09 Agustus 2008

Gonjang-ganjing DAK Pendidikan (4-Habis)

Kurang Sosialisasi, Banyak Penyimpangan

KASUS-kasus DAK di beberapa daerah memiliki beberapa pola. Ada sekolah tahu aturan, tapi hanya mau mudahnya. Ada pula sama sekali bingung mau diapakan DAK ini. Mungkin di sinilah perlunya sosialisasi.
Direktur Pembinaan TK-SD Depdiknas, Moedjito, tak sepenuhnya setuju kalau banyaknya daerah ‘merah’ itu lantaran DAK pendidikan kurang disosialisasikan. Departemen telah mengeluarkan juknis dan edaran mengenai pelaksanaan DAK pendidikan ini.
“Kalau masih ada yang kurang jelas, kan bisa tanya ke departemen. Saya pun siap menjelaskan kalau ada yang kira-kira belum dipahami,” katanya. Jangan karena tidak tahu lantas menyalahgunakan anggarannya.
Memang sebagian daerah memandang DAK ini masih abu-abu. Apalagi tidak sama tahun sebelumnya bahwa DAK itu 100 persen untuk renovasi. Setelah tahun ini ada perubahan, mereka pun bingung bagaimana tata cara dan pelaksanaannya.
Mereka sudah terbiasa dengan renovasi, sehingga tahu seluk beluknya. Tahu bagaimana memainkannya. Seperti yang dicurigai Andi Yuliani Paris, bahwa sekolah sudah diajak bersentuhan dengan dunia usaha, kontraktor bangunan, yang sebenarnya menyalahi kode etik pendidik (guru).

BUKU GRATIS?: Salah satu buku contoh yang diliris sebuah penerbit dan pencetakan buku di Jakarta.

Anggota Komisi X, Ruth Nina Keddang, menilai masalah muncul ketika DAK itu sudah tiba di daerah. Mereka berlomba memperkaya diri. “Kita sangat trenyuh,’’ ungkapnya.
Faktor sosialisasi akhirnya menjadi penting agar tahu bagaimana memanfaatkan dana DAK ini. Sosialisasi kepada Bawasda dan Komite Sekolah juga penting, sehingga bisa bersama-sama mengawal pelaksanaan renovasi atau pengadaan buku/alat perpustaaan dan peraganya itu.
Misalnya penerbit/distributor mana yang sudah mendapat rekomendasi produk bisa dipakai, usaha furnitur mana yang layak dipesan. Artinya, dengan penjelasan seperti itu, sekolah tentu tidak sampai membeli kucing dalam karung.
Kejadian di Magelang, Bandung, Solo, Jogja, Maluku, dan Soppeng, juga lantaran kurangnya sosialisasi. Bayangkan anggaran DAK belum mengucur, sekolah sudah ‘memesan’ pada pengusaha abal-abal. Itu sangat merusak.
Tapi masalah ini sebenarnya terbentur dana. Edaran dan juknis yang dikeluarkan ibaratnya hanya surat. Tiba di daerah lalu dibaca. Selesai. Padahal, sosialisasi, dan pengawasan butuh anggaran. Mau minta ke pengusaha, nanti dikira ada persengkongkolan.
Nina Keddang berharap Depdiknas berani menerapkan pola-pola professional, yakni adanya punishment and rewards yang jelas. Kepada pelaku penyelewengan DAK, Depdiknas langsung memberikan sanksi tegas.
‘’Diharapkan ada efek jera yang sangat berguna untuk menutup peluang munculnya persekongkolan,” kata Ruth Nina Keddang. (*)