22 November 2007

Tahun-Tahun Pertama di Indo.Pos

INDO.POS didirikan agar Jawa Pos bisa merambah pasar Jakarta. Selama ini Jawa Pos yang home-nya di Surabaya sulit bersaing di Jakarta. Pelanggannya hanya berkisar 5.000 eksamplar. Itu pun segmennya orang-orang Jawa Timur yang ada di Ibu kota. Cetak jarak jauh di Jakarta juga tidak membantu. Boleh dikata brand Jawa Pos tidak cukup kuat untuk Jakarta. Sangat kontras dengan yang di Jawa Timur -apalagi di Surabaya-, dan daerah lain di Indonesia.
Di Jakarta image Jawa Pos adalah koran milik orang Jawa, Jawa Timur-an. Padahal Jakarta merupakan miniatur Indonesia yang di dalamnya multietnis. Komposisnya Jawa, Sunda, Padang, Batak, Bugis Makassar, Ambon, Tionghoa, Manado, dan lain-lain. Itu di luar komunitas Betawi. Isi Jawa Pos tidak mencerminkan komposisi itu. Asas kedekatan dengan karakter Jakarta seperti terabaikan.
Akhirnya Pak Dahlan Iskan bikin gebrakan. Jawa Pos tidak perlu boyongan ke Jakarta. Cukup bikin edisi Jakarta. Sama dengan Majalah TIMES, untuk edisi Asia Pasific mereka buka kantor otonom di Singapura. Begitu juga untuk kawasan lain didirikan satu kantor independen di salah satu negara di kawasan itu. Nah, Indo.Pos adalah Jawa Pos edisi Jakarta. Begitu ide awalnya, hingga Indo.Pos mau tidak mau harus bertarung di Jakarta.
Setelah Indo.Pos terbit, Jawa Pos secara otomatis tidak beradar lagi di Jakarta. Ia digantikan Indo.Pos. Kalau mau cari Jawa Pos di Jakarta, kemana pun tidak dapat. Sebaliknya, jangan harap menemukan Indo.Pos di luar Jabotabek dan Banten, karena memang peredarannya terbatas hanya di kawasan ini.


BERSIH: Kantor Redaksi Indo.Pos dalam suasana yang masih lengang. Yang terlihat hanya dua orang layouter dan seorang redaktur. Gambar diambil tengah hari.

Indo.Pos terbit pertama pada 25 Februari 2003. Seminggu sebelumnya, pasukan dari berbagai anak perusahaan sudah mengadakan simulasi dipimpin Pak Dahlan. Mereka yang bergabung adalah para redaktur dan reporter terbaik dari koran anak perusahaan. Masing-masing dua orang dari tiap anak perusahaan. Istilahnya, semacam BKO seperti dalam istilah militer. Memang tepat, daripada merekrut orang baru, mengapa tidak memanfaatkan SDM anak perusahaan Jawa Pos sendiri yang jumlahnya ribuan orang itu.
Saya sendiri tidak tercatat sebagai BKO, tapi dianggap sebagai pindahan. Kendari Ekspres belum masuk hitungan untuk dimintai BKO-nya. Kendari Pos pun tidak. Dari kawasan timur hanya Harian Fajar yang diminta mengirim 2 orangnya. Yaitu Jusuf AR (redaktur) dan Muchlis Amans Hady (reporter). Dari Riau Pos ada Saidul Tombang, dari Sumatera Ekspres ada Mbak Indri, juga Mbak Upit Ryana Sari dari Palembang Pos. Sri Nanang dan Izzul Mutho dari Jawa Tengah.
Para BKO ini bertugas hanya 6 bulan. Setelah itu bisa memilih tinggal atau balik lagi ke daerah-daerah. Ternyata banyak yang balik. Hampir semua yang saya sebut di atas memilih pulang. Saidul sudah jadi Redpel di Riau Pos, Jusuf AR pulang tapi balik lagi ke Jakarta menangani kepentingan Harian Fajar di Jakarta. Saya harus tinggal, karena memang saya tidak punya pilihan lagi.
Selama 1 tahun Pak Bos tak henti-hentinya memacu kami. Rubrik-rubrik khas muncul dari ide-ide brilian Pak Dahlan Iskan. Ada rubrik Society Jakarta, ada rubrik Antikorupsi, rubrik Seluler, wanita Jakarta, dll yang tidak dimiliki koran lain. Rubrik Society Jakarta akhirnya jadi tren di kalangan anak grup. Semua rame-rame membuat rubrik ini, meski namanya beda-beda.
Awalnya saya dapat tugas menjaga halaman ekonomi bersama Mbak Upit. Dua bulan berikut membantu desk Jakarta Raya. Desk ini dibagi empat. Jakarta 1 sebagai metro, Jakarta 2 pemerintahan, Jakarta 3 sambungan, dan Jakarta 4 kriminal. Belakangan Jakarta 2 menjadi halaman politik lokal.


AWAK REDAKSI: Kru Redaksi Indo.Pos berpose bersama saat bikin acara di Puncak. Sebagian dari tim ini sudah ada yang pindah ke media lain.

Di tahun-tahun pertama itu sangat menyenangkan. Kekompakan benar-benar terjaga. Apalagi ada 3 senior ikut dalam tim, yakni Mas Slamet Oerip Prihadi, Berto Ryadi, dan Djono W. Oesman. Saya termasuk senior meski saya tidak sesenior ketiganya. Mas Slamet dan Pak Berto pegang halaman olahraga, sedangkan Mas Djono W Oesman menangani Jakarta kriminal.
Tahun pertama itu pula ada kasus heboh. Yakni mewabahnya penyakit SARS. Penyakit Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) ini adalah sebuah jenis penyakit pneumonia. Penyakit ini ditemukan pertama kali di Guangdong, Tiongkok, pada November 2002, lalu dengan cepat merambat ke Asia Tenggara. Jakarta baru terjangkit pada April 2003. Reporter banyak yang hati-hati meliput, takut terjangkit. Muchlis Amans Hadi yang ditugaskan bisa mendekat ke pasien. Namun pulang-pulang dia sudah demam tinggi. Tidak tahan dia memilih balik ke Harian Fajar Makassar.

10 November 2007

Hengkang ke Jakarta

TAK banyak yang tahu mengapa saya harus meninggalkan Kendari ke Jakarta. Meninggalkan Kendari Ekspres yang sedang butuh-butuhnya figur seperti saya. Memang, saya telah bulat melangkah, menjauhi problem yang luar biasa berat yang menimpa saya.
Saya tidak bisa memendam apa yang terjadi, meski yang saya hadapi adalah masalah pribadi dan problem keluarga. Masalah pribadi yang lahir akibat perbuatan saya juga. Sayangnya, saya lari untuk menghidar dari problem berat, tapi justru meninggalkan tanggung jawab. Yang lain menilai betapa gobloknya saya, meninggalkan jabatan puncak di Kendari Ekspres.
Saya benar-benar dicap gila, apalagi karena saya ke Jakarta berdua dengan seseorang yang baru satu setengah tahun memasuki kehidupan saya. Siapa dia akan saya ceritakan tersendiri dalam posting tersendiri pula. Yang pasti saya hengkang ke Jakarta dengan tujuan untuk menghindari masalah, meskipun sebenarnya tidak menyelesaikan masalah.
Buktinya, di Jakarta, tiga bulan pertama saya menderita luar biasa. Saya kesana kemari dengan kondisi memprihatinkan. Bekal habis, saya berpindah dari satu tempat kos ke tempat kos yang lain secara menyedihkan. Sangat kontras dengan kehidupan saya di Kendari. Perihnya, gaji saya diputus, posisi saya sebagai direktur lalu kemudian komisaris juga diputus. Saya jadi pengangguran.
Sepertinya saya sudah di jurang kehancuran. Di tengah perenungan, saya ibarat tersentak. Seolah ada yang mengingatkan. Hee.. Sadarlah. Kamu sudah menderita, anak dan istrimu pun akan ikut menderita kelak. Memang, hidup saya terpuruk, saya seperti tidak punya kehidupan lagi. Mau balik, saya malu sendiri karena pasti mendapat cemohan keras.


JAKARTA DI WAKTU MALAM: Monas, Masjid Istiqlal, dan gedung-gedung menjulang adalah simbol Kota Jakarta. Saya nyaris tertelan oleh ganasnya ibu kota ini.

Tiga bulan saya terkatung-katung di Jakarta. Pilihan saya hengkang ke Jakarta benar-benar tidak diberkahi. Saya putus asa, sampai akhirnya saya kembali diselamatkan Pak Alwi Hamu. Itupun baru setelah wanita itu saya pulangkan. Tak lama setelah pulang, dia kawin dengan seorang pejabat di PU Sultra.
Alwi Hamu menasehati saya habis-habisan. Saya dianggap salah dan tidak punya tanggung jawab. Kepercayaan yang dia berikan saya sia-siakan. Akibatnya, Kendari Ekspres terbengkalai, para karyawannya yang selama ini jadi tulang punggung satu persatu keluar dan pindah केmedia lain. Indarwati pindah Majalah Pantau di Jakarta, Nasir pindah ke ANTV, Yos ke Trans TV, Astian membuka lahan ecalyptus, dan La Ode Andi Muna jadi PNS.
Tapi itulah mulianya Alwi Hamu. Sudah salah total, saya masih diampuni dan diberi kesempatan lagi. Atas rekomendasi dia, saya kembali masuk grup, masuk ke harian Indo Pos yang saat itu pas mau terbit perdana. Indo Pos terbit perdana pada 25 Februari 2003, sementara saya menghadap Pak Dahlan Iskan sehari sebelumnya.
Pemilik Jawa Pos Grup itu pun mau menampung saya di Indo Pos. Dialah yang benar-benar menyelamatkan saya dari keterpurukan. Pak Dahlan malah bertanya, bagaimana saya bisa hidup di Jakarta tanpa pekerjaan. Begitulah, episode getir saya terhenti di tangan Pak Dahlan.


REDAKSI: Tahun pertama saya (duduk) di Indo Pos. Tampak Pemred Irwan Setyawan menjelaskan proses aliran berita sampai naik cetak kepada tamu yang mengunjungi redaksi Indo Pos.

Selanjutnya beberapa jam kemudian Pak Bos, begitu panggilan kami pada Pak Dahlan Iskan, mengajak saya ke percetakan di Bekasi. Di sana kami meeting dengan jajaran percetakan. Mencari model penggabungan halaman agar tidak banyak kesalahan dan mempercepat terbitnya Indo Pos. Semua lancar, dan lewat tengah malam itulah Indo Pos terbit perdana di Jakarta.