27 Juli 2008

Gonjang-ganjing DAK Pendidikan (3)

Kontrol DPRD Lemah, BPK Jadi Pilihan

BAN YAKNYA kasus DAK pendidikan membuat sejumlah kalangan ikut prihatin. Salah satu solusi adalah memperketat pengawasan.
Direktur Pembinaan TK-SD Depdiknas, Moedjito, misalnya, mengaku potensi penyimpangan selalu saja menghantuinyaada pada pengadaan material penunjang kualitas pendidikan. Selaku pejabat yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar (SD) Moedjito tak ingin dana triliunan yang dikucurkan itu diselewengkan sekolah dan pejabat daerah. “Inilah yang membuat saya susah tidur,” katanya.
Meski begitu, Moedjito punya terapi untuk mengontrol pelaksanaan program DAK di daerah-daerah yang disebutnya rating. Daerah yang tingkat kebocorannya tinggi, akan diklasifikasikan sebagai daerah rating merah. Sebalinya adalah hijau. Daerah-daerah itu diberi scoring. Makin banyak penyimpangannya, skornya makin rendah.
Ketua Bidang Pendidikan dan Kesehatan DPP PAN, Ir Hj Andi Yuliani Paris MSc, juga tak habis pikir banyaknya pelanggaran dalam pelaksanaan DAK. “Biasanya yang melaksanakan anggaran renovasi itu adalah yang ditunjuk kepala sekolah. Ini menyalahi kode etik pendidik (guru, Red),” kata Yuliani.

TEMAN AKRAB: Drs Alim Tualeka MSc berpose di tengah-tengah koleksi buku pelajaran sekolah yang dicetaknya. Buku-buku itu siap didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Sekolah seolah diajak berbisnis buku dan pengadaan peralatan penunjang. Parahnya, sekolah pun membeli buku pada agen bermodal katalog. Bukan pada penerbit atau distributor yang kapabel.
Memang, beberapa penerbit dan agen-agennya di daerah sedang gencar-gencarnya gerilya. Agen penerbit/distributor besar berlomba masuk ke sekolah-sekolah. Laporan dari berbagai daerah menyebutkan, agen-agen Bintang Ilmu dianggap lengkap dan spesifikasinya sesuai edaran 1591/C/KU/2006.
Selain Yuliani, anggota Komisi X DPR yang membidangi pendidikan, Ruth Nina Keddang, dibuat gregetan dengan penyimpangan DAK ini. “Permasalahan muncul ketika DAK sudah diterima daerah. Pemerintah daerah menjadi lupa diri, sehingga dana dari pusat dipakai untuk memperkaya diri. Ini kan jahat sekali,’’ ungkapnya.
Lalu bagaimana dengan kontrol atau pengawasan terhadap distribusi DAK? Dengan tegas, anggota DPR asal NTT itu menyebut DPRD sangatlah lemah dalam menjalankan fungsi kontrolnya. Ke depan, pola pengawasan DAK hanya bisa dipercayakan kepada BPK atau BPKP. (bersambung)

22 Juli 2008

Gonjang-ganjing DAK Pendidikan (2)

Dengan Uji Petik pun Belum Aman

BANYAK cara dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah pelaksanaan DAK pendidikan. Salah satunya adalah dengan menggelar uji petik di hadapan sekolah-sekolah. Tapi hasilnya, belum memuaskan. Dana Alokasi Khusus yang jumlahnya besar, seperti membalalakkan mata pihak sekolah atau pengusaha. Pada 2003 jumlah DAK pendidikan baru Rp 625 miliar, lalu tahun berikutnya naik menjadi Rp 652,64 miliar. Tahun 2005 naik lagi menjadi Rp 1,21 triliun. Tahun ini melonjak lagi hingga Rp 1,92 triliun.
Tahun ini Rp 220 juta digelontorkan kepada setiap sekolah di 434 kabupaten/kota. Sekolah berhak mengelola sendiri, tanpa campur tangan terlalu jauh kepala dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Karena sudah ‘single’ itulah, mereka bebas menentukan distributor, agen dan penerbit untuk diajak kerjasama.
Ada dua jenis pekerjaan dalam pelaksanaan DAK pendidikan ini. Yaitu renovasi fisik sekolah/ruang kelas, rumah kepala sekolah dan rumah penjaga sekolah. Selanjutnya adalah pengadaan buku-buku, alat peraga, atlas, lemari, loker perpustakaan, pengayaan pengetahuan narkoba sebagai penunjang peningkatan kualitas pendidikan.
Untuk yang pertama, menjadi bagian pengusaha/kontraktor bangunan, sedangkan yang kedua gabungan antara pengusaha buku dan usaha furnitur. Parahnya, yang terjadi, para penerbit, pencetak, dan distributor buku juga seolah menjadi kontraktor untuk melaksanakan renovasi.

BINTANG ILMU: Salah satu penerbit dan pencetak serta distributor yang ikut berkompetisi dalam penyaluran buku dan alat peraga secara nasional.

Khusus dalam pengadaan buku, daerah Magelang menjadi contoh kasus. Pada 28 Agustus lalu, diadakan uji petik di tiga sekolah. Yakni SDN Mungkid II, SD Muhammadiyah Sirodjuddin, dan SDN Pabelan 2. Hasilnya mengecewakan. Satu dari tiga perusahaan gagal mempresentasikan ‘dagangannya’ kepada para kepala sekolah.
Dua perusahaan lain, yakni Krida Karya Semarang dan Peraga Pendidikan Nusantara mampu menghadirkan produknya secara lengkap sesuai spesifikasi yang tertera dalam juknis dan edaran Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas.
Di Magelang, DAK belum cair, tapi sudah 56 SD/MI sudah memesan kepada tiga perusahaan itu. Sebanyak 26 SD/MI ke Krida Karya Semarang, 22 sekolah ke GMA Pudak, dan 8 SD memilih PT Pembina.
Uji petik digelar agar sekolah ibaratnya tidak membeli kucing dalam karung. Produk yang ditawarkan produsen pun dapat dipertanggungjawabkan, transparan, dan kualitasnya terukur sesuai anjuran.
Kasus yang terjadi di Kabupaten Magelang ini juga terjadi di Bandung, Jogja, Solo, Maluku, dan Soppeng. Parahnya, konsorsium dari perusahaan yang gagal itu ikut pula uji petik di sini. Akibatnya, di Maluku dibentuk tim penilai buku. (bersambung)

20 Juli 2008

Gonjang-ganjing DAK Pendidikan (1)

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Dan kita dihadapkan masalah klasik: biaya pendidikan. Niat pemerintah untuk menggratiskan pendidikan tampaknya masih jauh. Yang bisa dilakukan untuk sementara adalah program BOS dan DAK pendidikan. Soal DAK ini saya menuliskan di Indo.Pos pada Desember 2007 silam. Berikut saya tuangkan lagi di blog ini secara bersambung.

Muncul Pemain Baru, Ada Bermodal Katalog

KEBIJAKAN pemerintah di bidang pendidikan cukup membesarkan hati. Triliunan rupiah dana dikucurkan untuk itu. Ada dana Dekon, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sekolah menjadi ‘silau’, sampai-sampai muncul banyak kasus.
DANA Alokasi Khusus telah tiga tahun digelontorkan ke sekolah-sekolah. Awalnya DAK pendidikan ini hanya untuk membantu merenovasi sekolah yang dulu dibangun secara massal oleh proyek Inpres pada 1970-an–1980-an. Pada 2003 jumlah DAK pendidikan baru Rp 625 miliar, lalu tahun berikutnya naik menjadi Rp 652,64 miliar. Tahun 2005 naik lagi menjadi Rp 1,21 triliun. Tahun ini melonjak lagi hingga Rp 1,92 triliun.
Memang pada tahun-tahun pertama dan kedua itu diperuntukkan bagi merenovasi ribuan bangunan SD yang rusak. Data dari Depdiknas menunjukkan dari 149.454 sekolah dasar (SD) di seluruh Indonesia, sebanyak 56 persen mengalami kerusakan. Karenanya, pada 2003 DAK pendidikan dipakai untuk merenovasi 6.908 gedung SD yang rudak di 287 kabupaten/kota.
Pada 2004 dana dialirkan ke 302 kabupaten/kota untuk memperbaiki 7.251 SD yang rusak. Tahun lalu, jatah DAK dipakai untuk merenovasi 13.567 gedung SD di 333 kabupaten/kota. Jadi total dari tahun 2003 sampai 2005 anggaran DAK telah berhasil merenovasi 51.248 gedung SD. Sesuai pelonjakan anggaran, DAK 2006 akan merenovasi lebih banyak lagi gedung SD yang tersebar di 434 kabupaten/kota.
Melonjaknya jumlah DAK Pendidikan tahun ini dikarenakan bukan hanya untuk fisik saja. Tapi juga untuk penunjang kualitas pendidikan. Anggaran sebesar Rp 2,91 triliun itu, berdasarkan edaran Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas No 1591/C/KU/2006, masing-masing sekolah mendapat jatah Rp 220 juta. Dari jumlah itu, Rp 80 juta dipakai untuk renovasi gedung sekolah/ruang kelas, Rp 20 juta untuk renovasi rumah kepala sekolah/penjaga sekolah, dan rehab sanitasi MCK Rp 10 juta.
Kemudian ada perbaikan mebelair sebasar Rp 22 juta, pengadaan lemari perpustakaan/locker sebesar Rp 3. 650.000, pengadaan paket alat peraga pendidikan Rp 21.400.000, pengadaan paket buku pengayaaan keterampilan siswa Rp 20 juta, pengadaan buku referensi untuk perpustakaan Rp 33.400.000, dan administrasi perpustakaan Rp 1.550.000.


RAJIN MEMANTAU: Direktur Pembinaan TK-SD Depdiknas RI, Moedjito.


Dana-dana besar ini diserahkan langsung ke sekolah melalui rekening sekolah. Ini sangat berbeda dengan proyek-proyek Inpres yang dulu dibangun secara massal dan terpusat. Kini, sekolah diberi kewenangan mengelola jatahnya sendiri. Secara material sekolah mendapat alokasi dana yang besar, tapi di sisi lain sekolah sudah digiring untuk ‘bermain mata’ dengan dunia usaha, khususnya kontraktor, penerbit, distributor buku, dan toko-toko furnitur.
Dari sinilah kemudian timbul berbagai masalah. Penerbit, agen dan distributor buku menjadi pemain baru dalam memanfaatkan DAK ini. Berbagai cara dilakukan agar buku-buku terbitan dapat masuk ke sekolah-sekolah. Ada yang menggandeng pejabat pusat, anggota legislatif, dan kekuatan lain.
Parahnya, oknum dari luar penerbit pun ikut ‘ambil bagian’. Modalnya cukup catalog buku dan alat peraga yang seolah-olah suatu konsorsium. Ini terjadi di Magelang, Semarang, Bandung, Jogja, Maluku, dan Soppeng.
Direktur Pembinaan TK-SD Depdiknas, Moedjito, mengakui memang ada potensi DAK ini diselewengkan oleh para oknum. Namun pihaknya juga berharap agar institusi pengawas bisa berperan besar mengontrolnya. “Memang Bawasda dan Komite Sekolah adalah institusi resmi. Tapi masyarakat pun diminta melaporkan jika melihat ada penyimpangan,” katanya kepada Indo.Pos kemarin. (bersambung)

03 Juli 2008

Yang Ringan dari Tanah Haram 2007 (4 - Habis)

Dua Kali Alas Kaki Hilang, Dua Kali Beli Baru


TIAP hari ribuan umat Islam tumplek blek di depan Kakbah. Apalagi jelang salat wajib. Salat di depan Kakbah lebih diterima doanya. Karena banyaknya manusia, alas kaki kadang lupa disimpan di mana. Kalau hilang, sudah pasti beli baru.
Dari Hotel Al Rawasia ke pintu Masjidil Haram hanya sekitar 200 meter. Pintu-pintu di Masjidil Haram masing-masing punya nama. Yang terdekat dengan hotel tempat jamaah Assuryaniyah menginap adalah pintu Al Marwah. Al Marwah diambil dari nama bukit dekat Baitullah. Hanya 400 meter ke Bukit Shafa.
Dalam sejarah, kedua bukit ini merupakan tempat Siti Hajar, Istri Ibrahim as, mencari air. Maklum saat itu padang sangat tandus. Ibrahim malah pergi meninggalkan istrinya itu dan anaknya, Ismail. Tinggallah Siti Hajar dan Ismail tanpa air setetes pun. Tujuh kali bolak balik antara Marwah dan Shafa barulah Siti Hajar mendengar ada gemericik air. Ternyata air itu adalah air zam zam yang keluar dari perut bumi.
Air zam-zam dekat Baitullah selalu dijadikan tempat minum para jamaah yang ke Masjidil Haram. Lalu di antara Bukit Marwah dan Shafa diwajibkan bejalan dan, di antara dua pilar, diharuskan berlari-lari kecil (sai) sebagaimana yang dilakukan oleh Siti Hajar. Tanpa sai, umrah dan haji menjadi tidak sah. Pintu masuk Masjidil Haram salah satunya adalah pintu Al Marwah. Di pintu itu pula sekaligus menjadi tempat mencopot alas kaki.


MENJULANG: Menara Masjidil Haram dilihat dari kejauhan, dipotret dari sisi kiri Hotel Al Rawasi Mekkah. Di bawah dua menara tersebut adalah pintu Al Marwah.

Kalau tak mau menyimpan alas kaki di dekat pintu, boleh memilih tempat penyimpanan lebih ke dalam lagi. Yaitu di pelaratan masjid yang berhadapan langsung dengan Kakbah. Tapi harus ingat dan tandai tempatnya. Salah ingat pasti tidak ketemu. Seperti yang saya alami.
Tanggal 21 April saya bersama belasan jamaah Assuryaniyah salat magrib di depan Kakbah. Tapi saya dan Akbar sedikit terlambat, sudah tidak kesampaian di pelataran masjid. Qamat sudah berkumandang, alas kaki pun sudah saya copot, dan langsung ikut salat. Salat dan doa selesai, semua pada cari alas kaki. Saya juga ke sana kemari mencarinya, tapi sandal yang saya bawa dari tanah air itu tidak ketemu. Itulah kehilangan pertama.
Di sekitar masjid, memang banyak toko sepatu dan sandal. Bisa pilih macam-macam model dan limit harga. Selain di toko-toko di sepanjang jalan menuju Masjidil Haram, juga ada warga Afrika yang menawarkan sandal jepit. Entah apa ada hubungannya kehilangan dengan banyaknya penjual sandal itu, tapi saya tak mau beli baru dulu. Pulang ke hotel terpaksa tanpa alas kaki.

DEPAN MAULID NABI: Di pelataran depan rumah tempat kelahiran Nabi Muhammad terdapat banyak burung merpati. Jamaah yang menuju ke Masjidil Haram melalui pintu Al Marwah pasti mendapatkan burung-burung merpati yang asyik mencari makan dan bermain.

Kehilangan alas kaki di Masjidil Haram hamir di alami setiap orang yang masuk ke sana. Rata-rata jamaah Assuryaniyah banyak kehilangan sandal. Begitu pula jamaah travel lain. Kehilangan kedua saya alami ketika pulang dari tawaf sunnah. Saat itu saya, dan sekitar 15 anggota Assuryaniyah menyimpan dekat pintu Al Marwah. Anggota Empat Sekawan, Derry dan Ginanjar, juga ikut. Usai tawaf, sedikitnya 5 anggota kehilangan sandal. Milik Derry tak terkecuali. Dua kali kehilangan, dua kali pula beli baru.