MASIH ingat kasus penyerangan kelompok Hercules ke Indo.Pos? Itulah satu dari puluhan kasus main hakim sendiri yang cukup menyita banyak perhatian. Hercules Rosario Marshal adalah komandan kelompok pemuda yang sangat terkenal di Jakarta. Entah apa, dia marah ditulis di Indo.Pos. Akibatnya dia bersama 14 anggotanya melakukan aksi main hakim sendiri dan merusak peralatan kerja redaksi Indo.Pos.
Peristiwa penyerangan itu terjadi pada 20 Desember 2005, pukul 21.30 wib. Saat itu redaksi tengah sibuk-sibuknya menyiapkan edisi terbitan berikutnya. Semua komputer terisi semua. Tak lama, dari pintu lift masuklah 15 pemuda untuk mencari seseorang. Mereka mencari Deri Ahirianto. Maklum Deri adalah wartawan Indo.Pos yang menulis features tentang sepak terjang Hercules tersebut. Beruntung yang dicari tidak ada. Namun sial, mereka mencari sasaran lain. Siapa pun yang masih bekerja harus berhenti. Komputer harus dimatikan. Yunus Rizki dari Jawa Pos kena bogem kelompok itu. Tulang hidungnya patah dan dilarikan ke RS. Bisa dibayangkan bagaimana ngerinya situasi saat itu.
Saya sendiri tidak di tempat, lagi keluar makan malam. Saya baru tahu ketika mau naik lift diberitahukan di bawah bahwa ada kelompok Hercules yang mengamuk. Saya harus naik karena melalui monitor CCTV di ruang securiti situasi di lantai 10 Graha Pena Jakarta sudah tak terkendali. Saya naik. Begitu mau masuk lift, seseorang dari atas keluar dari lift yang tidak saya kenal menyampaikan sebaiknya saya tidak naik. "Nanti tidak bisa kembali," katanya. Entah apa maksudnya, tapi tetap saja saya naik.
Di atas, astaga, situasinya sangat tegang. Anak-anak redaksi ketakutan. Mereka diteror untuk tidak bekerja. Hercules tampak berteriak-teriak. Saya melihat ada genangan darah. Oleh sekuriti saya diminta tidak melakukan konfrontasi. Dua polisi yang ada juga minta saya tidak bereaksi. Soalnya Hercules dan kawan-kawan sudah sulit dihentikan. Saya pasrah, Hercules minta pemimpin redaksi dihadirkan.
Irwan Setyawan baru datang 15 menit kemudian. Begitu datang dia diminta bertanggungjawab. Irwan mengatakan masalahnya harus diklarifikasi dulu. Kalau memang ada salah tulis, kata Irwan, wartawan yang menulis akan dipecat. Itu untuk mencegah aksi kekerasan di ruang redaksi. Itu pula yang dipegang Hercules. Keadaan mereda, nego dimulai. Kami menggiring kelompok Hercules ke lantai 1. Di sana ada ruangan rapat yang tenang, biar redaksi di atas tidak terganggu.
Nego di bawah sempat tegang. Hercules menuntut Deri dipecat. Iya, lalu saya langsung menelepon Deri yang tengah off kerja. "Deri, atas nama pimpinan, mulai malam ini Anda dinonaktifkan dari Indo.Pos!" kata saya dengan suara lantang agar didengar oleh Hercules dkk. Emosi Hercules mulai reda. Non aktif dan dipecat itu beda. Begitu dlam hati saya. Pemuda asal Timor Timur itu masih minta pernyataan maaf Indo.Pos di halaman 1. Tapi kami hanya mau jika itu masuk dalam skema perdamaian dan sesuai UU Pers 40/1999.
Aparat dari Polsek Kebayoran Lama datang. Kami berharap malam itu bisa ada perdamaian untuk meredakan aksi anarkis. Kapolres yang juga datang akhirnya bisa mengantisipasi dengan menggiring dua pihak ke Mapolsek Kebayoran Lama. Di sana diteken akta perdamaian. Irwan Setyawan di pihak Indo.Pos dan Hercules sendiri di pihak lain. Saksi-saksinya adalah Kapolsek, Kanit Reskrim, Husein Sani dari Forum Betawi Rempug (FBR), dan saya dari Indo.Pos.
Karena kasusnya mendapat liputan luas, peristiwa itu sampai ke Istana dan Mabes Polri. Kadiv Humas Mabes Polri besoknya datang melihat keadaan redaksi Indo.Pos dan berjanji akan menindaklanjuti kasusnya. Benar, tanggal 23 Desember 2005 Hercules ditangkap dan dijebloskan ke tahanan. Berikutnya ditahan pula empat anggotanya. Begitu Hercules ditahan, lima pengacara Hercules protes. Dia teriak di media massa akan menggugat Indo.Pos. "Mengapa harus ditahan, kan sudah ada perjanjian damai," serunya di TV.
Malamnya wawancara saya ditayangkan di RCTI menjawab ancaman pengacara Hercules. Bahwa Indo.Pos siap menghadapi gugatan. Perjanjian damai yang dibuat kedua pihak berlaku untuk mengerem agar kedua pihak tidak emosi dan dendam, bukan untuk menghentikan proses hukum. Izul Mutho, redaktur Indo.Pos dalam siaran live di Metro TV juga menegaskan sikap Indo.Pos.
Di balik tahanan, Hercules terus mendesak pengacaranya agar dibebaskan atau minimal tahanan luar. Segala upaya mereka lakukan. Salah satunya ramai-ramai datang ke Indo.Pos minta perjanjian perdamaian yang diteken di Mapolsek Kebayoran Lama diperbaharui. Kami setuju. Nego dengan lima pengacara Hercules berlangsung di lantai 1.
Saya, Irwan Setyawan, Hinca Panjaitan, dan Maksum dari ombudsmen Jawa Pos tenang menghadapi keinginan mereka. Mereka terus terang bahwa akta damai itu akan digunakan untuk penangguhan penahanan Hercules. Itu juga akan dijadikan alat bukti untuk meringankan vonis di pengadilan. Perjanjian akhirnya tuntas. Perjanjian itu diteken pada 29 Desember 2005.
Memang, adanya perjanjian itu sedikit menimbulkan anggapan miring, bahwa Indo.Pos takut untuk memperpanjang persoalan, padahal nyata-nyata sudah menjadi korban kriminalisasi pers. Sebagian ada dari teman-teman wartawan yang skeptis memang, apalagi merekalah yang banyak demo ke Mapolda agar kasus itu diproses sampai tuntas.
Kami menjelaskan bahwa akta perdamaian bukanlah untuk menghentikan proses hukum. Upaya hukum itu malah kita dorong terus untuk dipercepat. Kami pun mengikuti proses-prosesnya. Seperti ikut menjadi saksi pelapor di sidang Pengadilan Negeri Jaksel. Kerabat Hercules juga datang ke Indo.Pos guna meminta pengakuan damai dari korban. Kami berikan karena kami ingin masalahnya cepat tuntas. (bersambung)