10 November 2007

Hengkang ke Jakarta

TAK banyak yang tahu mengapa saya harus meninggalkan Kendari ke Jakarta. Meninggalkan Kendari Ekspres yang sedang butuh-butuhnya figur seperti saya. Memang, saya telah bulat melangkah, menjauhi problem yang luar biasa berat yang menimpa saya.
Saya tidak bisa memendam apa yang terjadi, meski yang saya hadapi adalah masalah pribadi dan problem keluarga. Masalah pribadi yang lahir akibat perbuatan saya juga. Sayangnya, saya lari untuk menghidar dari problem berat, tapi justru meninggalkan tanggung jawab. Yang lain menilai betapa gobloknya saya, meninggalkan jabatan puncak di Kendari Ekspres.
Saya benar-benar dicap gila, apalagi karena saya ke Jakarta berdua dengan seseorang yang baru satu setengah tahun memasuki kehidupan saya. Siapa dia akan saya ceritakan tersendiri dalam posting tersendiri pula. Yang pasti saya hengkang ke Jakarta dengan tujuan untuk menghindari masalah, meskipun sebenarnya tidak menyelesaikan masalah.
Buktinya, di Jakarta, tiga bulan pertama saya menderita luar biasa. Saya kesana kemari dengan kondisi memprihatinkan. Bekal habis, saya berpindah dari satu tempat kos ke tempat kos yang lain secara menyedihkan. Sangat kontras dengan kehidupan saya di Kendari. Perihnya, gaji saya diputus, posisi saya sebagai direktur lalu kemudian komisaris juga diputus. Saya jadi pengangguran.
Sepertinya saya sudah di jurang kehancuran. Di tengah perenungan, saya ibarat tersentak. Seolah ada yang mengingatkan. Hee.. Sadarlah. Kamu sudah menderita, anak dan istrimu pun akan ikut menderita kelak. Memang, hidup saya terpuruk, saya seperti tidak punya kehidupan lagi. Mau balik, saya malu sendiri karena pasti mendapat cemohan keras.


JAKARTA DI WAKTU MALAM: Monas, Masjid Istiqlal, dan gedung-gedung menjulang adalah simbol Kota Jakarta. Saya nyaris tertelan oleh ganasnya ibu kota ini.

Tiga bulan saya terkatung-katung di Jakarta. Pilihan saya hengkang ke Jakarta benar-benar tidak diberkahi. Saya putus asa, sampai akhirnya saya kembali diselamatkan Pak Alwi Hamu. Itupun baru setelah wanita itu saya pulangkan. Tak lama setelah pulang, dia kawin dengan seorang pejabat di PU Sultra.
Alwi Hamu menasehati saya habis-habisan. Saya dianggap salah dan tidak punya tanggung jawab. Kepercayaan yang dia berikan saya sia-siakan. Akibatnya, Kendari Ekspres terbengkalai, para karyawannya yang selama ini jadi tulang punggung satu persatu keluar dan pindah केmedia lain. Indarwati pindah Majalah Pantau di Jakarta, Nasir pindah ke ANTV, Yos ke Trans TV, Astian membuka lahan ecalyptus, dan La Ode Andi Muna jadi PNS.
Tapi itulah mulianya Alwi Hamu. Sudah salah total, saya masih diampuni dan diberi kesempatan lagi. Atas rekomendasi dia, saya kembali masuk grup, masuk ke harian Indo Pos yang saat itu pas mau terbit perdana. Indo Pos terbit perdana pada 25 Februari 2003, sementara saya menghadap Pak Dahlan Iskan sehari sebelumnya.
Pemilik Jawa Pos Grup itu pun mau menampung saya di Indo Pos. Dialah yang benar-benar menyelamatkan saya dari keterpurukan. Pak Dahlan malah bertanya, bagaimana saya bisa hidup di Jakarta tanpa pekerjaan. Begitulah, episode getir saya terhenti di tangan Pak Dahlan.


REDAKSI: Tahun pertama saya (duduk) di Indo Pos. Tampak Pemred Irwan Setyawan menjelaskan proses aliran berita sampai naik cetak kepada tamu yang mengunjungi redaksi Indo Pos.

Selanjutnya beberapa jam kemudian Pak Bos, begitu panggilan kami pada Pak Dahlan Iskan, mengajak saya ke percetakan di Bekasi. Di sana kami meeting dengan jajaran percetakan. Mencari model penggabungan halaman agar tidak banyak kesalahan dan mempercepat terbitnya Indo Pos. Semua lancar, dan lewat tengah malam itulah Indo Pos terbit perdana di Jakarta.