke sana, terutama di Sulawesi Tenggara (Sultra). Sebelum dapat tugas di Sultra, saya sempat ditunjuk ikut meliput PT Semen Tonasa yang akan Go Publik. Bersama petinggi Semen Tonasa, saya kembali menginjakkan kaki di Jakarta. Sebelumnya saya sudah sering ke Jakarta semasa aktif di HMI. Tapi kali ini beda, yaitu melakukan tugas jurnalistik di luar Sulawesi.


BERSAMA SUDIRMAN, WARTAWAN SURYA DI KENDARI SAAT BERPOSE DI ATAS KRI SURA, SALAH SATU KAPAL PERANG JENIS PATROLI YANG DIMILIKI RI.

Tahun 1991 aku minta izin cuti kawin di Sulawesi Tenggara. Tanggal 14 Juli itu sangat bersejarah dalam hidup saya. Wanita yang terpilih mendampingi hidup saya adalah adik kelas semasa di kampus. Dia juga junior saya di HMI. Namanya Kasmawati Kasim Marewa. Dia junior tapi dia jusru lebih dulu selasai kuliahnya. Saya terhambat karena larut dalam aktivitas di HMI. Satu foto perkawinan saya tampilkan di sini.



Saya tertarik pada suatu kampung yang terkenal dengan nama Tosiba. Tosiba adalah singkatan dari Tondong, Sinjai dan Balangnipa. Tondong adalah sebuah kawasan di Sulawesi Selatan. Begitu juga Sinjai dan Balangnipa. Mengapa nama daerah di Sulsel itu ada di Sultra? Ternyata kampung Tosiba memang diisi para pendatang dari Sulsel. Merekalah yang merambah kawasan itu dari hutan menjadi sebuah kampung yang meraih predikat kampung terbaik di Sultra.
Para pendatang dari Sulsel itu ibaratnya hidup dengan cara nomaden. Di hutan Kolaka itulah baru mereka memantapkan diri untuk menetap. Sayangnya banyak di antara mereka yang gugur karena diterkam binatang buas. Ada yang cacat, bahkan ada pula yang tidak tahan dan lari menyelamatkan diri ke ibu kota Kabupaten Kolaka. Mereka hidup di hutan. Liputan saya cukup mendapat apresiasi, beberakali saya sambung dengan tema yang berbeda-beda.
Tiga hari di sana barulah saya pulang ke Kendari. Sayang, baru semalam, saya sudah dapat kabar duka. Ayah saya meninggal di Makassar. Saya terpukul karena benar-benar kehilangan orang yang saya kagumi. Semangat hidup saya runtuh. Saya balik ke Makassar seolah tak akan ke mana-mana lagi. Pekerjaan saya hanya dari rumah ke kantor, begitu tiap hari. Saya pun rasanya sudah malas pulang ke Kendari. Padahal istri saya terus menunggu di sana.
Ah, saya tidak boleh larut. Aku harus kuat. Dan baliklah aku ke Ibu kota Sultra itu. Hari terus berlalu. Untuk menghilangkan perasaan sepi, aku dan istri membuka usaha pengetikan komputer. Itu tahun 1991. Itulah satu-satunya usaha pengetikan komputer yang ada di Kendari. Banyak yang datang mengetikkan skripsi, makalah, paper, bahkan hampir semua pengacara datang mengetikkan replik dan dupliknya ke saya. Saya mulai bergairah kembali, sampai tahun berganti.
Suatu hari di saat sedang di rumah, tiba-tiba aku mendapat telepon dari Redaksi Jawa Pos Surabaya. Yang menelepon namanya Mahiyuddin Lakawa. Dia mengaku sebagai KL (kordinator liputan) di Jawa Pos. Senang karena inilah pertama kali saya berhubungan dengan Jawa Pos, koran yang waktu itu sudah menjadi yang terbesar di Jawa Timur.


BERFOTO BERSAMA DENGAN PARA WARTAWAN JAWA POS INDONESIA TIMUR. SEBELUM KRISIS TIAP TAHUN Jawa Pos MENGADAKAN PERTEMUAN REGIONAL SESAMA WARTAWAN YANG BERTUGAS DI INDONESIA TIMUR. DUA KALI DILAKUKAN DI BALI. SAYA KEDUA DARI KANAN

Tidak banyak yang kami bicarakan, tapi intinya bahwa Harian FAJAR telah merekomendasikan saya menjadi koresponden Jawa Pos di Kendari. Ada tiga nama yang direkomendasikan, yaitu Asmadi, Farid Ma’ruf, dan saya. Ketiganya adalah orang FAJAR juga. Namun yang dipilih adalah saya. Aku terima. Mulai saat itulah saya resmi menjadi koresponden Jawa Pos di Kendari.

Kuliah, Balap, dan HMI

DUNIA MAHASISWA
Masa-masa mahasiswa adalah masa yang menyenangkan. Meski merupakan masa transisi dari remaja ke dewasa, ada tiga tema utama di dunia ini. Yaitu pesta, buku, dan cinta. Tidak banyak juga yang bisa menikmati masa-masa menyenangkan di bangku mahasiswa. Mereka yang bekerja sambil kuliah sangat terproteksi waktunya. Yang dikejar adalah bagaimana lulus cepat, dapat titel untuk mendukung pekerjaan, dan tentu saja status sosial.
Saya termasuk yang tidak seperti itu. Dunia mahasiswa saya nikmati betul. Mulai dari perpeloncoan hingga tamat. Di masa pelonco, saya termasuk bandel. Ikut semua kegiatan, tapi satu hari bolos. Bukan karena apa. Beberapa minggu sebelumnya saya sudah daftar ikut grasstrack, sebuah arena balapan resmi yang diselenggarakan Ikatan Motor Indonesia (IMI) Sulawesi Selatan. Waktu itu IMI Sulsel dipimpin Halim Kalla (adiknya JK). Nah, hari H-nya balapan adalah di saat saya masih pelonco. Aku bolos.
Di arena grasstrack, saya sungguh tidak beruntung. Dari 20 peserta start, kelas bebek tune up 125 cc, saya hanya finis di urutan 10. Itu karena start pertama juga tidak bagus. Yang menyalip saya terjatuh pas di depan motor saya. Saya terhambat belasan detik. Oh, ya, saya memakai nomor 444 (bukan 46 seperti milik Valentino Rossi) dengan motor Suzuki bebek warna cokelat. Foto-foto saat balapan aku perlihatkan di sini.
Tak hanya tidak beruntung. Saya juga mengalami kecelakaan hebat. Saat tim pulang bareng, saya justru pulang sendiri dengan mengendarai motor Vespa PX 2000 milik ponakan. Di jalan tol, saya mencoba melampaui sebuah mobil boks, namun dari depan mucul mobil sedan yang juga melaju kencang. Braak!! Saya sudah di rumah sakit. Melihat motor yang hancur berantakan, pikiran orang pengemudinya pasti meninggal. Alhamdulillah saya hanya rawat jalan.
Sembuh, hari pertama kuliah saya lalui dengan senang. Lupakan balapan, lupakan kecelakan. Saatnya fokus pada kuliah. Maklum mahasiswa baru. Apalagi kampus saya adalah perguruan tinggi Islam swasta terbesar di Indonesia Timur. Saya memilih fakultas ekonomi dan mengambil jurusan manajemen perusahaan. Dari masa perkenalan di perpeloncoan saya sudah menonjol. Dalam waktu cepat saya sudah gaul dengan sejumlah kakak senior. Itu pula yang membuat saya terlibat dalam pengelolaan acara malam inougurasi mahasiswa baru Fakultas Ekonomi UMI Makassar.






Setahun kuliah, saya pun memberanikan diri masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Saya tertarik karena para senior yang banyak membimbing saya pintar-pintar dan cerdas. Mereka ternyata digembleng di di HMI. Tahun 1984 saya training dasar HMI. Kami digodok, ditempa, dan dilatih menjadi mahasiswa yang kritis, intelektual. Tak lupa didoktrin berdasarkan nilai dasar perjuangan HMI.
Salah satu yang saya ingat ketika itu adalah, di saat training meledak peristiwa Tanjung Priok. Di dalam ruang training kami seperti dihasut untuk membenci militerisme. Korban di Tanjung Priok umumnya adalah berasal dari Makassar. Maklum di Tanjung Priok Jakarta itu dihuni banyak pendatang dari Bugis Makassar. Saya terpancing, dan mengajak yang lain turun ke jalan.
Dari Basic Training HMI, aku merasakan ada efek positif dalam diri saya. Aku pun mulai enjoy ber-HMI. Mulai dari menyelenggarakan training HMI angkatan berikutnya. Selanjutnya saya aktif di berbagai program HMI, hingga menjadi pengurus komisariat. Tak hanya itu, saya lalu nenjadi pengurus Korkom UMI. Lanjut lagi hingga pengurus cabang.
Tahun 1996 asas tunggal pancasila mulai diperdebatkan. Di HMI Makassar terjadi dua friksi. Yang menolak dan yang menerima. Pengurus cabang yang sah sangat menolak asas tunggal. Ketua cabang waktu itu Yasin Ardhi (kini di Partai Bulan Bintang) adalah penentang keras asas tunggal pancasila.
Saya dan rekan-rekan dari UMI, sebagian dari IAIN dan IKIP berdiri di pihak yang setuju. Terjadi friksi yang kencang. Yang menerima asas tunggal cukup kuat dari segi pengaruh dan massa. Tak heran kalau kemudian terjadi konferensi istimewa HMI cabang Makassar. Menariknya, saya adalah ketua panitianya. Acara itu membonceng dari kegiatan intermediate training yang diselenggarakan oleh Korkom UMI. Saya ketua panitia training dan didaulat menjadi ketua panitia konferensi istimewa.
Hasil konferensi istimewa dibawa ke Jakarta, ke PB HMI. Ketua Umum PB HMI Harry Azhar Aziz (kini jadi anggota DPR RI) dengan enteng mensahkan hasil konferensi istimewa. Harry A Azis harus teken, sebab kalau tidak HMI akan dibekukan oleh pemerintah. Kongres HMI di Padang cukup alot karena kubu penolak asas tunggal juga makin kuat. Mereka dibantu Tamzil Linrung, Eggy Sudjana, Zulvan Lindan, dll. MS Kaban pun kabarnya termasuk yang menolak asas tunggal waktu itu. Jakarta yang dimotori Bursah Zarnubi masih wait and see. Di Kongres XVI Padang itulah asas tunggal pancasila gol menjadi dasar/azas HMI.
Pulang dari Padang, Makassar masih tegang. Pengurus HMI Makassar hasil konferensi istimewa boleh dikata tidak diperkenankan masuk sekretariat HMI cabang. Itu karena sekretariat dikuasai Yasin Ardhi cs. Akibatnya pengurus hasil konferensi harus menjadi sekretariat berjalan. Itu berlangsung hampir setahun. Sesudahnya, dilakukanlah konferensi bersama. Terpilih jadi ketua Andi Pangerang Muntha. Saya masuk sebagai ketua III bidang kemahasiswaan.
Konferensi berikutnya Aziz Kahar Muzakkar terpilih, kemudian berikutnya saya mencoba maju sebagai kandidat. Sayangnya saya kalah 20-an suara dari idham Halid. Musda Badko Indonesia Timur lalu menjadi perhatian saya. Sayangnya bukan pula saya yang terpilih tapi Gusti Firmansyah. Cuma yang disahkan oleh PB HMI adalah Toni Hamzah. Saya hanya jadi Bendahara umum, namun saya mundur. Banyak pertimbangan saya mundur, selain saya harus fokus menyelesaikan kuliah.
Di HMI saya sudah mengecap masa-masa keemasan. Jenjang training yang tertinggi yang saya ikuti adalah Pusdiklat (semacam Lemhanasnya HMI). Saat Pusdiklat saya satu tempat dengan Yahya Zaini (kini di Golkar). Pada saat Saloka Pengkaderan saya juga satu tim dengan Yahya Zaini yang waktu itu sebagai ketua umum HMI Cabang Surabaya. Ketua umum PB HMI dipegang Ir Saleh Halid. Halid mengalahkan Abidinsyah Siregar dalam Kongres XVI Padang.
Sambil kuliah dan aktif di HMI saya sebenarnya telah pula mengembangkan diri di bidang tulis menulis. Beberapakali tulisan saya dimuat di koran lokal seperti di Pedoman Rakyat, Harian FAJAR, kemudian pernah pula menulis di Majalah Mahasiswa UII Jogyakarta, dan Majalah Jakarta-Jakarta. Ketekunanku menulis mengubah cita-cita saya untuk menjadi wartawan profesional. Ini juga karena kekaguman saya terhadap para jurnalis di Majalah Tempo. Mereka menulis sangat apik, liputannya sangat mengagumkan. Saya harus menjadi seperti mereka.
Tamat, saya akhirnya melamar menjadi wartawan di Harian FAJAR. Modalnya Cuma kumpulan kliping tulisan di berbagai media plus sertifikat HMI. Saya diterima Aidir Amin Daud, waktu itu wakil pemimpin redaksi Harian FAJAR. Di dalamnya sudah bergabung Hazairin Sitepu (kini direktur radar Bandung dan Radar Bogor, juga Ketua Dewan Pengawas TVRI). Ada pula Sukriansyah S. Latif (kini Direktur umum PT Fajar Group), dan Waspada Santing, Ir Suwardi Tahir, dan lain-lain.