27 Desember 2008

Sensasi Spa Sauna di Acropolis (2)

USAI makan, kami balik lagi ke lantai 5. Sudah waktunya menikmati sensasi threatment spa Acropolis. Sebelum masuk area spa, saya masih sempat buka-buka brosur di meja customer service. Saya melihat ada wahana tutorial bagi anak-anak yang ingin menyalurkan kreativitasnya merakit robot-robotan. Ada pula brosur wahana education bagi anak-anak para konsumen hotel atau member Acropolis.
Bambang baru saja menjelaskan bahwa spa Acropolis tidak terbuka untuk umum. Spa ini hanya bagi member atau tamu hotel. “Ya, spa ini termasuk fasilitas gratis yang diberikan kepada tamu-tamu kami,” ujar Bambang Widodo. Kalau member, cukup membayar iuran keanggotaan sebesar Rp 8 juta sudah bisa menikmati gratis selama setahun di Acropolis. “Kalau member cewek kita hanya kasi Rp 6 juta setahun.
Dilihat dari besar iuran, rasa-rasanya cukup murah. Jika pun harus membayar tiap kali masuk, biayanya sampai Rp 300 ribu. Dengan menjadi members mau datang tiap hari pun tetap gratis. Apalagi di dalam, konsumen dapat softdrink atau juice buah gratis. Di area Jacuzzi beberapa pentugas siap melayani pengunjung. Mengapa pengunjung luar tidak bisa masuk? Menurut Bambang, Acropolis Spa and Threatment sangat menjaga privacy tamu hotel dan member. “Kita tidak bisa menjamin kalau ada pengunjung luar membuat tamu dan member kita bisa aman atau nyaman. Misalnya kehilangan barang,” kata Maria Dewi menambahkan.
Saatnya untuk rileks. Namun sebelum benar-benar masuk room Acropolis, kami masih diajak melihat-lihat sejenak swimming pool. Wow, cukup luas dan view-nya menerawang ke Jakarta Utara. Di bawah terlihat kawasan Mangga Dua, Glodok, dan Gunung Sahari. Kolam renangnya terbagi untuk semua umur. Buat anak-anak ada, buat yang lainnya pun ada. Di sisi kiri terdapat bar dengan khas bartendernya. Ada pula café dan kursi tidur untuk berjemur.
Saya benar-benar sudah tidak sabar untuk berendam. Ibu Maria Dewi memberikan kunci loker nomor 111. Tak lama Maria Dewi dan Bambang sudah pamit dan mempersilakan kami menikmati sensasi di Acropolis. Bertiga saya berendam. Berdasarkan petunjuk dari pertugas, badan harus dibilas dulu baru kemudian berendam 10 menit kolam air panas. Panasnya sudah disetel hingga 40 derajat. Berendam idealnya 10 menit, tapi saya justru ingin berlama-lama. Maka sambil sekali-kali meneguk minum jus apel, saya terus berendam.

SIAP CEBUR: Copot baju, ambil handuk, dan masuk jacuzzi.

Berendam di air panas, katanya, akan membuka pori-pori kulit. Dengan terbukanya pori-pori, peredaran darah bisa lancar bergerak, kemudian lemak yang berlebihan akan terkoreksi sehingga perasaan menjadi enak, napas jadi longgar dan raga kita pun jadi nyaman. Dari kolam air panas, kemudian dianjurkan masuk ke ruang sauna 5 menit. Ruang sauna adalah ruangan di mana terdapat bangku kayu panjang dan ada semacam tungku perapian berisi batubara. Untuk menambah panas ruangan, bisa ditambah cairan minyak aroma therapi.
Bara panas ini membuat badan berkeringat, sama kalau kita berolahraga. Dengan pori-pori yang terbuka ditambah serapan panas yang dicampur aroma therapy tadi membuat badan bertambah enak. Saya merasa enak di bilik ini. Cukup lima menit saya keluar. Dua rekan saya malah baru mau masuk. Saya lalu keluar menuju ruang steam.
Sama dengan ruangan sauna, ruang steam ini mengucurkan uap panas dengan aroma therapi yang khas. Saya juga merasa enak di sini. Uap yang keluar menambah pembukaan pori-pori. Waktu sibuk yang membuat kita jarang berolahraga sebenarnya bisa ditutupi dengan mandi uap, sauna dan berendam di kolam air panas. Jadi sekali-sekali ke tempat-tempat seperti ini sangat bermanfaat buat kesehatan.
Setelah semua pori-pori terbuka, dan keringat sudah diseka, langkah selanjutnya adalah mencelupkan diri di kolam air dingin. Ini yang biasanya ngeri karena dari panas ke dingin sangat kontras. Apalagi air di kolam itu bak air es dengan suhu 5 derajat Celcius. Tapi apa mau dikata, begitulah prosedurnya. Saya pun melompat dan berendam sekitar 1 menit. Dianjurkan berendam 5 menit, tapi saya hanya kuat 1 menit saja. Kaki rasanya kram, dan entah apa rasanya betul-betul dingin.
Menurut petunjuk, berendam di air dingin adalah untuk menutup kembali pori-pori yang sudah terbuka oleh air panas, sauna dan steam tadi. Badan akhirnya benar-benar segar. Apalagi setelah itu, kita akan diurut oleh pemijat professional seperti yang disediakan Sheraton Media Hotel. Tapi sebelum diurut, kami rileks dulu di sebuah ruangan. Di sini berjejer kursi tidur dan setiap sudut ruangan terdapat televisi, bacaan dan lain-lain. (bersambung)

21 Desember 2008

Sensasi Spa Sauna di Acropolis (1)

PENGGEREBEKAN spa plus di sejumlah hotel bintang membuat saya ingin mencoba spa sauna di hotel mewah. Selama ini saya hanya pergi relaksasi di beberapa tempat-tempat spa independen (bukan di hotel) di Jakarta seperti di Puri Spa, Roxy, dan di Balezza. Saya juga ingin membuktikan benarkah spa di semua hotel ternama itu menyediakan layanan pijat plus dan mempekerjakan wanita cungko (amoy), Uzbekistan, dan lain-lainnya? Hotel Sheraton Media, sebuah hotel bintang 5 di Jl Gunung Sahari Jakarta Pusat, menjadi tujuan saya.
Jam setengah dua belas siang saya sudah di lobi hotel itu. Bersama Aryanto dan Yoga Dilianto, saya berjalan-jalan sejenak lihat situasi lobi. Mau tahu saja seperti apa suasana di lobi hotel ini. Diam-diam saya memandangi orang-orang sekeliling. Banyak tamu rupanya. Beberapa tamu terlihat memakai seragam dari sebuah departemen. Mereka adalah panitia pelatihan dari Depkeu. Pesertanya menginap selama 3 hari. Ada juga tamu lain yang menikmati sajian di resto lobi. 
Tak lama muncul Bambang Widodo Setyawan, Public Relation (PR) Sheraton Media Hotel. Arek Suroboyo ini kemudian mengajak saya bertiga naik ke lantai 5. Di sebelah kiri resepsionis lantai 5 tampak area fitness. Alatnya banyak, mewah, dan susananya nyaman. “Belum fitness kita sudah segar,” begitu kata hati saya. 

RESEPSIONIS: Seorang CS Acropolis Spa & threatment melayani saya di meja resepsionis lantai 5 Sheraton Media Hotel.

Di lantai 5 hotel ini sengaja dijadikan area kebugaran. Ada swimming pool, spa, dan ruang gymnasium and aerobic di area fitness tadi. Ruang spa-nya diberi nama Acropolis yang menempati dua ruang utama terpisah, yakni untuk wanita dan pria.
Nuansa Romawi sudah terasa ketika menginjakkan kaki di lantai 5. Keluar dari lift sudah disambut patung pria Romawi warna hitam. Ada tiga patung Romawi pria dan wanita tampak di koridor lantai 5 tersebut. “Kami punya jacuzzi terbesar,” kata Bambang yang didampingi Maria Dewi, manajer Archopolis spa.
Ya, dua orang inilah yang mengajak saya keliling melihat-lihat fasilitas fitness, swimming pool, dan spa di Sheraton Media Hotel. Keduanya juga mengajak melihat jacuzzi (whirlpool), steam, sauna, ruang threatment, ruang relaksasi, ruang baca, loker dan shower di toilet, dan kamar-kamar massage. Setelah saya selidiki, tidak ada ruang kaca yang di dalamnya berisi pajangan wanita-wanita peminjat seperti di spa plus plus yang digerebek itu. Para pemijatnya adalah wanita profesional yang berseragam abu-abu dipadu celana panjang hitam.
Setelah melihat-lihat, kami ke restoran di lantai 1 untuk makan. Maklum sudah lapar. Restonya juga sangat luas. Ada ruang makan kecil, sedang, dan besar. Lalu ada juga yang seperti hall mini berisi banyak meja makan. Saya pilih ruang kecil di pojok kiri lantai 1 hotel tersebut. Nasi goreng ikan asin menjadi andalan di restoran ini. Nasi goreng nanas juga favorit para tamu-tamu. Ternyata nasi goreng apa saja ada di restoran hotel ini. “Jadi kalau mau cicipi semua jenis nasi goreng ya di sini tempatnya,” kata Bambang. Hmmm… Enak. (bersambung)

01 November 2008

Yusuf Mansur dan Kun Fayakun (2-Habis)

Habiskan Rp 6 M, Kru Jalankan Syariat Islam

Kun Fayakun sebenarnya adalah tema dakwah Ustad Yusuf Mansur. Tema inilah yang terus digaungkan sampai akhirnya mendapat petunjuk membuat filmnya.

Oleh SYAHRIR LANTONI

YUSUF Mansur memang tak main-main dalam pembuatan Film Kun Fayakun. Itu diakuinya sendiri, karena inilah bagian dari dakwah yang harus dijalankannya. Dia tak ragu menyebut Kun Fayakun menghabiskan biaya total Rp 6 miliar.
Biaya itu dipakai mulai dari perencanaan, penggarapan sekenario sampai dengan biaya promosinya, termasuk pula untuk membayar honor kru dan kontrak sederet artis pendukung. Yang menarik, para krunya harus ikut merefleksikan Kun Fayakun. Misalnya salat berjamaah, doa, dan dzikir agar bisa meraih apa yang diimpikan dalam film ini. Salat, doa, dzikir, dan ihtiar itu dipimpin Ustad Yusuf Mansur.
“Prinsip-prinsip kerja Kun Fayakun itu dijalankan di film ini. Bagaimana sebelum para kru memegang alat, mereka salat duha dulu. Bagaimana ketika dhuhur, ashar berkumandang, mereka berhenti dulu. Salat berjamaah. Make up yang sudah dipakai harus hapus dulu, salat dulu,” katanya.
Doa, dzikir, dan ihtiar adalah inti dari Kun Fayakun. Dari sini kekuatan film ini dibangun untuk mengalahkan pesimisme, keputusasaan sebagaimana yang menjadi realita sehari-hari masyarakat. Film ini merupakan proyek pamungkas dari kegiatan roadshow Ustad Yusuf Masur dengan judul sama selama Januari-April 2008.
Kun Fayakun yang disutradarai Guntur Novaris ini dibintangi sederat artis ternama. Seperti Zaskia Adya Mecca, Agus Kuncoro, Desy Ratnasari, dan Firda Razak. Juga ada nama-nama beken seperti Ustad Jeffry, Andre Stinky, dan Jamal Mirdad. Produsernya adalah Donny Ramadhan.
“Jadi film ini membangun keoptimisan, bahwa tidak ada yang lebih besar daripada kebesaran Allah, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, berpikir positif, dan lebih melihat ke depan daripada ke belakang, lebih melihat peluang daripada masalah. Itulah Kun Fayakun,” kata Ustad Yusuf Mansur.

DUA KALI: Cipika cipiki dengan Presiden SBY ketika diterima di Istana Negara.


Lulusan terbaik Madrasah Aliyah Negeri 1 Grogol, Jakarta Barat, tahun 1992 ini paham betul bahwa meledaknya film religi Ayat-Ayat Cinta menjadi momentum perubahan trend di dunia perfileman. Film bertema horor, percintaan, remaja, dan action, tak selamanya menjadi pilihan. Tema-tema seperti itu hanya membangun ilusi, dan kekerasaan.
Sebaliknya, pria yang menikah dengan Siti Maemunah dan telah dikaruniai tiga orang anak ini menyaksikan sendiri bagaimana membeludaknya penonton Ayat-Ayat Cinta dan Kun Fayakun. Di daerah-daerah apalagi.
Buktinya, di daerah-daerah sangat luar biasa. Penonton Kun Fayakun berjubel. Di Banjarmasin satu bulan ke depan sudah full booking, di Solo sampai dua minggu ke depan sudah tidak ada tiket. “Di Makassar, ada kawan namanya Irianto Baso Ence menyampaikan punya 41 ribu anggota pengajian semua nonton film itu. Tanggal 3 Mei saya ke Makassar lagi,” katanya.
Tak hanya itu, di Bandung juga luar biasa. rumah teater full booking tiap hari. “Saya bersyukur bahwa ini berita gembira buat perfileman tanah air, bahwa ada film lain yang tidak bertema horor melulu. Ini menggembirakan bagi film-film religi,” pungkasnya.
Keterlibatan Ustad Yusuf Mansur dengan tayangan religi bukan kali ini saja. Sinetronnya, Maha Kasih, yang digarap Wisata Hati bersama SinemArt, cukup sukses. Sebelumnya, di awal karirnya Yusuf Mansur telah menulis buku Wisata Hati Mencari Tuhan Yang Hilang. Buku itu terinspirasi oleh pengalamannya di penjara saat rindu pada orang tua. Buku itu mendapat sambutan luar biasa.
Dari Yusuf Ibrahim, produser dari label PT Virgo Ramayana Record, putra dari pasangan Betawi yang berkecukupan –Abdurrahman Mimbar dan Humrif'ah– ini meluncurkan kaset Tausiah Kun Fayakun, The Power of Giving, dan Keluarga.
Terakhir, melalui Wisata Hati, dia menyediakan layanan SMS Kun Fayakuun untuk menemukan jawaban atas problem-problem hidup yang dialami umat Islam. (*)

12 Oktober 2008

Yusuf Mansur dan Kun Fayakun (1)

April lalu, dunia perfilman tanah air menyeruak dengan hadirnya dua film religi. Yaitu “Ayat-Ayat Cinta” dan “Kun Fayakun”. Keduanya menjadi box office dan menjadi tren layar lebar Indonesia. Tentang Kun Fayakun saya tuliskan bersambung di Indo.Pos, cukup dua seri. Seperti ini:

Dua Hari, 11 Menteri Nonton Kun Fayakun

Film Kun Fayakun tak disangka meledak, menyusul Ayat-Ayat Cinta. Inilah oase di tengah merebaknya film horor, cinta, dan kekerasan. Ustad Yusuf Mansur pun melanjutkan dakwah Kun Fayakun-nya dengan film.

Oleh SYAHRIR LANTONI

TAK banyak yang tahu kalau pemutaran perdana Film Kun Fayakun sempat tertunda. Namun setelah film bertema religi itu dilaunching, orang baru tahu bahwa film itu digarap sangat serius. Bayangkan syuting pertamanya dimulai pada 16 Juli tahun lalu di Jakarta, dan baru rampung pada awal 2008. Film yang membuat mata banyak penontonnya sembab itu ternyata meledak.
Kun Fayakun adalah film bertema Islam yang meraih sukses setelah sebelumnya Ayat-ayat Cinta. Film ini mengajarkan kepada penontonnya tentang kekuatan do'a, kekuatan percaya pada Allah, mengajarkan kekuatan pasrah pada kehendak-Nya untuk menjadi motovasi dalam menghadapi problema hidup.

APRESIASI SBY: Presiden SBY menerima pemain, sutradara, dan produser Kun Fayakun.

Ternyata di balik kesuksesan Kun Fayakun, ada sosok dai muda kondang yang dakwah-dakwahnya sangat disukai banyak kalangan. Yakni Ustad Yusuf Mansur. Boleh dikata sukses Kun Fayakun tak lepas dari peran central sang ustad. Dia terlibat langsung dalam penggarapan film tersebut. Seperti membuat skenario, memilih produser, sutradara, dan artisnya.
Kepada Indo.Pos kemarin, pengasuh Pondok Pesantren pimpinan Pondok Pesantren Daarul Quran Bulak Santri, Cipondoh, Tangerang ini menyampaikan puji syukur-nya kepada Ilahi Rabbi karena Film Kun Fayakun mendapat sambutan meriah masyarakat seluruh Indonesia. Apalagi, film tersebut mendapat apresiasi dari Presiden SBY dan Wapres Yusuf Kalla. Yusuf Mansur bahkan dua kali diterima SBY berkaitan dengan pemutaran Kun Fayakun. Pertama di rumah Annisa Pohan, dan kedua di Istana pada 21 April lalu.

DAI KONDANG: Ustad Yusuf Mansur bersama SBY di Istana Negara.

Bukan hanya itu yang membanggakan. Hari pertama pemutaran ditonton oleh 3 menteri. Yaitu Menkominfo Muh Nuh, Menhut M.S. Kaban, dan Menegpora Adhyaksa Dault. Hari kedua meledak lagi, ditonton oleh 8 menteri. Karena sukses, Presiden SBY dan Wapres JK pun memastikan akan menonton. “Sebelum tanggal 20 Mei nanti, Bapak Presiden akan menonton bersama jajaran kabinetnya,” kata Ustad Yusuf Mansur.
Dai sukses kelahiran Jakarta 19 Desember 1976 ini mengaku cukup kaget melihat animo masyarakat untuk menonton filmnya. Dari laporan yang diterimanya, banyak penonton yang meneteskan air mata. Seorang wartawan Kompas yang ikut nonton terlihat matanya sembab.
“Di bioskop Megaria Matraman, yang memberitahu kepada saya mengaku terkejut. Pak Ustad saya kira penonton Kun Fayakun itu semuanya berjilbab, ternyata hanya 4 orang yang pakai jilbab,” kata pemimpin kelompok pengajian Wisata Hati ini menirukan seorang penonton. (bersambung)

30 September 2008

Lagi, Demokrasi di Sultra

Setelah Nur Alam terpilih jadi Gubernur, saya melihat ada yang perlu disampaikan kepada para pendukung sang pemimpin baru. Cukup lewat tulisan di Kendari Pos, seperti di bawah ini:

Jangan Berharap Banyak dari Nur Alam

Oleh Syahrir Lantoni

INI ditujukan kepada para pendukung Nur Alam. Di tengah euforia kemenangan Nur Alam, ada satu hal yang harus dicamkan. Bahwa Nur Alam dan wakilnya Saleh Lasata, setelah dilantik nanti, sudah menjadi milik rakyat Sultra. Tim sukses bertugas hanya sampai mengantarkan pasangan Nur Alam Saleh Lasata (Nusa) ke singgasana kekuasaan. Selanjutnya adalah memelihara hasil perjuangan. Jangan berharap ada pampasan perang, karena kalau pun itu ada, semua buat seluruh rakyat Sultra.
Sebagai tim yang solid, sukses mengantarkan Nur Alam menjadi gubernur adalah prestasi tersendiri. Episode berikutnya adalah mengawal kepemimpinan Nur Alam-Saleh Lasata, bukan menggerogoti apalagi minta bagian. Sebab, ada stigma tim sukses selalu minta ‘jatah’ lebih dulu. Alasannya klasik: Dialah yang berjuang, dialah yang berkeringat, atau dialah yang banyak berkorban.
Stigma seperti ini sudah banyak terjadi, dan ujung-ujungnya selalu konflik, kekecewaan, dan bahkan berpotensi menjadi musuh baru. Ini sangat berbahaya, karena Nur Alam-Saleh Lasata akan diserang dari dua sisi. Dari yang kalah dan yang kecewa. Yang kalah tentu saja adalah loyalis Ali Mazi, sedangkan yang kecewa adalah tim sukses Nusa yang tidak kebagian jabatan, kedudukan, posisi, proyek, dan sebagainya.
Ingat Nur Alam dulu pernah berkonflik hebat dengan Ali Mazi. Potensi berkonflik kembali terbuka, antara oposan melawan status quo, meski posisinya terbalik. Dulu oposannya adalah Nur Alam, kini bisa jadi oposannya adalah Ali Mazi. Nah, oposan lainnya yang tersembunyi tapi sewaktu-waktu bisa mengancam adalah kalau kelak para pendukung Nur Alam kecewa lantaran tidak dapat pampasan perang.
Dalam sebuah tim sukses, banyak karakter berbeda di dalamnya. Peran yang dimainkan pun beragam. Tugasnya juga macam-macam. Ada yang kebagian memasang stiker, poster, spanduk, banner, dan semacamnya. Juga ada yang menyiapkan logistik, akomodasi, dan sebagainya. Lalu sedikit ke atas, ada yang menyiapkan administrasi, keuangan, dan fungsi komunikatif. Berikutnya, ada yang bertugas melobi, media officer, dan menyiapkan isu-isu strategis kampanye. Terakhir, ada tim inti, istilahnya ring 1 atau juga inner circle, yaitu tim kampanye, tim hukum, penasehat politik, dan penasehat spiritual.

TEGAR: Nur Alam SE masih tersenyum ketika dirinya menghadapi gelombang demo di Kendari.

Banyaknya tugas dan peran ini praktis butuh banyak orang yang sudah barang tentu berasal dari latarbelakang yang berbeda-beda, bahkan unik. Ada dari latar belakang parpol, pengusaha, pendidik, pengacara, mahasiswa, pejabat, dan mungkin juga ada yang, maaf, pengangguran dan kutu loncat dari kandidat yang gagal lolos verifikasi. Skema tim sukses seperti ini juga ada pada tim Nusa. Itu belum termasuk kerabat Nur Alam dan Saleh Lasata.
Nah, berapa banyak yang harus dipenuhi jika semua ini berharap banyak dari Nur Alam. Saya yakin Nusa tak bisa memenuhi itu karena ada yang lebih prioritas, yakni rakyat Sultra, para pemilihnya, para konstituennya, dan tentu saja janji-janjinya. Jadi, jangan berharap banyak dari Nur Alam. Jangan juga memaksakan kehendak karena sangat berbahaya. Nur Alam bisa tergerogoti dari dalam, atau rentan terhadap serangan oposisi. Akhirnya hancur. Energi yang dihabiskan untuk memenangkan Nur Alam menjadi sia-sia.
Beban atas terpilihnya Nur Alam memang sangat berat. Ini sangat berbeda ketika Ali Mazi dulu naik jadi gubernur. Sistem politik membuat Ali Mazi tak perlu membuang banyak energi, tidak perlu sampai menghabiskan Rp 7 miliar lebih. Juga tak perlu membuat tim sukses dengan skema njelimet, tidak usah mengerahkan massa pendukung. Tak harus kampanye, tak harus pasang baliho, spanduk, dan atribut-atribut diri lainnya yang mengotori kota. Cukup masuk ke partai yang memiliki fraksi di DPRD Sultra, lobi sana sini dan membuat komitmen, beres sudah. Hasilnya sangat efektif, dia dicalonkan hampir semua fraksi di DPRD Sultra. New comer itu akhirnya terpilih.
Setelah terpilih, beban Ali Mazi sudah ringan. Dia cukup menservis fraksi-fraksi di DPRD yang memilihnya. Enaknya, karena fraksi-fraksi di DPRD adalah inti dari komisi-komisi di legislatif yang menjadi mitra kerja pemerintah. Jadi klop. Sebaliknya, Nur Alam menjadi berat lantaran sebagian fraksi di DPRD terposisikan diri sebagai partai pengusung calon gubernur yang kalah. Dia bisa jadi mitra tapi juga berpotensi menjadi lawan. Ini sangat tergantung dari Nur Alam bagaimana menservisnya juga.
Di dalam aman, di luar belum tentu. Nusa harus memenuhi segepok janji-janjinya saat kampanye. Apalagi kalau ada janji yang secara ekonomis impossible. Misalnya tiap desa diganjar Rp 100 juta, gratis biaya sekolah sampai SMA, kesehatan gratis dan lain-lainnya. Sekolah gratis di banyak provinsi memang sudah ada, tapi belum sampai tingkat SMA. Provinsi DKI Jakarta pun yang memiliki APBD Rp 20,7 triliun lebih belum berani menggratiskan anak-anak SMA.
Tapi, simsalabim, siapa tahu Nur Alam bisa. Kita positive thinking saja, apalagi siapa yang tidak kenal Nur Alam --a­nak desa yang ulet, berani, dan sangat percaya diri. Modalnya sebagai ketua DPW PAN dan wakil ketua DPRD Sultra cukup mumpuni mengenal kondisi daerah. Sia-sia dia ditempa oleh Amien Rais kalau dalam tiga tahun harus mundur karena tidak bisa merealisasikan janji-janjinya.
Sekali lagi, ini buat pendukung Nur Alam. Mari mengawal dan menjaga sang pemimpin baru pilihan rakyat. Jangan sampai tergores, karena kalau lecet sedikit fatal. Yang sangat penting dilakukan adalah membuat pencitraan positif terhadap Nur Alam, agar tidak jatuh sebagaimana yang terjadi pada Ali Mazi.

06 September 2008

Demokrasi di Sultra

Akhir tahun lalu Sulawesi Tenggara larut dalam pesta Pilkada Gubernur. Ada lima kandidat bertarung, namun yang menang adalah rakyat Sultra. Rakyat telah memilih secara benar siapa pemimpinnya. Ya, Nur Alam terpilih secara meyakinkan, sebagaimana yang diprediksi banyak orang. Saya yang ikut larut dalam euphoria kemenangan rakyat Sultra langsung menulis Interupsi di Kendari Ekspres. Inilah tulisan itu.

Nur Alam Sudah Diprediksi

NUR Alam menang sudah diprediksi. Dari dulu pengusaha-politisi ini sudah terlihat akan jadi pemimpin di Sulawesi Tenggara. Dia sudah mulai bertarung pada suksesi walikota Kendari pada 2001 silam dalam usia yang masih muda. Memang dia gagal, namun berhasil menggugat panitia pemilihan dan menang di PTUN Kendari. Sayangnya Golkar sangat tangguh. Demi Masyhur Masie Abunawas, boikot dari Gubernur Kaimuddin pun diabaikan oleh partai beringin. Masyhur Masie kembali terpilih menjadi walikota secara kontroversial.
Bergaul dengan Nur Alam akan ketahuan seperti apa alur berpikirnya. Cara berpikirnya memang sekali-sekali bombastis, kadang ekstrim, namun cukup smart dalam melihat urgensi permasalahan. Substansi masalah bisa dia ditangkap dan meramunya secara cepat. Dalam diskusi dia menonjol dan mampu mendominasi pembicaraan. Itu karena dia tahu konteks, apalagi soal-soal politik. Dia merasa punya solusinya.
Di masa remajanya Nur Alam juga menonjol. Masa kecilnya yang getir tidak menjadikan dia kalah dari teman-temannya yang secara ekonomi berada di atasnya. Dia pun rela dipanggil La Bolo. Di SD dan SMP juga sudah tampak sifat kepemimpinannya. Di Pramuka, Nur Alam langganan komandan upacara. Orangnya pe de sekali, seperti tak ada takutnya. Yang menarik, di lingkungan Pramuka-nya, dia dikenal pengagum Leonid Brezhnev, pemimpin Uni Soviet waktu itu.
Karena kagumnya pada tokoh itu, namanya, Nur Alam, kadang ditambahkan Brezhnev di belakangannya. Itu secara guyon untuk membahasakan kepada teman-temannya bahwa dirinya kagum dengan Leonid Brezhnev. Kisah-biografi pemimpin lain juga banyak dibacanya, namun dia telah jatuh hati pada mendiang pemimpin Uni Soviet tersebut. Itu dulu. Sekarang dia mengagumi Amien Rais.
Kalah di Kota Kendari, Nur Alam mengincar jabatan gubernur. Modalnya sudah ada: DPW PAN Sultra. Akan tetapi itu belum bisa membawanya menjadi calon karena masih banyak senior yang juga mengintai jabatan puncak di Sultra itu. Ada Hussein Effendi, Hino Biohanis, Adel Berty, Yusran Silondae, dan lainnya. Anwar Adnan Saleh juga tampil sebagai calon kuat, bahkan menjadi musuh bersama. Tapi Ali Mazi yang belakangan muncul, dan akhirnya menjadi gubernur, membawa kekecewaan mendalam dalam diri Nur Alam.

DI RUANG KERJANYA: Nur Alam di ruang kerjanya ketika masih menjabat Wakil Ketua DPRD Sultra.

Berikutnya Nur Alam tak mau kecewa lagi. Dia mau maju sendiri. Makanya di antara banyak kandidat, dialah yang paling siap. Toh sudah banyak yang ditanamkannya, dia juga sudah banyak mengalah. Saatnya untuk mendapatkan dukungan. Syukur jajaran PAN juga legowo memberi jalan kepadanya. Buktinya Arbab Paproeka ihlas jadi caleg DPR RI dan siap tinggal di Jakarta agar tidak ada matahari kembar di Sultra.
Untuk itu, Nur Alam sadar dia harus ekstra keras. Di saat bersamaan dia pun harus melindungi dirinya dari serangan Ali Mazi sebagai konsekuensi dari perseteruannya dengan sang gubernur. Perseteruan itu ada manfaatnya juga. Dia jadinya ditempa secara alami, dan akhirnya matang untuk bisa bertarung di pentas politik yang keras. Dia tahu di mana titik lemah Ali Mazi, kapan harus menyerang, dan kapan harus cooling down dulu. Nur Alam tahu semua itu.
Enam tahun mempersiapkan diri sejak gagal di Kota Kendari, dan empat tahun ditempa akibat ‘perang’ dengan Ali Mazi, sebetulnya sudah menjadi prasyarat menang dalam Pilgub Sultra. Kalau akhirnya Nur Alam menang, itu sudah diprediksi banyak orang.
Nur Alam menang sudah diprediksi. Ali Mazi kalah juga sudah diprediksi. DPP Golkar salah memilih figur, bahkan tim sukses Azimad pun ikut membenamkan Ali Mazi dalam kekalahan. Politik pencintraan tidak dilakukan oleh tim Azimad. Padahal, untuk menang dalam pilkada butuh pencitraan atas figur yang baru saja dililit masalah seperti Ali Mazi. Yang terjadi malah sebaliknya. Golkar tidak solid, berlangsung pemecatan, dan sebagainya.
Memang Ali Mazi sukses keluar dari jerat kasus Hilton, namun itu belum bisa melawan imej dan opini AM sebagai orang yang pernah berstatus tersangka. Butuh waktu lama untuk mengembalikan citra dan imej itu. Tak memadai kalau hanya mendatangkan Rully Chairul Tandjung, Aksa Mahmud, Tadjuddin Noer Said, Syamsul Mu’arif, dan Soemarsono dari DPP Partai Golkar. Pencitraan memerlukan waktu yang cukup dan aksi yang tepat, bukan mendatangkan orang-orang pusat yang tidak ada hubungnnya dengan daerah.
Benar, politik pencitraan tak dilakukan tim Azimad. Lagi pula Ali Mazi banyak menghabiskan energi di Jakarta akibat kasus HGB Hilton yang membelitnya. Praktis konsentrasi terbagi dua, di Kendari dan di Jakarta. Harapannya tim yang di Kendari-lah yang banyak beroperasi untuk mengintensifkan politik pencitraan dirinya. Sedihnya, itu tidak berjalan. Statusnya sebagai incumbent juga tidak menolong lantaran mutasi pejabat yang sering dilakukannya membuat banyak yang sakit hati.
Parahnya lagi, pasangan Ali Mazi juga tidak lebih bagus dari duet pasangan lain. Untuk mengalihkan pemilih rumpun Tolaki ke Azimad, misalnya, bukan berarti harus pula mengambil tokoh Tolaki sebagai pendamping. Bisa tapi harus benar-benar kapabel. Pengaruh ketokohan Abdul Samad belum sampai ke Kolaka, apalagi Kolaka Utara. Sebaliknya, Nur Alam mampu memasuki sisi-sisi humanis komunitas Bugis-Makassar di Sultra.
Atas kekalahan ini, tim sukses Ali Mazi di Kendari dan pembisik Jusuf Kalla di DPP Golkar harus dievaluasi. Kemarin DPP Golkar mengeluarkaan surat edaran (SE) yang mengancam pecat kadernya yang bandel jika gagal dalam pilkada. SE itu merupakan keputusan Rapimnas II Golkar di Jakarta yang ingin merevisi Juklak 05 tentang pemenangan pilkada. Karena revisi memakan waktu lama, dikeluarkan dulu surat edaran. Entah apa hasilnya nanti, yang pasti Golkar di Sultra kembali jeblok menyusul Muzakkir Mustafa yang dipermalukan di Kota Kendari.
Djeni Hasmar, La Ode Bariun, Ruslimin Mahdi, dan siapa saja dalam tim Azimad, seyogyanya pun ikut dievaluasi. Mau dilakukan atau tidak itu terserah Golkar. Karena yang lebih penting sebenarnya adalah tim Azimad ­­-terutama sekali Ali Mazi- harus siap kalah. Kalau itu dilakukan, itu baru namanya jantan. Wassalam. (*)

Jakarta 13 Desember 2007
Syahrir Lantoni, Indo.Pos Jakarta
(www.syahrirlantoni.blogspot.com)

09 Agustus 2008

Gonjang-ganjing DAK Pendidikan (4-Habis)

Kurang Sosialisasi, Banyak Penyimpangan

KASUS-kasus DAK di beberapa daerah memiliki beberapa pola. Ada sekolah tahu aturan, tapi hanya mau mudahnya. Ada pula sama sekali bingung mau diapakan DAK ini. Mungkin di sinilah perlunya sosialisasi.
Direktur Pembinaan TK-SD Depdiknas, Moedjito, tak sepenuhnya setuju kalau banyaknya daerah ‘merah’ itu lantaran DAK pendidikan kurang disosialisasikan. Departemen telah mengeluarkan juknis dan edaran mengenai pelaksanaan DAK pendidikan ini.
“Kalau masih ada yang kurang jelas, kan bisa tanya ke departemen. Saya pun siap menjelaskan kalau ada yang kira-kira belum dipahami,” katanya. Jangan karena tidak tahu lantas menyalahgunakan anggarannya.
Memang sebagian daerah memandang DAK ini masih abu-abu. Apalagi tidak sama tahun sebelumnya bahwa DAK itu 100 persen untuk renovasi. Setelah tahun ini ada perubahan, mereka pun bingung bagaimana tata cara dan pelaksanaannya.
Mereka sudah terbiasa dengan renovasi, sehingga tahu seluk beluknya. Tahu bagaimana memainkannya. Seperti yang dicurigai Andi Yuliani Paris, bahwa sekolah sudah diajak bersentuhan dengan dunia usaha, kontraktor bangunan, yang sebenarnya menyalahi kode etik pendidik (guru).

BUKU GRATIS?: Salah satu buku contoh yang diliris sebuah penerbit dan pencetakan buku di Jakarta.

Anggota Komisi X, Ruth Nina Keddang, menilai masalah muncul ketika DAK itu sudah tiba di daerah. Mereka berlomba memperkaya diri. “Kita sangat trenyuh,’’ ungkapnya.
Faktor sosialisasi akhirnya menjadi penting agar tahu bagaimana memanfaatkan dana DAK ini. Sosialisasi kepada Bawasda dan Komite Sekolah juga penting, sehingga bisa bersama-sama mengawal pelaksanaan renovasi atau pengadaan buku/alat perpustaaan dan peraganya itu.
Misalnya penerbit/distributor mana yang sudah mendapat rekomendasi produk bisa dipakai, usaha furnitur mana yang layak dipesan. Artinya, dengan penjelasan seperti itu, sekolah tentu tidak sampai membeli kucing dalam karung.
Kejadian di Magelang, Bandung, Solo, Jogja, Maluku, dan Soppeng, juga lantaran kurangnya sosialisasi. Bayangkan anggaran DAK belum mengucur, sekolah sudah ‘memesan’ pada pengusaha abal-abal. Itu sangat merusak.
Tapi masalah ini sebenarnya terbentur dana. Edaran dan juknis yang dikeluarkan ibaratnya hanya surat. Tiba di daerah lalu dibaca. Selesai. Padahal, sosialisasi, dan pengawasan butuh anggaran. Mau minta ke pengusaha, nanti dikira ada persengkongkolan.
Nina Keddang berharap Depdiknas berani menerapkan pola-pola professional, yakni adanya punishment and rewards yang jelas. Kepada pelaku penyelewengan DAK, Depdiknas langsung memberikan sanksi tegas.
‘’Diharapkan ada efek jera yang sangat berguna untuk menutup peluang munculnya persekongkolan,” kata Ruth Nina Keddang. (*)

27 Juli 2008

Gonjang-ganjing DAK Pendidikan (3)

Kontrol DPRD Lemah, BPK Jadi Pilihan

BAN YAKNYA kasus DAK pendidikan membuat sejumlah kalangan ikut prihatin. Salah satu solusi adalah memperketat pengawasan.
Direktur Pembinaan TK-SD Depdiknas, Moedjito, misalnya, mengaku potensi penyimpangan selalu saja menghantuinyaada pada pengadaan material penunjang kualitas pendidikan. Selaku pejabat yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar (SD) Moedjito tak ingin dana triliunan yang dikucurkan itu diselewengkan sekolah dan pejabat daerah. “Inilah yang membuat saya susah tidur,” katanya.
Meski begitu, Moedjito punya terapi untuk mengontrol pelaksanaan program DAK di daerah-daerah yang disebutnya rating. Daerah yang tingkat kebocorannya tinggi, akan diklasifikasikan sebagai daerah rating merah. Sebalinya adalah hijau. Daerah-daerah itu diberi scoring. Makin banyak penyimpangannya, skornya makin rendah.
Ketua Bidang Pendidikan dan Kesehatan DPP PAN, Ir Hj Andi Yuliani Paris MSc, juga tak habis pikir banyaknya pelanggaran dalam pelaksanaan DAK. “Biasanya yang melaksanakan anggaran renovasi itu adalah yang ditunjuk kepala sekolah. Ini menyalahi kode etik pendidik (guru, Red),” kata Yuliani.

TEMAN AKRAB: Drs Alim Tualeka MSc berpose di tengah-tengah koleksi buku pelajaran sekolah yang dicetaknya. Buku-buku itu siap didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Sekolah seolah diajak berbisnis buku dan pengadaan peralatan penunjang. Parahnya, sekolah pun membeli buku pada agen bermodal katalog. Bukan pada penerbit atau distributor yang kapabel.
Memang, beberapa penerbit dan agen-agennya di daerah sedang gencar-gencarnya gerilya. Agen penerbit/distributor besar berlomba masuk ke sekolah-sekolah. Laporan dari berbagai daerah menyebutkan, agen-agen Bintang Ilmu dianggap lengkap dan spesifikasinya sesuai edaran 1591/C/KU/2006.
Selain Yuliani, anggota Komisi X DPR yang membidangi pendidikan, Ruth Nina Keddang, dibuat gregetan dengan penyimpangan DAK ini. “Permasalahan muncul ketika DAK sudah diterima daerah. Pemerintah daerah menjadi lupa diri, sehingga dana dari pusat dipakai untuk memperkaya diri. Ini kan jahat sekali,’’ ungkapnya.
Lalu bagaimana dengan kontrol atau pengawasan terhadap distribusi DAK? Dengan tegas, anggota DPR asal NTT itu menyebut DPRD sangatlah lemah dalam menjalankan fungsi kontrolnya. Ke depan, pola pengawasan DAK hanya bisa dipercayakan kepada BPK atau BPKP. (bersambung)

22 Juli 2008

Gonjang-ganjing DAK Pendidikan (2)

Dengan Uji Petik pun Belum Aman

BANYAK cara dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah pelaksanaan DAK pendidikan. Salah satunya adalah dengan menggelar uji petik di hadapan sekolah-sekolah. Tapi hasilnya, belum memuaskan. Dana Alokasi Khusus yang jumlahnya besar, seperti membalalakkan mata pihak sekolah atau pengusaha. Pada 2003 jumlah DAK pendidikan baru Rp 625 miliar, lalu tahun berikutnya naik menjadi Rp 652,64 miliar. Tahun 2005 naik lagi menjadi Rp 1,21 triliun. Tahun ini melonjak lagi hingga Rp 1,92 triliun.
Tahun ini Rp 220 juta digelontorkan kepada setiap sekolah di 434 kabupaten/kota. Sekolah berhak mengelola sendiri, tanpa campur tangan terlalu jauh kepala dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Karena sudah ‘single’ itulah, mereka bebas menentukan distributor, agen dan penerbit untuk diajak kerjasama.
Ada dua jenis pekerjaan dalam pelaksanaan DAK pendidikan ini. Yaitu renovasi fisik sekolah/ruang kelas, rumah kepala sekolah dan rumah penjaga sekolah. Selanjutnya adalah pengadaan buku-buku, alat peraga, atlas, lemari, loker perpustakaan, pengayaan pengetahuan narkoba sebagai penunjang peningkatan kualitas pendidikan.
Untuk yang pertama, menjadi bagian pengusaha/kontraktor bangunan, sedangkan yang kedua gabungan antara pengusaha buku dan usaha furnitur. Parahnya, yang terjadi, para penerbit, pencetak, dan distributor buku juga seolah menjadi kontraktor untuk melaksanakan renovasi.

BINTANG ILMU: Salah satu penerbit dan pencetak serta distributor yang ikut berkompetisi dalam penyaluran buku dan alat peraga secara nasional.

Khusus dalam pengadaan buku, daerah Magelang menjadi contoh kasus. Pada 28 Agustus lalu, diadakan uji petik di tiga sekolah. Yakni SDN Mungkid II, SD Muhammadiyah Sirodjuddin, dan SDN Pabelan 2. Hasilnya mengecewakan. Satu dari tiga perusahaan gagal mempresentasikan ‘dagangannya’ kepada para kepala sekolah.
Dua perusahaan lain, yakni Krida Karya Semarang dan Peraga Pendidikan Nusantara mampu menghadirkan produknya secara lengkap sesuai spesifikasi yang tertera dalam juknis dan edaran Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas.
Di Magelang, DAK belum cair, tapi sudah 56 SD/MI sudah memesan kepada tiga perusahaan itu. Sebanyak 26 SD/MI ke Krida Karya Semarang, 22 sekolah ke GMA Pudak, dan 8 SD memilih PT Pembina.
Uji petik digelar agar sekolah ibaratnya tidak membeli kucing dalam karung. Produk yang ditawarkan produsen pun dapat dipertanggungjawabkan, transparan, dan kualitasnya terukur sesuai anjuran.
Kasus yang terjadi di Kabupaten Magelang ini juga terjadi di Bandung, Jogja, Solo, Maluku, dan Soppeng. Parahnya, konsorsium dari perusahaan yang gagal itu ikut pula uji petik di sini. Akibatnya, di Maluku dibentuk tim penilai buku. (bersambung)

20 Juli 2008

Gonjang-ganjing DAK Pendidikan (1)

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Dan kita dihadapkan masalah klasik: biaya pendidikan. Niat pemerintah untuk menggratiskan pendidikan tampaknya masih jauh. Yang bisa dilakukan untuk sementara adalah program BOS dan DAK pendidikan. Soal DAK ini saya menuliskan di Indo.Pos pada Desember 2007 silam. Berikut saya tuangkan lagi di blog ini secara bersambung.

Muncul Pemain Baru, Ada Bermodal Katalog

KEBIJAKAN pemerintah di bidang pendidikan cukup membesarkan hati. Triliunan rupiah dana dikucurkan untuk itu. Ada dana Dekon, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sekolah menjadi ‘silau’, sampai-sampai muncul banyak kasus.
DANA Alokasi Khusus telah tiga tahun digelontorkan ke sekolah-sekolah. Awalnya DAK pendidikan ini hanya untuk membantu merenovasi sekolah yang dulu dibangun secara massal oleh proyek Inpres pada 1970-an–1980-an. Pada 2003 jumlah DAK pendidikan baru Rp 625 miliar, lalu tahun berikutnya naik menjadi Rp 652,64 miliar. Tahun 2005 naik lagi menjadi Rp 1,21 triliun. Tahun ini melonjak lagi hingga Rp 1,92 triliun.
Memang pada tahun-tahun pertama dan kedua itu diperuntukkan bagi merenovasi ribuan bangunan SD yang rusak. Data dari Depdiknas menunjukkan dari 149.454 sekolah dasar (SD) di seluruh Indonesia, sebanyak 56 persen mengalami kerusakan. Karenanya, pada 2003 DAK pendidikan dipakai untuk merenovasi 6.908 gedung SD yang rudak di 287 kabupaten/kota.
Pada 2004 dana dialirkan ke 302 kabupaten/kota untuk memperbaiki 7.251 SD yang rusak. Tahun lalu, jatah DAK dipakai untuk merenovasi 13.567 gedung SD di 333 kabupaten/kota. Jadi total dari tahun 2003 sampai 2005 anggaran DAK telah berhasil merenovasi 51.248 gedung SD. Sesuai pelonjakan anggaran, DAK 2006 akan merenovasi lebih banyak lagi gedung SD yang tersebar di 434 kabupaten/kota.
Melonjaknya jumlah DAK Pendidikan tahun ini dikarenakan bukan hanya untuk fisik saja. Tapi juga untuk penunjang kualitas pendidikan. Anggaran sebesar Rp 2,91 triliun itu, berdasarkan edaran Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas No 1591/C/KU/2006, masing-masing sekolah mendapat jatah Rp 220 juta. Dari jumlah itu, Rp 80 juta dipakai untuk renovasi gedung sekolah/ruang kelas, Rp 20 juta untuk renovasi rumah kepala sekolah/penjaga sekolah, dan rehab sanitasi MCK Rp 10 juta.
Kemudian ada perbaikan mebelair sebasar Rp 22 juta, pengadaan lemari perpustakaan/locker sebesar Rp 3. 650.000, pengadaan paket alat peraga pendidikan Rp 21.400.000, pengadaan paket buku pengayaaan keterampilan siswa Rp 20 juta, pengadaan buku referensi untuk perpustakaan Rp 33.400.000, dan administrasi perpustakaan Rp 1.550.000.


RAJIN MEMANTAU: Direktur Pembinaan TK-SD Depdiknas RI, Moedjito.


Dana-dana besar ini diserahkan langsung ke sekolah melalui rekening sekolah. Ini sangat berbeda dengan proyek-proyek Inpres yang dulu dibangun secara massal dan terpusat. Kini, sekolah diberi kewenangan mengelola jatahnya sendiri. Secara material sekolah mendapat alokasi dana yang besar, tapi di sisi lain sekolah sudah digiring untuk ‘bermain mata’ dengan dunia usaha, khususnya kontraktor, penerbit, distributor buku, dan toko-toko furnitur.
Dari sinilah kemudian timbul berbagai masalah. Penerbit, agen dan distributor buku menjadi pemain baru dalam memanfaatkan DAK ini. Berbagai cara dilakukan agar buku-buku terbitan dapat masuk ke sekolah-sekolah. Ada yang menggandeng pejabat pusat, anggota legislatif, dan kekuatan lain.
Parahnya, oknum dari luar penerbit pun ikut ‘ambil bagian’. Modalnya cukup catalog buku dan alat peraga yang seolah-olah suatu konsorsium. Ini terjadi di Magelang, Semarang, Bandung, Jogja, Maluku, dan Soppeng.
Direktur Pembinaan TK-SD Depdiknas, Moedjito, mengakui memang ada potensi DAK ini diselewengkan oleh para oknum. Namun pihaknya juga berharap agar institusi pengawas bisa berperan besar mengontrolnya. “Memang Bawasda dan Komite Sekolah adalah institusi resmi. Tapi masyarakat pun diminta melaporkan jika melihat ada penyimpangan,” katanya kepada Indo.Pos kemarin. (bersambung)

03 Juli 2008

Yang Ringan dari Tanah Haram 2007 (4 - Habis)

Dua Kali Alas Kaki Hilang, Dua Kali Beli Baru


TIAP hari ribuan umat Islam tumplek blek di depan Kakbah. Apalagi jelang salat wajib. Salat di depan Kakbah lebih diterima doanya. Karena banyaknya manusia, alas kaki kadang lupa disimpan di mana. Kalau hilang, sudah pasti beli baru.
Dari Hotel Al Rawasia ke pintu Masjidil Haram hanya sekitar 200 meter. Pintu-pintu di Masjidil Haram masing-masing punya nama. Yang terdekat dengan hotel tempat jamaah Assuryaniyah menginap adalah pintu Al Marwah. Al Marwah diambil dari nama bukit dekat Baitullah. Hanya 400 meter ke Bukit Shafa.
Dalam sejarah, kedua bukit ini merupakan tempat Siti Hajar, Istri Ibrahim as, mencari air. Maklum saat itu padang sangat tandus. Ibrahim malah pergi meninggalkan istrinya itu dan anaknya, Ismail. Tinggallah Siti Hajar dan Ismail tanpa air setetes pun. Tujuh kali bolak balik antara Marwah dan Shafa barulah Siti Hajar mendengar ada gemericik air. Ternyata air itu adalah air zam zam yang keluar dari perut bumi.
Air zam-zam dekat Baitullah selalu dijadikan tempat minum para jamaah yang ke Masjidil Haram. Lalu di antara Bukit Marwah dan Shafa diwajibkan bejalan dan, di antara dua pilar, diharuskan berlari-lari kecil (sai) sebagaimana yang dilakukan oleh Siti Hajar. Tanpa sai, umrah dan haji menjadi tidak sah. Pintu masuk Masjidil Haram salah satunya adalah pintu Al Marwah. Di pintu itu pula sekaligus menjadi tempat mencopot alas kaki.


MENJULANG: Menara Masjidil Haram dilihat dari kejauhan, dipotret dari sisi kiri Hotel Al Rawasi Mekkah. Di bawah dua menara tersebut adalah pintu Al Marwah.

Kalau tak mau menyimpan alas kaki di dekat pintu, boleh memilih tempat penyimpanan lebih ke dalam lagi. Yaitu di pelaratan masjid yang berhadapan langsung dengan Kakbah. Tapi harus ingat dan tandai tempatnya. Salah ingat pasti tidak ketemu. Seperti yang saya alami.
Tanggal 21 April saya bersama belasan jamaah Assuryaniyah salat magrib di depan Kakbah. Tapi saya dan Akbar sedikit terlambat, sudah tidak kesampaian di pelataran masjid. Qamat sudah berkumandang, alas kaki pun sudah saya copot, dan langsung ikut salat. Salat dan doa selesai, semua pada cari alas kaki. Saya juga ke sana kemari mencarinya, tapi sandal yang saya bawa dari tanah air itu tidak ketemu. Itulah kehilangan pertama.
Di sekitar masjid, memang banyak toko sepatu dan sandal. Bisa pilih macam-macam model dan limit harga. Selain di toko-toko di sepanjang jalan menuju Masjidil Haram, juga ada warga Afrika yang menawarkan sandal jepit. Entah apa ada hubungannya kehilangan dengan banyaknya penjual sandal itu, tapi saya tak mau beli baru dulu. Pulang ke hotel terpaksa tanpa alas kaki.

DEPAN MAULID NABI: Di pelataran depan rumah tempat kelahiran Nabi Muhammad terdapat banyak burung merpati. Jamaah yang menuju ke Masjidil Haram melalui pintu Al Marwah pasti mendapatkan burung-burung merpati yang asyik mencari makan dan bermain.

Kehilangan alas kaki di Masjidil Haram hamir di alami setiap orang yang masuk ke sana. Rata-rata jamaah Assuryaniyah banyak kehilangan sandal. Begitu pula jamaah travel lain. Kehilangan kedua saya alami ketika pulang dari tawaf sunnah. Saat itu saya, dan sekitar 15 anggota Assuryaniyah menyimpan dekat pintu Al Marwah. Anggota Empat Sekawan, Derry dan Ginanjar, juga ikut. Usai tawaf, sedikitnya 5 anggota kehilangan sandal. Milik Derry tak terkecuali. Dua kali kehilangan, dua kali pula beli baru.

24 Juni 2008

Yang Ringan dari Tanah Haram 2007 (3)

Tak Sadar Handuk Terbawa sampai Usai Tawaf

BANYAK kejadian tak disangka selama menunaikan ibadah umroh. Ini yang cukup menggelikan. Handuk mandi milik hotel terbawa terus hingga selesai tawaf. Yang mendengar cerita ini pun tekekeh-kekeh, kok bisa, katanya. Rombongan umroh PT Assuryaniyah yang 365 orang berangkat dalam dua gelombang. Pertama pada 15 April 2007 sebanyak 229 orang, kedua berangkat sehari sesudahnya dengan jumlah 135 jamaah. Berdasarkan rute, semua jamaah akan start Jeddah-Madinah-Mekkah. Inti ibadah ada di Mekkah dan terakhir di Jeddah sebelum terbang kembali ke Indonesia.
Tiba di Bandara King Abdul Aziz di Jeddah pada saat magrib (dari Jakarta ditempuh 9 jam 20 menit). Belum pulih lelahnya, jamaah sudah harus naik bus ke Madinah selama 5 jam perjalanan. Bayangkan 9 jam duduk di dalam pesawat tambah 5 jam naik bus ke Madinah rasanya memang melelahkan. Tiba di Madinah sudah hampir subuh. Tapi semua kelelahan itu sirna setelah semua bersimpuh di dalam Masjid Nabawi, salat subuh. Inilah salat pertama di Masjid Nabawi. Berikutnya selama 3 hari dua malam dihabiskan di kota tempat Rasulullah wafat itu. Memperbanyak ibadah di Masjidil Haram dan ziarah ke tempat-tempat bersejarah. Jamaah mengunjungi makam Rasulullah yang terdapat di dalam Masjid Nabawi, sekaligus ziarah di makam dua sahabat ­–Abubakar dan Umar bin Khattab- yang tempatnya bersebelahan dengan makam Nabi Muhammad saw.

KULTUM DULU: H Kosasih, pemandu dari Assuryaniyah memberikan pengarahan di Hotel Dallah Taibah di Madinah sebelum menuju Bier Ali mengambil miqot.

Jelang ke Mekkah ada kultum alias kuliah 7 menit oleh KH Kosasih. Di sini dijelaskan rukun umroh, syarat dan larangan-larangannya. Katanya, wajib umroh adalah berihram, tawaf, sai, dan tahallul atau bercukur. Memakai pakaian ihram wajib. Dua potong kain putih harus dikenakan di tubuh, tak boleh ada kain atau bahan lain selain kedua itu. Pakaian dalam pun tak dibolehkan. Kain putih adalah simbol kesucian, sementara tanpa kain lain adalah dianggap telah siap mati, dan mudah proses memakamannya. Tawaf adalah mengelilingi Kakbah sebanyak 7 kali sambil berdoa, sai adalah berjalan dan berlari-lari kecil selama 7 kali antara Bukit Marwah dan Bukit Shafa atau sebaliknya. Terakhir adalah tahallul atau mengunting rambut tanda umroh sah.

BELUM SADAR: Saya ketika baru saja mau meninggalkan Bier Ali menuju Mekkah. Di sisi saya masih belum sadar kalau handuk masih terbawa.

Kamis siang 19 April 2007 semua jamaah berangkat ke Mekkah. Tapi sebelum naik bus harus sudah mengenakan pakaian ihram. Berihram diharapkan badan bersih, sehat dan wangi. Untuk itu harus mandi, pakai minyak, dan sekaligus menanggalkan pakaian dalam. Tubuh hanya boleh ditutupi 2 potong kain putih itu. Di sinilah saya mengalami kejadian yang menggelikan itu. Saya berempat dalam satu kamar. Saya, Akbar, Syamsul Rizal, dan Pak Ollie. Pak Ollie mandi pertama, disusul Sam (Syamsul Rizal). Waktu sudah mepet, Akbar juga mendahului saya mandi. Terakhir saya dapat giliran. Semua ternyata sudah memakai pakaian ihram, tinggal saya yang ditunggu. Buru-buru mandi dan keluar kamar mandi hanya dengan handuk putih milik hotel.

TIDAK LAGI: Ini saat miqot di Tan'im. Yaitu berniat untuk umroh sunnah. Di sini teman-teman mengingatkan jangan sampai handuk terbawa lagi.

Celana dalam saya tinggalkan di kamar mandi. Toh tidak dipakai lagi, juga kami tak balik lagi ke hotel Dallah Taibah Madinah ini. Saya keluar dengan hanya mengenakan handuk. Langsung pakai pakaian ihram. Bagian bawah dulu, lalu kemudian atasannya. Karena buru-buru handuk lupa saya lepas. Itu tak saya sadari sampai 11 jam lamanya. Yaitu satu jam perjalanan ke Bier Ali untuk mengambil miqot atau niat umroh, 5 jam perjalanan ke Mekkah, dua jam checking di hotel di Mekkah, makan malam, dan salat isa. Lebihnya adalah tawaf, sai, dan tahallul atau menggunting tanda umroh sudah sah.

Pulang dari baitullah saya belum sadar kalau handuk masih menempel terus di balik pakaian ihram saya. Dalam perjalanan pulang masih sempat bercanda dengan Akbar, Syam, dan beberapa jamaah lain. Prosesnya pun sama saat mau berihram. Pak Ollie ganti duluan, lalu Syam, Akbar, dan terakhir saya. Alangkah kagetnya ketika mau memakai celana dalam, ternyata handuk masih ada. Astagfirullah. Sejenak semua melongo, dan lalu berhamburanlah tawa mereka. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Yang pasti saya tidak sengaja, tidak menyadari. HM Nabil yang mendengar cerita itu juga tertawa dan dengan bercanda mengatakan umroh saya batal, harus bayar dam. Bayarnya lebih mahal dari larangan lain yang telah dilanggar. Wallahu ‘alam. (bersambung)

21 Juni 2008

Yang Ringan dari Tanah Haram 2007 (2)

Jalan-Jalan Malam di Madinah, Mobil Ditilang

KOTA Madinah termasuk kota yang tenang. Sebagai kota tempat ziarah di sana, Madinah sangat beda dengan Mekkah. Mekkah terlihat semrawut, macet dan sedikit panas. Untuk kemajuan kota, Madinah cukup berkembang. Lima sampai 10 tahun lalu Madinah belum begitu responsif atas perubahan. Kini mulai terasa.
Namun yang lebih pesat perubahannya adalah Kota Jeddah. Maklum kota ini adalah kota internasional dengan penduduk dari berbagai negara. Pendatang umumnya dari Philipina, Afrika, Indonesia, India, Pakistan dan Amerika-Eropa. Kota ini pula yang bebas dimasuki orang nonmuslim. Beda dengan Madinah atau Mekkah yang disebut tanah haram. Haram bagi nonmuslim.

PUSAT KOTA: Inilah kawasan Sultana yang menjadi pusat Kota Madinah. Di sini banyak toko dan pusat perdagangan mewah. Gaya western juga terlohat di sini.

Tanggal 19 April rombongan jamaah Assuryaniyah sudah berada di Madinah setelah menempuh perjalanan 5 jam dari Jeddah. Beruntung Masjid Nabawi cukup menyeberang dari hotel tempat jamaah menginap. Tak sulit dapat makanan, buah, minuman dan semacamnya, karena di sekitar hotel berdiri toko-toko dan pedagang. Hanya, jangan coba-coba cari rokok buatan Indonesia. Rokok di sana termasuk barang haram, kecuali rokok-rokok tertentu.
Untuk mencari rokok inilah, sepertinya perlu bantuan. Harus ada orang yang tahu seluk-beluk pedagang rokok atau toko yang yang meu menjual rokoknya di bawah tangan. Kebetulan ada teman asal Indonesia yang sudah 12 tahun bermukim dan bekerja di Arab Saudi. Namanya Tashin Rafie, saudara kandung Barratuttaqiyah, mantan wartawan IndoPos. Dia juga perokok buatan Indonesia. Saya tidak merokok, tapi Akbar justru pusing kalau tidak ngepul.

12 TAHUN DI ARAB: Tashin Rafie (kanan) ketika mengajak jalan-jalan malam sebelum keliling kota dengan Ford Jeep-nya.

Tashin datang malam-malam usai salat magrib. Ngobrol sebentar lalu menunggu salat isa. Usai salat isa bertiga dicapai kesepakatan untuk jalan-jalan menikmati Madinah di waktu malam. Tujuannya adalah keliling kota dan nongkrong di Star Bucks Cafe. Dengan mobil Ford Jeep, bertiga menelusuri tengah kota. Jalan protokol teduh. Mobil mewah tampak berseliweran.
Di Madinah toko-toko akan terus buka sepanjang hari kecuali waktu salat. Malam, toko dan perdagangan buka hingga jam 24.00. Makanya, kami jalan-jalan dulu sebelum mampir ke cafe. Madinah juga sudah modern, brand-brand dan simbol-simbol asing telah tersebar banyak. Mc Donald, KFC, dan pakaian merek-merek Eropa dan Amerika pun tersedia.
Mau cari produk elektronik dan jam tangan bermerek juga tersedia di sana. Ada Time, Tissot, Tag Hauer, Swacth, Rado, Rolex dan sebagainya gampang ditemui. Itulah gambaran Kota Madinah yang sudah mulai terbuka. Lima sampai 10 tahun lalu, Madinah masih disebut kolot. Namun kemajuan dan serbuan teknologi modern memaksa pemerintah Kota Madinah harus terbuka. Handphone sudah bebas digunakan. Tiga operator di sana pun berlomba menambah pelanggannya.

SUDAH TUTUP: StarBucks Cafe di kawasan Sultana yang tutup setelah pukul 12.30 lebih. Kami terpaksa pulang setelah mendapat pengalaman ditilang polisi lalu lintas.

Kami melewati jalan utama menuju kawasan Sultana. Di kawasan ini, menurut Tashin Rafie, adalah kawasan elite di tengah Kota Madinah. Di sanalah tempat nongkrongnya anak-anak muda Madinah. Nongkrong di sana, belanja di sana, dan juga memerkan kekayaannya di sana.
Kami terus bercerita dan berkeliling kota. Karena asyiknya, kami tidak lihat kalau traffic light sudah merah. Mau berhenti tanggung, mau terus juga sayang. Akhirnya harus putar balik. Ya, di perempatan Jl Sultana itu kami harus berbelok 90 derajat untuk menuju ke Star Bucks Cafe. Begitu memutar balik, kami sudah kesemprit polisi lalu lintasnya Madinah. Harus berhenti. Tashin terlihat tegang. Maklum, ganjarannya adalah penjara. Begitu memang bagi pelanggar lalu lintas di sana. “Di sini tak ada sogok-sogokan,” kata agen representatif Tiki di Arab Saudi ini.
Mobil dipinggirkan. Tashin dari jauh mencoba negosiasi. Tapi alot, polisi itu pun mendatangi mobil untuk melihat isi mobil. Saya dan Akbar tetap saja di atas mobil. Tashin melanjutkan nego. Lama, dan sepertinya bakal gagal. Tashin masih punya satu jurus. Dia mengatakan, yang diangkutnya adalah peserta umroh dari Indonesia.
Polisi sedikit kendor. Dari belakang datang lagi, dan memastikan apakah saya dan Akbar benar-benar adalah peserta umroh. Jadinya Tashin hanya ditilang, beruntung tidak dipenjara. Lolos dari polisi lega rasanya. Namun di Star Bucks Cafe kami tinggal melihat pintunya yang sudah tutup. Jam menunjukkan pukul 00.45 di sana. (bersambug)

14 Juni 2008

Yang Ringan dari Tanah Haram 2007 (1)

Rugi Pakai Mentari, Tak Bisa SMS dan Memanggil

ROMBONGAN jamaah Assuryaniyah sudah kembali berkumpul dengan keluarganya di tanah air. Subakir Mustaji yang sempat tertahan di Mekkah juga sudah tiba. Banyak kesan, banyak cerita lucu. Inilah yang ringan-ringan dari tanah haram tersebut yang disampaikan dengan gaya bertutur saya.
Sambil menyelam minum air. Begitulah saya. Selain ikut beribadah, juga melaporkan perkembangan jamaah umrah PT Assuryaniyah Cipta Pratama dari Arab Saudi. Saya dan Akbar memang sudah siap luar dalam. Siap umrah, siap pula melakukan liputan dari Arab Saudi dan tiba kembali dengan selamat di tanah air.

DI DEPAN DALLAH TAIBAH: Pagi sebelum ziarah ke beberapa tempat-tempat bersejarah, berpose dulu di depan Hotel Dallah Taibah tempat saya menginap. Hotel ini hanya menyeberang jalan sudah sampai di komplek Masjid Nabawi. Di latarbelakang sebuah minimarket, di situlah saya membeli kartu GSM nomor lokal yang plug and play.

Sebagai alat komunikasi, saya berangkat dengan kartu Mentari dari Indosat. Xplor yang saya pakai diparkir dulu karena roaming internasional tidak bisa dibuka, kecuali deposit Rp 1,5 juta. Di tanah air, saya diberi penjelasan mengenai tatacara memanggil dan berkirim SMS. Kode dan cara pemanggilan saya simpan di notes handphone. Sehari sebelum terbang aktivasi roaming internasional dilakukan dengan proses 24 jam pasti aktif.
Perkiraan saya, setiba di Jeddah Arab Saudi kartu itu sudah aktif. Saya dan rombongan berangkat tanggal 16 April 2007 dengan waktu tempuh 9 jam 20 menit. Artinya setiba di Jeddah kartu itu sudah ready. Apalagi sudah terisi pulsa Rp 300 ribu. Namun magrib pada saat tiba belum juga aktif. Besoknya baru ada notifikasi melalui SMS yang menyatakan “Selamat menikmati perjalanan, Mentari roaming di 32 negara. Silakan hubungi contact center Indosat +622154388888.”

DI ANTARA PERTOKOAN: Keluar dari komplek Masjid Nabawi akan bertemu dengan deretan pertokoan serta hotel. Saya berdiri depan sebuah toko dengan latar belakang Masjid Nabawi.

Akbar sendiri membawa kartu Halo Telkomsel. Langsung bertelepon ria ke Indonesia. Enak, tak ada hambatan. Saya melongo karena Mentari yang saya bawa tak bisa menghubungi siapa pun. SMS pun tidak bisa. Itu pun saya lakukan setelah tulisan Al Jahwal dan Mentari sudah terpampang di layar HP. Artinya kartu sudah siap digunakan. Namun yang terjadi tetap tidak bisa. Katanya, dalam bahasa Arab, nomor yang saya tuju tidak lengkap. Ada apa?
Ke contact center juga menyatakan demikian. Tiba di Madinah Mentari itu tetap tidak bisa digunakan. Kode yang diberikan yakni *100*008<> Di Mekkah saya pun berulang-ulang mencoba memanggil lagi. Juga tidak bisa keluar. Saya coba ke nomor lokal, juga tidak bisa. Aneh. Melalui Akbar, staf penting di Indosat pun menyatakan sistem sudah aktif, namun dia tak paham kode panggilnya. “Kalau soal kode, saya tanya teman dulu,” kata Israruddin, CellularMarketing Communications Indosat, menjawab SMS Akbar.

TANDUS: Inilah lokasi (bukit) Uhud yang dalam sejarah Islam sebagai tempat pertempuran pasukan Rasulullah melawan kaum kuraisyi. Di lokasi ini, komunukasi saya ke Indonesia cukup lancar dengan menggunakan operator GSM Mobily.

Terakhir, melalui Syamsul Rizal, teman sekamar, mencoba mengutak aktik nomor dan kode-kode pangggil Indosat. Maklum dia menggunakan kartu Matrix yang berarti Indosat juga. Tapi hasilnya juga nihil. Mulai saat itulah, saya tak pakai Mentari lagi di Arab Saudi. Cukup pakai nomor lokal dari Mobily. Tinggal isi pulsa 30 riyals atau 60 rilyal. Pulsa 30 riyals dijual 30 riyals juga. Begitu pula pulsa 60 riyals dijual dengan harga sama. Para petinggi Assuryaniyah juga menggunakan nomor lokal dari Mobily.
Seperti HM Syami, Hamdy SA, Lutfey, Cholik dan para pemandunya. Hamdy sendiri nomornya masih dipakai di Indonesia. Berarti Mobily pun bisa roaming internasional sampai ke Indonesia tanpa harus aktivasi dulu.
Saya pertama kali ditawari kartu perdana di suatu kedai minum saat singgah di Rasili, 10 km dari kota Jeddah menuju Madinah. Itu dijual oleh seorang penjaganya. Harganya 85 riyals dengan pulsa 85 riyals juga. Saya tolak karena saya masih berharap Mentari saya bisa aktif saat di Madinah nanti. Tapi di Madinah akhirnya saya kepepet juga, apa boleh buat terpaksa beli di salah satu supermarket.

ANAK MUDA: Panitia dan pengelola PT Assuryaniyah sedang santai sambil berdiskusi di rumah HM Lutfi (membelakangi lensa) di Mekkah. Mereka masih tergolong muda namun sangat profesional dalam mengelola perjalanan umroh. Saya pun (lagi memotret) ikut nimbrung ngobrol-ngobrol dengan mereka.

Promosinya, kartu perdana 100 riyals dengan pulsa 85 riyals. Saya beli tapi tekor juga. Mengapa tidak beli saat di Rasili tadi, harganya cuma 85 riyals dengan pulsa yang dijanjikan 85 riyals pula. Namun tak apa, bedanya hanya 15 riyals, lagi pula supermarketnya cukup menyeberang jalan dari Hotel Dallah Taibah tempat kami menginap. Yang penting lagi, cukup menyeberang jalan ke Masjid Nabawi. (*)

08 Juni 2008

UMROH BERSAMA ASSURYANIYAH 2007 (11 - Habis)

Hari Ini Satu Menyusul Tiba di Tanah Air

Hampir semua jamaah program umrah dalam rangka milad ke-34 Assuryaniyah tiba di tanah air. Kemarin adalah keloter terakhir dari 365 jamaah. Hanya satu yang masih tertinggal, namun hari ini dipastikan tiba di Cengkareng.
Tujuh malam di Arab Saudi rasanya sangat singkat. Masih ada ratusan doa yang belum dimunajatkan. Namun begitu, perjalanan umrah harus berakhir hari ini di saat semua tiba di Cengkareng, kemarin. Sehari sebelumnya 228 jamaah sudah tiba dengan Garuda Indonesia Airways (GIA). Seharusnya 229, namun seorang ditinggal lantaran passportnya terbawa teman sendiri. Passport dan barang sudah tiba di Jakarta, pemiliknya, Hj Zawalis, tertahan di Jeddah.

TOKO INDONESIA: Di kawasan Pusat Perbelanjaan Chornice ada toko Indonesia yang menjual berbagai macam karpet, sajadah, parfum, kacang Arab, kurma, dll. Jamaah pasti ke toko-toko ini sebelum pulang ke tanah air. Saya tak ketinggalan berbelanja di sini, namun foto dulu sebelum masuk.

Kemarin sebanyak 137 jamaah sudah mendarat. Di dalamnya ikut Hj Zawalis. Maklum passportnya yang terbawa teman sudah dibawa langsung staf PT Assuryaniyah ke Jeddah, Minggu malam. Tanggung jawab Assuryaniyah kembali diperlihatkan di sini. Sementara satu lagi yang tertinggal di Mekkah, kemarin juga sudah bertolak ke Bandara King Abdul Aziz di Jeddah. Subakir diperkirakan tiba di Cengkareng hari ini.
Banyak ibadah dan banyak cerita dari sana. Misalnya PT Assuryaniyah menjadi travel haji dan umrah cukup dikenal luas di sana. Hotel-hotel bintang dan dekat dengan pusat peribadatan kenal benar dengan PT Assuryaniyah. Perusahaan yang didirikan ‘Si Singa Podium’ Hj Suryani Tahir itu dikenal selalu terbanyak jamaahnya masuk ke Arab. Itu karena mereka punya banyak program. Selain milad tiap tahun, juga ada umroh plus, umroh keluarga, dan paket nikah di Mekkah. Tak heran kalau kerjasamanya dengan hotel-hotel di sana cukup bagus. Buktinya, semua hotel yang ditempati paling jauh hanya 400 meter dari Masjid Nabawi atau Masjidil Haram.

BELANJA DI CHORNICE: Jelang keberangkatan pulang, saya masih sempat keliling di pusat perbelanjaan Chornice di Kota Jeddah.

Dari sisi pemanduan, semua tersedia. Assuryaniyah menggunakan banyak tenaga-tenaga lokal asal Indonesia. Tenaga ini adalah pelajar atau tokoh agama yang sudah lama menetap di Arab Saudi. Tak sulit mereka menjelaskan tempat-tempat bersejarah di sana. Jamaah puas, dan mengerti prosedur ibadah.
Tenaga-tenaga ini juga bisa menjadi guide, misalnya mengantar jamaah untuk berbelanja, mencari tempat-tempat penjualan barang-barang tertentu. Seperti ketika saya harus pontang-panting cari internet. Dia tahu mana internet yang murah, mana yang ‘lelet’. Saya, jika mencari sendiri harus membayar mahal, 20 riyalas per jam. Itu di Aziziah, namanya cafe internet. Tapi dengan dia, dapat 10 riyals per jam. Akses-nya cepat pula.

JAMAAH LAIN: Saya (kiri) bersama Dery dan jamaah umroh dari travel lain saat berbelanja di Jeddah.

Cerita tentang oleh-oleh dan belanjaan tak bakal habis. Sudah menjadi rahasia umum kalau orang Indonesia berhaji-umrah selalu identik dengan shopping. Sangat konsumtif. Mereka tak bisa disalahkan juga, karena ada pandangan bahwa apa pun yang dibeli di tanah Arab berkahnya banyak. Apalagi jika dibagi-bagikan kepada kerabat di tanah air. Kerabat di tanah air pun berpandangan sama. Oleh-oleh apa saja ada berkahnya, bahkan bisa menjadi daya magnit agar bisa naik haji atau umroh.
Belanjaan yang pertama-tama dicari adalah makanan khas di sana. Itu kurma.Hampir sama nilainya dengan air zam-zam. Kemudian perhiasan-perhiasan, baik emas, perak, batu permata maupun perhiasan imitasi. Lalu parfum, kemudian wadah-wadah berwarna keemasan atau betuliskan al Quran. Gift set seperti miniatur Kakbah, gambar miniatur Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjid Quba, dan gambar-gambar dengan lafaz Allah dan Muhammad.


NGOPI DI KING ABDUL AZIZ: Menunggu keberangkatan pulang, saya dan Akbar Muslim ngopi santai dulu.

Lebihnya kain, mainan anak-anak, penghias wajah seperti daun pacar yang sudah dikemas dalam tube. Ramuan pemercantik mata seperti cilla’ atau sejenisnya. Kalau masih ada modal, pilih produk-produk non Arab yang kebanyakan bisa dibeli di Jeddah. Jamaah Assuryaniyah sempat menikmati pusat perbelanjaan terbesar di Jeddah, yaitu Corniche Trade Center. Di sana ada toko khusus Indonesia, namanya Toko Amir dan Toko Ali. Kedua toko ini menjual macam-macam parfum, kurma, sajadah kualitas tinggi, dan makanan-makanan khas Indonesia seperti jambu mete.
Namun yang sulit ditemukan adalah kaos oblong dengan simbol-simbol negara Arab Saudi, misalnya lambang negara Arab Saudi atau ikon khas di sana. Maklum penduduk Jeddah sudah berbaur muslim dan nonmuslim. Gaya hidup di sana pun sudah western alias kebarat-baratan. Kaos, jeans dan semacamnya kebanyakan import. Jam tangan semua dari Eropa, Amerika dan Jepang.
Derry, Ginanjar, dan Eman dari Grup Empat Sekawan tak ketinggalan belanja di sini. Derry misalnya memilih model kemeja terbaru yang tampak seperti pakaian soft cowboy, jahitannya seolah mau lepas, namun ternyata tetap aman karena ada lapisannya. “harganya 100 riyals,” katanya. Baju itulah yang dipakai Derry pulang ke tanah air. (*)

07 Juni 2008

UMROH BERSAMA ASSURYANIYAH 2007 (10)

Barakhir di Jeddah, Janji Niat Datang Lagi

Kemarin adalah hari terakhir di Arab Saudi. Enam kelompok sebelumnya juga telah terbang ke Indonesia. Itu karena mereka juga lebih dulu ke Arab. Hari ini adalah giliran kelompok 6 dan 7 yang terbang pulang. Banyak amal, banyak ibadah, dan semua berniat kembali lagi tahun depan. Semoga.
Tawaf wada merupakan tawaf perpisahan. Itulah yang dilakukan 350 lebih jamaah umroh PT Assuryaniyah. Setelah tawaf siang-siang di depan Kakbah, semua berkemas meninggalkan hotel. Dua jam di perjalanan, sekitar pukul 17.30 atau 21.30 WIB semua tiba di Jeddah.

MALAM DI JEDDAH: Begitu tiba (malam), saya curi-curi waktu berjalan-jalan ke pusat pertokoan di Jeddah.

Jeddah adalah kota internasional di Arab Saudi. Kota Jeddah ini termasuk kota bebas, bukan kota haram bagi nonmuslim seperti Mekkah dan Madinah. Di sini juga merupakan pintu masuk Arab Saudi. Ada pelabuhan dan Bandara Internasional King Abdul Aziz. Bandaranya mewah, yaitu untuk penerbangan internasional dan jamaah haji. Bandara ini juga melayani penerbangan kerajaan, dan domestik.
Di sisi barat terbentang Laut Merah yang juga bersejarah. Di sini ada makam Siti Hawa, meskipun masih ada perbedaan kisah dari sekian mashab yang ada. Namun begitu, yang paling kuat menyebut di sinilah nenek manusia itu dikuburkan.

SANTAI: Bersama Dirut PT Assuryaniyah H.M. Syami ketika rombongan mengunjungi Laut Merah di Jeddah.

Di kota ‘bebas’ ini cerita-cerita meluncur keluar. Dari semua kelompok terbang, peserta umroh ternyata tidaklah sendiri-sendiri. Umrah ini boleh dikata ‘umrah keluarga.’ Sebab, banyak rombongan keluarga menggunakan jasa travel yang berpengalaman ini. Ada rombongan dari Yayasan Daarul Muttaqin Perumahan Harapan Indah Bekasi. Jumlahnya 10 orang dari lingkungan komplek.
Kesepuluh anggota ini ternyata ikut atas prakarsa Ketua Yayasan, Ahmad Yani. Pak Haji Yani, begitu biasa dia dipanggil, memang cukup dekat dengan PT Assuryaniyah. Musim haji dua tahun lalu dia lewat Assuryaniyah juga, tahun lalu giliran istrinya, Fivien Meilani, yang umrah. Kini keduanya masih ikut, tapi membawa 10 orang dalam rombongan.

NAMPANG: Personel Empat Sekawan, Dery, bersama Dirut Assuryaniyah H.M Syami di atas sedan milik H.M. Lutfie, panitia dari Assuryaniyah saat di pinggir Laut Merah.

Kepada Indo.Pos Pak Haji Yani promosi habis-habisan mengenai kelebihan travel haji dan umrah ini. Dirut PT Assuryaniyah, HM Syami pun, tersipu di depannya. “Ini bukan promosi lho, tapi kenyataan. Mana ada travel yang bisa memberangkatkan 1.000-an jamaah tanpa masalah,” katanya.
Dia bercerita, apa yang dilakukannya hanya karena ibadah. Mengajak orang-orang di lingkungannya agar olewat Assuryaniyah saja bukan karena ada apa-apanya dengan travel ini. Tapi semata-mata ajakan untuk beribadah. “Nawaitu saya adalah mengajak orang untuk beribadah,” katanya.

TERIK: Terlihat betapa teriknya matahari di Kota jeddah, seperti ketka saya manahan panas untuk sekadar berfoto di pinggir Laut Merah.

Menurut dia, tadinya banyak yang ragu lewat Assuryaniyah. “Namun setelah mendengar cerita dan pengalaman berumroh dari banyak orang, ya, mereka pun ikut Assuryaniyah,” katanya saat makan pagi yang didampingi istrinya di Mekkah. Pemberangkatan awal di tahun ini Yani rencananya mengajak salah satu perwira Polri, namun berhalangan karena yang bersangkutan mendadak menerima tugas penting.
Selain kelompok H Yani ini, ada pula dua pasangan peraih hadiah umroh dari PT Telkomsel. Namanya Gaffar Ismail dan Firdaus Karim. Gaffar membawa istrinya, sedangkan Firdaus membawa adik kandungnya. Firdaus kepada Indo.Pos menceritakan ketika mendapat hadiah itu. Dia begitu senang, bahkan kalau bisa berangkat secepatnya. “Ditanya passport oke, ditanya siap mental saya juga oke,” katanya. (*)

02 Juni 2008

UMROH BERSAMA ASSURYANIYAH 2007 (9)

Ziarah Lagi, Tawaf, dan Tawaf Lagi

Seperti apa kegiatan jamaah umrah Assuryaniyah jelang keberangkatan menuju Jeddah kemarin? Ziarah dan tawaf. Tawaf sunnah dan tawaf wada. Karena hanya sunnah, ada sebagian yang tidak ikut. Tawaf sunnah dilakukan Jumat malam, sedangkan tawaf wada dilaksanakan usai dhuhur pada Sabtu siang WIB.
Tawaf sunnah dilakukan setelah miqot di Masjid Tan’im atau disebut juga masjid Siti Aisyah. Di sini jamaah kembali memakai pakaian ihram. Usai itu, semua rombongan yang jumlah terakhirnya mencapai 365 orang balik ke hotel. Salat magrib lalu ke Masjidil Haram. Ada juga sebagian kelompok yang baru ke turun ke Baitullah setelah makan malam dan salat isa. Artinya jamaah masih harus tetap berihram.
Saya turun ke Baitullah setelah isa. Sebenarnya banyak pilihan waktu untuk tawaf. Tapi mengapa mau melakukan agak malam? Karena diperkirakan jamaah dari seluruh dunia mulai meninggalkan Masjidil Haram. Masjid ini selalu padat antara magrib dan isa. Maklum waktu magrib dan isa cukup singkat sehingga lebih baik menunggu isa selasai baru meninggalkan masjid.

PADANG BUKIT: Saya dan rombongan ziarah ke Jabal Nur di Mekkah. Di sinilah dalam sejarah tempat Nabi bersembunyi sebelum hijrah ke Madinah karena dikejar oleh kaum kafir.

Di saat usai isa itulah sebagian besar rombongan Assuryaniyah berbaur menuju Kakbah. Kakbah disebut juga Baitullah (Rumah Allah) atau Baitul 'Atiq (Rumah Kemerdekaan). Dibangun berupa tembok segi empat yang terbuat dari batu-batu besar yang berasal dari gunung-gunung di sekitar Mekah. Kakbah berada di tengah-tengah Masjidil Haram. Sementara masjid ini memiliki luas 328.000 meter persegi dan dapat menampung 730.000 jamaah dalam satu waktu salat berjamaah.
“Labbaika lahu malabbaik, labbaika la syarikala laka labbaik, Inna hamda, wan ni’mata laka wal mulk. Labbaika la ssyarikalak”. Begitu kalimat talbiyah saat menuju Kakbah. Tujuh putaran selesai dilanjutkan salat di depan pintu Kakbah. Di sinilah jamaah banyak meneteskan air mata. Memohon ampun dan memanjatkan doa sesuai keinginannya.
Prosesi belum selesai. Jamaah masih harus sai, yaitu berjalan dan berlari-lari kecil antara Bukit Marwah ke Bukit Safa. Namun sebelum sai, diharuskan singgah di sumur zam-zam untuk minum dan juga membacakan doanya. Sumur zam-zam letaknya 20 meter sebelah tenggara Kakbah. Kini mata air zam-zam itu sudah modern. Air tak lagi muncrat atau mengalir dari bawah tanah, tapi sudah melalui keran-keran gallon yang berjejer. Setiap saat jika gallon sudah kosong langsung diisi petugas.

DI TAN'IM: Saya ketika melaksanakan salat sunat untuk berniat melakukan umroh sunat.

Sumur Zamzam mempunyai riwayat tersendiri. Sejarahnya tidak dipisahkan dengan istri Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar, dan putranya Ismail AS. Sewaktu Ismail dan ibunya hanya berdua dan kehabisan minum, Siti Hajar pergi ke Bukit Safa dan Bukit Marwah sebanyak 7 kali. Namun tidak berhasil menemukan air setetespun, karena tempat ini hanya merupakan lembah pasir dan bukit-bukit yang tandus, belum didiami manusia selain Siti Hajar dan Ismail. Saat kali ketujuh Siti Hajar tepat berada di Bukit Marwah, tiba-tiba terdengar suara yang mengejutkan. Dia menuju ke arah suara itu. Alangkah terkejutnya, bahwa suara itu ialah suara air yang memancar dari dalam tanah dengan derasnya. Air itu adalah air Zamzam. Itulah sebabnya setelah tawaf harus dilakukan sai, yaitu jalan dan berlari-lari kecil 7 kali antara Bukit Safa ke Bukit Marwah. Kedua bukit ini berada di sekitar Kakbah, jarak kedua bukit hanya 400 meter.
Ibadah hampir selesai. Yang terakhir ini hanya menggunting rambut atau bercukur atau tahallul. Hampir semua jamah mengaku tidak bawa gunting. Beruntung ada jasa pengguntingan rambut, dibayar 5 sampai 10 riyals.

PERTEMUAN ADAM-HAWA: Inilah tugu sebagai simbol dan tempat pertemuan Adam dan Hawa di Jabal Rahmah. Para jamaah tak lupa menuliskan doa agar rukun dan damai dengan orang-orang tercinta.

Sebelumnya, pada Jumat sore rombongan Assuryaniyah ziarah ke Jabal Rahmah, sebuah tugu di atas bukti tempat pertemuan Adam dan Hawa. Juga ke Jabal Nur, Jabal Tsur, Mina, Musdalifah, dan miqot di Masjid Tan’im di Kota Mekkah. Arafah, Mina, dan Musdalifah terlihat kosong karena memang daerah ini hanya boleh dipadati saat musim haji.
Usai tawaf wada, kemarin rombongan bersiap menuju Jeddah. Menurut jadwal, rombongan akan menginap semalam di Jeddah sebelum bertolak pulang ke Indonesia pada Minggu siang. (*)

31 Mei 2008

UMROH BERSAMA ASSURYANIYAH 2007 (8)

Komar Sembuh, Langsung Menyusul ke Mekkah

Masih ingat Komar dinyatakan batal ikut umrah PT Assuryaniyah? Kamis sore lalu tiba-tiba menelpon ke Posko di Mekkah. Dia minta dijemput di Jeddah. Panitia kalang kabut, dan akhirnya dia datang memenuhi rencana reuni Empat Sekawan di Arab Saudi.
Kepastian kedatangan H Komar itu juga disampaikan anggota personil Empat Sekawan, Derry. Kepada Indo.Pos Derry menyatakan kegembiraannya bisa bereuni kembali di Mekkah. “Pertama kali kami umrah 10 tahun lalu. Bersyukur Komar bisa menyusul. Boleh dikata Assuryaniyah kembali mempersatukan kami,” kata Derry yang didampingi Ginanjar dan Eman.
Dirut Assuryaniyah HM Syami membenarkan kalau Komar akan menyusul. “Sore ini kami jemput,” katanya. Diperkirakan anggota DPR dari Partai Demokrat tersebut tiba pada magrib nanti. Jeddah Mekkah hanya 1 jam naik bus.

SANTAI DI MEJA MAKAN: Dery, Ginanjar, Emon, dan H Komar -Empat Sekawan yang kembali reuni di Tanah Haram dalam program umroh reguler Assuryaniyah.

Benar, Kamis sore WIB komedian yang kini menjadi anggota DPR RI itu sudah terlihat di loby hotel sudah berpakaian ihram dan ikut kultum di ruang makan. Indo.Pos pun sempat berkelakar dengannya. “Gak enak aja ama teman-teman, masak gini aja reuni harus batal,” katanya.
Komar memang harus melaksanakan tawaf, sa’i, dan tahallul. Sebab inilah inti ibadah umrah. Selesai tawaf, komedian yang banyak berdakwah ini pun ikut larut dalam tasyakuran PT Assuryaniyah di Masjidil Haram. Acara pengampunan dosa itu dilakukan pukul 01.30 Jumat dinihari. Acara itu dipimpin H Kosasih dan diikuti hampir semua jamaah umrah. Pendiri Assuryaniyah Hj Suryani Tahir hadir dalam acara syukuran tersebut.
Jumat di Mekkah adalah hari libur. Para jamaah boleh dikata tidak ada kegiatan hingga salat Jumat. Kamis lalu juga seharian acara bebas. Inilah yang dimanfaatkan sebagian besar jamaah untuk jalan-jalan di sekitar Masjidil Haram. Berombongan mereka ke Pasar Seng, sebutan bagi pasar yang cukup terkenal di Mekkah. Ada pula ke Masjidil Haram untuk mendekatkan diri ke Baitullah. Lainnya adalah menyusuri gang di mana terdapat banyak minimarket Indonesia.

RIWAYAT ISLAM: Inilah bangunan yang diyakini sebagai rumah tempat Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Tentu bangunan sekarang tidak sama dengan bangunan di saat Muhammad lahir. Rumah ini letaknya tak jauh dari Masjidil Haram, kira-kira hanya sekitar 200 meter dari Kakbah. Rumah kelahiran Muhammad tersebut kini dijadikan sebagai perpustakaan Kota Mekkah.

Di lain pihak, ada yang hanya foto-foto di depan rumah tempat Nabi Muhammad dilahirkan. Rumah itu seperti tidak terawat, hanya dijadikan perpustakaan yang kelihatannya jarang dibuka. Warnanya putih kusam. Dua hari pemantauan Indo.Pos, rumah atau perpustakaan tersebut tidak pernah dibuka sama sekali. Di depannya banyak pengemis yang rata-rata dari Afrika. Rumah tersebut berhadapan persis dengan pintu Al Munawar Masjidil Haram. Memang Setiap pintu di Masjidil Haram punya nama. Yang dekat dengan tempat sa’i disebut Munawara Gate.
Saya dan Akbar Muslim juga ikut ke Pasar Seng, lalu menyusuri minimarket Indonesia itu. Maklum Akbar adalah perokok. Di Arab, rokok adalah ‘barang haram’. Minimarket ini hanya menjual rokok asal Indonesia di bawah tangan. Saat ditanya semua mengatakan tidak ada, takut jangan sampai ketahuan.

PAGI DI MEKKAH: Usai salat subuh di Masjidil Haram banyak jamaah menyempatkan berjalan-jalan di sekitar kawasan Pasar Seng. Saya sendiri menelusuri pasar buah, dan membeli koran Jawa Pos di toko Indonesia. Saya ketika difoto oleh Akbar di depan lapak-lapak penjual buah.

Di toko Surabaya baru bisa dapat. Itu pun diserahkan dengan tertutup rapat. Di sana pula ada dijual koran Jawa Pos edisi sehari sebelumnya. Jawa Pos terbaru adalah edisi Kamis 18 April 2007. Ada juga harian Kompas di toko ini. Sementara di toko Nusantara dan Bandung, serta toko Puncak Sumatera tersedia Jawa Pos, Nova, dan Tabloid Pulsa. Saya membeli Jawa Pos.
Soal warnet, saya sempat kelimpungan. Warung internet seperti barang langka di Mekkah. Hotel berbintang nyaris tak menyediakan internet di bussiness center-nya. Untung ada panitia yang memiliki internet lengkap di kediamannya. Hamdy, juga panitia, bersedia mengantar saya ke rumah Lutfie dengan mobil sedan mewah milik Lutfie sendiri. Sayang Windows Vista Lutfie tak bisa membaca flash disk USB milik saya. Artinya, di rumah Lutfie, saya gagal mengirim laporan ke tanah air. Namun atas jasa pengusaha muda asal Indonesia di Mekkah ini, saya baru bisa mengakses internet di cafe internet di kawasan Aziziah. Hanya saja Windows-nya berbahasa Arab. Saya pun meraba-raba seadanya saja. Sukses, dan terkirimlah berita yang terbit pada edisi kemarin.

DI LOBY AL RAWASI: Sepulang salat subuh, jamaah duduk-duduk dulu di loby hotel sebelum keluar melihat-lihat Kota Mekkah atau berbelanja di pusat pertokoan. Saya (baju merah pegang koran Jawa Pos) berfoto bersama dengan panitia, Dery, Emon, Ginanjar, dan beberapa anggota rombongan.