25 April 2008

UMROH BERSAMA ASSURYANIYAH 2007 (1)

Bulan April adalah musim umroh. Mulai awal bulan itu, gelombang umroh terus beterbangan menuju Jeddah, Madinah, dan Mekah di tanah Arab. Tahun lalu saya mendapat kesempatan melaksanakan ibadah umroh bersama Biro Perjalanan Haji dan Umroh PT Assuryaniyah. Dari Indo.Pos saya tidak sendiri, tapi ditemani Akbar Muslim, staf iklan Indo.Pos. Saya dan Akbar berangkat 15 April 2007 bersama 300 jamaah Assuryaniyah yang terbagi beberapa kelompok terbang lainnya. Banyak cerita dan pengalaman spiritual yang saya tulis di sana, bahkan sepekan sebelum terbang saya sudah membuat laporannya. Inilah catatan perjalan itu yang dimuat bersambung tiap hari di Indo.Pos.

Berangkat Siap, Posko Siap, dan Semua Siap

Tak kurang dari 300-an jamaah umroh yang diberangkatan travel PT Assuryaniyah sudah siap terbang. Senin dan Selasa depan, mereka terbang dengan Garuda 980 dan GIA 981. Dari manasik 1 April lalu tergambar semua jamaah yang terdaftar sudah siap bertolak ke Arab Saudi. Di tanah haram itu, para jamaah akan memenuhi panggilan Ilahi Rabbi. Tawaf, sai, dan tahallul adalah inti dari ibadah umroh.
Bagaimana persiapannya? Mulai kemarin, sudah banyak calon jamaah yang mengadakan syukuran. Syukuran dilakukan di rumah masing-masing. Ada beberapa agak beda cara syukurannya. Cukup mengundang tetangga, kerabat, imam dan ustad di lingkungan untuk baca doa. Juga ada yang membagikan seserahan kepada tetangga sebagai rasa syukur.


MANTAP: Pemandu dari Assuryaniyah, H Nabil membacakan pengumuman dalam acara penjelasan tata cara beribadah umroh di aula Assrama Haji Pondok Gede. Nabil didampingi Ginanjar dan Derry, dan Akbar Muslim.

Tapi apa pun, berkesempatan beribadah umroh adalah hal terpenting dalam diri setiap muslim. Ada kesempatan, ada kemampuan, ya berangkat. Seperti yang ditunjukkan 300-an peserta jamaah Assuryaniyah ini.
Dari daftar peserta, rata-rata berangkat bersama keluarga. Misalnya dengan anak, saudara. Ada pula pemenang hadiah umroh dari Telkomsel. Selebihnya adalah perorangan dan grup seperti komedian Empat Sekawan, yakni Ginanjar, Eman, Dery, dan H Komar.
Mengapa tidak bersama istri? Ginanjar dengan tersipu mengatakan masih jomblo. “Gimana mau bawa istri, semua sudah diborong H Komar,” katanya berkelakar. Dery pun mengatakan berangkat sendiri untuk gabung dengan Ginanjar, Eman, dan Komar.
“Dulu berangkat bersama. Sekarang berangkat bersama lagi, ya untuk reuni,” kata Derry yang juga presenter di berbagai stasiun televisi ini.
Empat Sekawan juga menjadi ikon program umroh Assuryaniyah. Travel haji dan umroh lain pun sebenarnya berlomba memberikan pelayanan jasa yang terbaik dengan menonjolkan figuritas. PT Assuryaniyah, pada April ini merayakan usianya ke-34 tahun, sehingga Empat Sekawan menjadi penting dalam program umroh reguler-nya kali ini.
Seperti tahun lalu, perusahaan yang didirikan Hj Suryani Tahir ini merayakan HUT-nya yang ke-34 di Mekkah, di tengah-tengah pelaksanaan ibadah umroh. Dalam jadwal, tempat pelaksanaan tasyakuran belum ditentukan, namun lokasinya pasti tak akan jauh-jauh dari Masjidil Haram.
Jauh sebelum berangkat, perusahaan travel ini sudah menyiapkan orangnya di Jeddah, Madinah, dan Mekkah. Di sana ada H Zahir, H Hamdy, H Kosasih, dan H Lutfi. Semua siap melayani para jamaah Assuryaniyah. Satu yang tidak terlupakan adalah kebutuhan informasi bagi keluarga jamaah yang di tanah air.
Melalui Indo.Pos, keluarga di Indonesia bisa mengikuti perkembangan selama kerabatnya beribadah di Tanah suci. (bersambung)

20 April 2008

YANG 'WADUH' DARI SENAYAN

Politik didefenisikan sebagai seni merangkai apa yang memungkinkan, the art in the possible. Tapi di Indonesia, dalam praktiknya, politik sudah menjadi tujuan. Tak hanya yang possible, tapi yang impossible juga diupayakan menjadi kenyataan. Tidak hanya musuh, kawan pun bisa jadi lawan. Dan itu sering dipertontonkan wakil takyat di DPR.
Dua tahun lalu anggota DPR dari Fraksi PDIP terlibat cekcok di fraksinya. Kejadian itu mengundang perhatian wartawan. Besoknya, menjadi berita hangat dari Senayan. Saya pun memandang kejadian itu perlu menjadi objek tulisan saya di Indo.Pos. Saya pun menulisnya begini:

PDIP dan Simbol Perjuangan

Tingkah laku memuakkan kembali diperagakan sejumlah anggota DPR RI, Jumat (17/3). Dua anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) nyaris adu jotos. Entah apa, Murdaya Poo dan Irmadi Lubis hampir berantam di ruang rapat fraksi mereka. Rupanya perbedaan pendapat bagi mereka bisa identik dengan perkelahian.
Masih teringat ketika sejumlah anggota dewan bertindak tidak etis saat rapat parpurna DPR membahas kenaikan harga BBM. Effendy Simbolon Aria Bima, dan lainnya menggebrak meja pimpinan sidang. Effendy Simbolon dan Aria Bima juga berasal dari FPDIP. Sayang sekali, contoh itu menular ke Murdaya Poo dan Irmadi Lubis. Tidak sepakat langsung main keras.
Sebelumnya juga anggota FPDIP Jacobus Camarlo Mayong Padang dan Panda Nababan sempat tegang. Itu jauh sebelum yang terjadi di ruang rapat fraksi Jumat lalu. Di Banten, Marissa Haque dan Jayengrana saling teror ketika istri Ikang Fauzi itu ‘masuk’ ke Banten menjajaki kemungkinan ikut bursa calon gubernur dari PDIP.
Ketegangan-ketegangan dari elite-elite PDIP ini sesungguhnya masih lumrah. Di partai politik, polemik dan ketegangan selalu menghiasi perjalanannya. PDIP apalagi. Partai ini secara historis sangat kuat di tingkat akar rumput. Partai ini diibaratkan sebagai simbol perjuangan. Masuk PDIP berarti harus rela dicap sebagai pejuang untuk wong cilik.
Masalahnya, tidak semua berjalan secara bagus. PDIP sendiri sering berhadapan dengan tembok besar ketika harus memperjuangkan aspirasi wong cilik. Sebelum keluar, mereka harus adu debat dulu. Syukur-syukur tidak terjadi ketegangan seperti yang pernah terjadi.
Nah, ketegangan antara Murdaya Poo dan Irmadi Lubis sebenarnya adalah pertentangan kecil dari sebuah keinginan untuk memperjuangkan wong cilik. Soalnya, pertentangan itu adalah bagian dari polemik besar, yakni masalah Blok Cepu, TDL, dan Freeport. Keduanya punya argumen berbeda dalam menyikapi angket Blok Cepu dan sikap terhadap Freeport.
Murdaya yang berangkat dari latarbelakang pengusaha, melihat dari sisi bisnisnya. Sepertinya, suami dari Siti Hartati Murdaya ini menganggap jika blok Cepu dikelola ExxonMobil lebih menguntungkan Pertamina dari sisi bisnis. Ini kontras dengan pikiran Irmadi Lubis yang melihat dari sisi politisnya saja. Dua kutub yang memang kadang tidak bisa didamaikan.
Pendekatan bisnis terhadap polemik Blok Cepu, oke. Hitung-hitungannya ada. Murdaya Poo mungkin sudah tahu efeknya bagi Pertamina dan pemerintah. Pendeknya, bisnis selalu melihat dari untung ruginya. Sebaliknya, politik melihat dari kalah atau menangnya. Irmadi melihat pemerintah melalui Pertamina kalah, seperti halnya pendangan para elite politik dan teknokrat.
Kalau pada kelanjutannya keduanya ngotot, itulah masalahnya. Dua kutub pikiran yang sulit dipertemukan. Sayangnya, ketegangan terjadi karena keduanya mengabaikan satu hal: yakni keinginan partai. Padahal, seperti disebutkan tadi, bahwa partai –dalam hal ini PDIP– adalah simbol perjuangan. Semua harus berjuang ke satu titik.
Masih ingat ketika Sekretaris FPDIP DPR Jacobus Camarlo Mayong Padang mogok makan di DPR ketika rapat paripurna memutuskan soal kenaikan harga BBM? Politisi dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel), itu ‘mengunci’ mulutnya karena gagal menahan laju kenaikan harga BBM. Dia sakit, dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit.
Itukah simbol perjuangan dari PDIP? Rasanya tidak juga. Sebab, tak semua bertingkah seperti Cobu, atau Murdaya Poo atau Irmadi. Juga tak seperti Effendy Simbolon dan Aria Bima atau Panda Nababan. Itu hanya bagian dari sekian cara untuk menuju ke satu titik. Berkelahi, adu jotos, gebrak meja atau mogok makan memang salah satu cara untuk menjustifikasi sebuah perjuangan.
Tapi masalahnya, semua cara tidak semua pula bisa efektif. PDIP sendiri selalu gagal ketika harus betarung di DPR RI. Hak angket untuk kenaikan harga BBM gagal, hak angket untuk impor beras juga gagal, akhirnya bikin tim sendiri. Dukungan ke Ryamizard Ryacudu juga patah, penolakan terhadap Freeport bisa jadi gagal juga, termasuk Blok Cepu.
Lalu apa yang bisa mendorong PDIP sukses di legislatif? Dari jumlah kursi di dewan, PDIP sedikit di bawah Golkar – kongsinya dalam koaliasi kebangsaan. Golkar tambah kuat lantaran PD, PBB, dan PKS menjadi sumbu-sumbu mereka. Praktis, PDIP jalan sendiri, kecuali giat ‘menggarap’ fraksi lain yang dalam hal lain sejalan pikiran dan langkah.
Sayangnya, di internal PDIP sendiri sulit satu suara. Jacobus Camarlo Mayong Padang versus Panda Nababan, Murdaya Poo v Irmadi, dan sikap reaktif sejumlah anggotanya terhadap kebijakan pemerintah, adalah salah satu contohnya. Simbol perjuangan partai lebih pada individu-individu, lebih partial, jauh dari kolektivitas.

05 April 2008

Politik Kutu Loncat

PROVINSI Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki dinamika politik yang tinggi. Keputusan pemerintah selalu lahir dari pertimbangan politik. Penempatan pejabat birokrasi sering muncul karena keputusan politik, apalagi etnis di dua wilayah besar (kepulauan dan daratan) yang ada selalu ingin menguasai singgasana kekuasaan di sana.
Tak heran kalau Sultra dikenal dengan suhu politik yang tinggi. Politik di sini adalah kekuasaan. Orientasinya kedudukan, jabatan, posisi dan semacamnya. Sayang sekali orientasi ini sudah memasuki wilayah primordialisme. Berbagai cara dilakukan untuk menggapai semua itu, termasuk pindah-pindah partai. Ini biasanya disebut kutu loncat.
Seorang pejabat dari Golkar dengan gampang pindah ke partai lain hanya karena ingin merebut kekuasaan. Contoh Yusran Silondae, dari Wakil Ketua Golkar pindah menjadi Ketua PPP Sultra. Mashur Masie Abunawas dari Ketua Golkar Kendari keluar dari partai hanya karena ingin menjadi calon gubernur. Di kalangan anak muda juga gampang menjadi kutu loncat. Contoh Arsyad Abdullah, dari PPP loncat ke Golkar.


DARI GOLKAR: Baliho Calon wakil gubernur Sultra Yusran Silondae berdiri kokoh di Kendari. Yusran mencalonkan diri pada Pilgub Sultra 2008-2013 berpasangan dengan calon gubernur Mahmud Hamundu yang diusung PDIP dan PPP namun gagal. Nur Alam dari PAN yang terpilih.

Beberapa tahun lalu, saya juga menulis soal politik kutu loncat ini di Kendari Ekspres. Tulisan itu dimuat tahun 2004 lalu sebelum pemilu legislatif digelar. Inilah tulisan itu:

Ibarat Kutu Loncat

BUKAN main perpolitikan di Sulawesi Tenggara. Dari jauh saya ikut tercengang. Begitu banyak calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), begitu tegang dalam penyusunan nomor urut caleg. Begitu banyak kutu loncat yang begitu gampangnya menyeberang dari satu partai ke partai lain. Penyusunan nomor urut di Partai Golkar juga luar biasa menggelikannya.
Entah bagaimana, politisi busuk pun banyak yang memenuhi daftar DCT Partai Golkar ini. Meski bukan nomor jadi, melainkan nomor sepatu, fenomena politisi busuk di partai kuning ini benar-benar luar biasa. Saya ketemu beberapa di antaranya sedang kasak kusuk mengurus dirinya di Jakarta. Mereka adalah yang terkena sorotan tajam dalam pemilihan Gubernur Sultra 2002 lalu. Yang terdengar mereka ingin mendongkrak urutannya ke nomor jadi. Sudah tradisi, gagal di daerah harus bermain di pusat.
Tapi jangan buta juga soal calon senator alias DPD Sultra. Beberapa nama sangat asing sekali. La Ode Ida, bolehlah. Cukup lama ia malang malintang dalam pergulatan pemikiran politik tanah air. Ia lebih dikenal sebagai pengamat, karena mungkin kapasitasnya sebagai kolumnis di beberapa media. Tapi ketika ia lalu mencalonkan diri menjadi calon anggota DPD Sultra, dedengkot LSM ini pun kena sorotan.
Latar belakangnya mulai dikorek. Rupanya, seperti tradisi juga. Gagal di pusat, ia pun balik kucing ke daerah asalnya, Sultra. Kemarin, Ida gagal bersaing menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum. Pengamat dan tokoh LSM ini banting stir mencalonkan diri menjadi senatornya Sultra untuk duduk di Senayan nanti. Apa tujuannya? Bisa jadi wilayah politik praktis inilah yang ingin dicicipinya, setelah sekian lama hanya bergelut di dunia wacana. Untung sekali tak mengalami kasus seperti Baramuli dan Beddu Amang di Sulsel.
Ir Arsyad Abdullah, tokoh LSM lokal yang keluar dari PPP setempat, apalagi. Dari partai yang loncat ke gelanggang politik perseorangan sudah mempetakan obsesi Arsyad. Suasana yang tidak kondusif di parpol sangat membuka peluang Arsyad untuk hengkang. Meski begitu, putra asal Bima ini jangan dikira bisa mulus berjalan. Track record-nya di LSM perlu juga dicermati.
Saya terkesan dengan La Ode Hasar SE. Karib saya semasa mahasiswa di UMI Makassar ini rupanya latah pula mau menjadi senatornya Sultra. Hasar serupa tapi tak sama dengan Ida. Bedanya, Ida pengamat politik dan tokoh LSM Jakarta, sedangkan Hasar boleh dikata baru kali ini mau memasuki wilayah politik. Sebelumnya ia malang melintang di Jakarta dari satu bisnis ke bisnis lain. Masuk ke Sultra pun membawa bendera konsultan-kontraktor. Sayangnya, Hasar pun lolos dari cengkraman seperti kasus Baramuli dan Beddu Amang di Sulsel. Apa kabar KPU dan Panwaslu Sultra?
Ida, Arsyad dan Hasar, barangkali adalah satu dari sekian fenomena baru perpolitikan di Sultra. Mereka adalah bagian dari kelompok muda yang mencoba menikmati legitnya kursi legislatif, apalagi di Senayan. Kelompok tua yang jumlahnya lumayan, mau menjadi senator juga adalah fenomena. Yokoyama Sinapoi dan Pariama Mbio, contohnya.
Bariun, Noldi dan Sutan Harahap apalagi. Politisi yang banyak disorot tatkala Ali Mazi terpilih jadi Gubernur Sultra ini cukup memiriskan perpolitikan di wilayah ini. Sayangnya kita tak bisa mengatakan “tau diri dong”.. Dilematis memang. Benar, menjadi anggota legislatif punya magnet tersendiri. Di singgah sana DPRD semua bisa dirancang. Bisa mengusulkan hearing, bisa putuskan anggaran, bisa ada studi tur, bisa pula secara tiba-tiba menggertak konsultan-kontraktor yang bermasalah.
Semua itu bisa dilakukan anggota dewan di atas fasilitas yang wah. Tak heran kalau semuanya, termasuk politisi busuk, ingin kembali bertarung meski pun sudah di tempatkan di nomor sepatu. Alamak!