Setelah Nur Alam terpilih jadi Gubernur, saya melihat ada yang perlu disampaikan kepada para pendukung sang pemimpin baru. Cukup lewat tulisan di Kendari Pos, seperti di bawah ini:
Jangan Berharap Banyak dari Nur Alam
Oleh Syahrir Lantoni
INI ditujukan kepada para pendukung Nur Alam. Di tengah euforia kemenangan Nur Alam, ada satu hal yang harus dicamkan. Bahwa Nur Alam dan wakilnya Saleh Lasata, setelah dilantik nanti, sudah menjadi milik rakyat Sultra. Tim sukses bertugas hanya sampai mengantarkan pasangan Nur Alam Saleh Lasata (Nusa) ke singgasana kekuasaan. Selanjutnya adalah memelihara hasil perjuangan. Jangan berharap ada pampasan perang, karena kalau pun itu ada, semua buat seluruh rakyat Sultra.
Sebagai tim yang solid, sukses mengantarkan Nur Alam menjadi gubernur adalah prestasi tersendiri. Episode berikutnya adalah mengawal kepemimpinan Nur Alam-Saleh Lasata, bukan menggerogoti apalagi minta bagian. Sebab, ada stigma tim sukses selalu minta ‘jatah’ lebih dulu. Alasannya klasik: Dialah yang berjuang, dialah yang berkeringat, atau dialah yang banyak berkorban.
Stigma seperti ini sudah banyak terjadi, dan ujung-ujungnya selalu konflik, kekecewaan, dan bahkan berpotensi menjadi musuh baru. Ini sangat berbahaya, karena Nur Alam-Saleh Lasata akan diserang dari dua sisi. Dari yang kalah dan yang kecewa. Yang kalah tentu saja adalah loyalis Ali Mazi, sedangkan yang kecewa adalah tim sukses Nusa yang tidak kebagian jabatan, kedudukan, posisi, proyek, dan sebagainya.
Ingat Nur Alam dulu pernah berkonflik hebat dengan Ali Mazi. Potensi berkonflik kembali terbuka, antara oposan melawan status quo, meski posisinya terbalik. Dulu oposannya adalah Nur Alam, kini bisa jadi oposannya adalah Ali Mazi. Nah, oposan lainnya yang tersembunyi tapi sewaktu-waktu bisa mengancam adalah kalau kelak para pendukung Nur Alam kecewa lantaran tidak dapat pampasan perang.
Dalam sebuah tim sukses, banyak karakter berbeda di dalamnya. Peran yang dimainkan pun beragam. Tugasnya juga macam-macam. Ada yang kebagian memasang stiker, poster, spanduk, banner, dan semacamnya. Juga ada yang menyiapkan logistik, akomodasi, dan sebagainya. Lalu sedikit ke atas, ada yang menyiapkan administrasi, keuangan, dan fungsi komunikatif. Berikutnya, ada yang bertugas melobi, media officer, dan menyiapkan isu-isu strategis kampanye. Terakhir, ada tim inti, istilahnya ring 1 atau juga inner circle, yaitu tim kampanye, tim hukum, penasehat politik, dan penasehat spiritual.
TEGAR: Nur Alam SE masih tersenyum ketika dirinya menghadapi gelombang demo di Kendari.
Banyaknya tugas dan peran ini praktis butuh banyak orang yang sudah barang tentu berasal dari latarbelakang yang berbeda-beda, bahkan unik. Ada dari latar belakang parpol, pengusaha, pendidik, pengacara, mahasiswa, pejabat, dan mungkin juga ada yang, maaf, pengangguran dan kutu loncat dari kandidat yang gagal lolos verifikasi. Skema tim sukses seperti ini juga ada pada tim Nusa. Itu belum termasuk kerabat Nur Alam dan Saleh Lasata.
Nah, berapa banyak yang harus dipenuhi jika semua ini berharap banyak dari Nur Alam. Saya yakin Nusa tak bisa memenuhi itu karena ada yang lebih prioritas, yakni rakyat Sultra, para pemilihnya, para konstituennya, dan tentu saja janji-janjinya. Jadi, jangan berharap banyak dari Nur Alam. Jangan juga memaksakan kehendak karena sangat berbahaya. Nur Alam bisa tergerogoti dari dalam, atau rentan terhadap serangan oposisi. Akhirnya hancur. Energi yang dihabiskan untuk memenangkan Nur Alam menjadi sia-sia.
Beban atas terpilihnya Nur Alam memang sangat berat. Ini sangat berbeda ketika Ali Mazi dulu naik jadi gubernur. Sistem politik membuat Ali Mazi tak perlu membuang banyak energi, tidak perlu sampai menghabiskan Rp 7 miliar lebih. Juga tak perlu membuat tim sukses dengan skema njelimet, tidak usah mengerahkan massa pendukung. Tak harus kampanye, tak harus pasang baliho, spanduk, dan atribut-atribut diri lainnya yang mengotori kota. Cukup masuk ke partai yang memiliki fraksi di DPRD Sultra, lobi sana sini dan membuat komitmen, beres sudah. Hasilnya sangat efektif, dia dicalonkan hampir semua fraksi di DPRD Sultra. New comer itu akhirnya terpilih.
Setelah terpilih, beban Ali Mazi sudah ringan. Dia cukup menservis fraksi-fraksi di DPRD yang memilihnya. Enaknya, karena fraksi-fraksi di DPRD adalah inti dari komisi-komisi di legislatif yang menjadi mitra kerja pemerintah. Jadi klop. Sebaliknya, Nur Alam menjadi berat lantaran sebagian fraksi di DPRD terposisikan diri sebagai partai pengusung calon gubernur yang kalah. Dia bisa jadi mitra tapi juga berpotensi menjadi lawan. Ini sangat tergantung dari Nur Alam bagaimana menservisnya juga.
Di dalam aman, di luar belum tentu. Nusa harus memenuhi segepok janji-janjinya saat kampanye. Apalagi kalau ada janji yang secara ekonomis impossible. Misalnya tiap desa diganjar Rp 100 juta, gratis biaya sekolah sampai SMA, kesehatan gratis dan lain-lainnya. Sekolah gratis di banyak provinsi memang sudah ada, tapi belum sampai tingkat SMA. Provinsi DKI Jakarta pun yang memiliki APBD Rp 20,7 triliun lebih belum berani menggratiskan anak-anak SMA.
Tapi, simsalabim, siapa tahu Nur Alam bisa. Kita positive thinking saja, apalagi siapa yang tidak kenal Nur Alam --anak desa yang ulet, berani, dan sangat percaya diri. Modalnya sebagai ketua DPW PAN dan wakil ketua DPRD Sultra cukup mumpuni mengenal kondisi daerah. Sia-sia dia ditempa oleh Amien Rais kalau dalam tiga tahun harus mundur karena tidak bisa merealisasikan janji-janjinya.
Sekali lagi, ini buat pendukung Nur Alam. Mari mengawal dan menjaga sang pemimpin baru pilihan rakyat. Jangan sampai tergores, karena kalau lecet sedikit fatal. Yang sangat penting dilakukan adalah membuat pencitraan positif terhadap Nur Alam, agar tidak jatuh sebagaimana yang terjadi pada Ali Mazi.
30 September 2008
06 September 2008
Demokrasi di Sultra
Akhir tahun lalu Sulawesi Tenggara larut dalam pesta Pilkada Gubernur. Ada lima kandidat bertarung, namun yang menang adalah rakyat Sultra. Rakyat telah memilih secara benar siapa pemimpinnya. Ya, Nur Alam terpilih secara meyakinkan, sebagaimana yang diprediksi banyak orang. Saya yang ikut larut dalam euphoria kemenangan rakyat Sultra langsung menulis Interupsi di Kendari Ekspres. Inilah tulisan itu.
Nur Alam Sudah Diprediksi
NUR Alam menang sudah diprediksi. Dari dulu pengusaha-politisi ini sudah terlihat akan jadi pemimpin di Sulawesi Tenggara. Dia sudah mulai bertarung pada suksesi walikota Kendari pada 2001 silam dalam usia yang masih muda. Memang dia gagal, namun berhasil menggugat panitia pemilihan dan menang di PTUN Kendari. Sayangnya Golkar sangat tangguh. Demi Masyhur Masie Abunawas, boikot dari Gubernur Kaimuddin pun diabaikan oleh partai beringin. Masyhur Masie kembali terpilih menjadi walikota secara kontroversial.
Bergaul dengan Nur Alam akan ketahuan seperti apa alur berpikirnya. Cara berpikirnya memang sekali-sekali bombastis, kadang ekstrim, namun cukup smart dalam melihat urgensi permasalahan. Substansi masalah bisa dia ditangkap dan meramunya secara cepat. Dalam diskusi dia menonjol dan mampu mendominasi pembicaraan. Itu karena dia tahu konteks, apalagi soal-soal politik. Dia merasa punya solusinya.
Di masa remajanya Nur Alam juga menonjol. Masa kecilnya yang getir tidak menjadikan dia kalah dari teman-temannya yang secara ekonomi berada di atasnya. Dia pun rela dipanggil La Bolo. Di SD dan SMP juga sudah tampak sifat kepemimpinannya. Di Pramuka, Nur Alam langganan komandan upacara. Orangnya pe de sekali, seperti tak ada takutnya. Yang menarik, di lingkungan Pramuka-nya, dia dikenal pengagum Leonid Brezhnev, pemimpin Uni Soviet waktu itu.
Karena kagumnya pada tokoh itu, namanya, Nur Alam, kadang ditambahkan Brezhnev di belakangannya. Itu secara guyon untuk membahasakan kepada teman-temannya bahwa dirinya kagum dengan Leonid Brezhnev. Kisah-biografi pemimpin lain juga banyak dibacanya, namun dia telah jatuh hati pada mendiang pemimpin Uni Soviet tersebut. Itu dulu. Sekarang dia mengagumi Amien Rais.
Kalah di Kota Kendari, Nur Alam mengincar jabatan gubernur. Modalnya sudah ada: DPW PAN Sultra. Akan tetapi itu belum bisa membawanya menjadi calon karena masih banyak senior yang juga mengintai jabatan puncak di Sultra itu. Ada Hussein Effendi, Hino Biohanis, Adel Berty, Yusran Silondae, dan lainnya. Anwar Adnan Saleh juga tampil sebagai calon kuat, bahkan menjadi musuh bersama. Tapi Ali Mazi yang belakangan muncul, dan akhirnya menjadi gubernur, membawa kekecewaan mendalam dalam diri Nur Alam.
DI RUANG KERJANYA: Nur Alam di ruang kerjanya ketika masih menjabat Wakil Ketua DPRD Sultra.
Berikutnya Nur Alam tak mau kecewa lagi. Dia mau maju sendiri. Makanya di antara banyak kandidat, dialah yang paling siap. Toh sudah banyak yang ditanamkannya, dia juga sudah banyak mengalah. Saatnya untuk mendapatkan dukungan. Syukur jajaran PAN juga legowo memberi jalan kepadanya. Buktinya Arbab Paproeka ihlas jadi caleg DPR RI dan siap tinggal di Jakarta agar tidak ada matahari kembar di Sultra.
Untuk itu, Nur Alam sadar dia harus ekstra keras. Di saat bersamaan dia pun harus melindungi dirinya dari serangan Ali Mazi sebagai konsekuensi dari perseteruannya dengan sang gubernur. Perseteruan itu ada manfaatnya juga. Dia jadinya ditempa secara alami, dan akhirnya matang untuk bisa bertarung di pentas politik yang keras. Dia tahu di mana titik lemah Ali Mazi, kapan harus menyerang, dan kapan harus cooling down dulu. Nur Alam tahu semua itu.
Enam tahun mempersiapkan diri sejak gagal di Kota Kendari, dan empat tahun ditempa akibat ‘perang’ dengan Ali Mazi, sebetulnya sudah menjadi prasyarat menang dalam Pilgub Sultra. Kalau akhirnya Nur Alam menang, itu sudah diprediksi banyak orang.
Nur Alam menang sudah diprediksi. Ali Mazi kalah juga sudah diprediksi. DPP Golkar salah memilih figur, bahkan tim sukses Azimad pun ikut membenamkan Ali Mazi dalam kekalahan. Politik pencintraan tidak dilakukan oleh tim Azimad. Padahal, untuk menang dalam pilkada butuh pencitraan atas figur yang baru saja dililit masalah seperti Ali Mazi. Yang terjadi malah sebaliknya. Golkar tidak solid, berlangsung pemecatan, dan sebagainya.
Memang Ali Mazi sukses keluar dari jerat kasus Hilton, namun itu belum bisa melawan imej dan opini AM sebagai orang yang pernah berstatus tersangka. Butuh waktu lama untuk mengembalikan citra dan imej itu. Tak memadai kalau hanya mendatangkan Rully Chairul Tandjung, Aksa Mahmud, Tadjuddin Noer Said, Syamsul Mu’arif, dan Soemarsono dari DPP Partai Golkar. Pencitraan memerlukan waktu yang cukup dan aksi yang tepat, bukan mendatangkan orang-orang pusat yang tidak ada hubungnnya dengan daerah.
Benar, politik pencitraan tak dilakukan tim Azimad. Lagi pula Ali Mazi banyak menghabiskan energi di Jakarta akibat kasus HGB Hilton yang membelitnya. Praktis konsentrasi terbagi dua, di Kendari dan di Jakarta. Harapannya tim yang di Kendari-lah yang banyak beroperasi untuk mengintensifkan politik pencitraan dirinya. Sedihnya, itu tidak berjalan. Statusnya sebagai incumbent juga tidak menolong lantaran mutasi pejabat yang sering dilakukannya membuat banyak yang sakit hati.
Parahnya lagi, pasangan Ali Mazi juga tidak lebih bagus dari duet pasangan lain. Untuk mengalihkan pemilih rumpun Tolaki ke Azimad, misalnya, bukan berarti harus pula mengambil tokoh Tolaki sebagai pendamping. Bisa tapi harus benar-benar kapabel. Pengaruh ketokohan Abdul Samad belum sampai ke Kolaka, apalagi Kolaka Utara. Sebaliknya, Nur Alam mampu memasuki sisi-sisi humanis komunitas Bugis-Makassar di Sultra.
Atas kekalahan ini, tim sukses Ali Mazi di Kendari dan pembisik Jusuf Kalla di DPP Golkar harus dievaluasi. Kemarin DPP Golkar mengeluarkaan surat edaran (SE) yang mengancam pecat kadernya yang bandel jika gagal dalam pilkada. SE itu merupakan keputusan Rapimnas II Golkar di Jakarta yang ingin merevisi Juklak 05 tentang pemenangan pilkada. Karena revisi memakan waktu lama, dikeluarkan dulu surat edaran. Entah apa hasilnya nanti, yang pasti Golkar di Sultra kembali jeblok menyusul Muzakkir Mustafa yang dipermalukan di Kota Kendari.
Djeni Hasmar, La Ode Bariun, Ruslimin Mahdi, dan siapa saja dalam tim Azimad, seyogyanya pun ikut dievaluasi. Mau dilakukan atau tidak itu terserah Golkar. Karena yang lebih penting sebenarnya adalah tim Azimad -terutama sekali Ali Mazi- harus siap kalah. Kalau itu dilakukan, itu baru namanya jantan. Wassalam. (*)
Jakarta 13 Desember 2007
Syahrir Lantoni, Indo.Pos Jakarta
(www.syahrirlantoni.blogspot.com)
Nur Alam Sudah Diprediksi
NUR Alam menang sudah diprediksi. Dari dulu pengusaha-politisi ini sudah terlihat akan jadi pemimpin di Sulawesi Tenggara. Dia sudah mulai bertarung pada suksesi walikota Kendari pada 2001 silam dalam usia yang masih muda. Memang dia gagal, namun berhasil menggugat panitia pemilihan dan menang di PTUN Kendari. Sayangnya Golkar sangat tangguh. Demi Masyhur Masie Abunawas, boikot dari Gubernur Kaimuddin pun diabaikan oleh partai beringin. Masyhur Masie kembali terpilih menjadi walikota secara kontroversial.
Bergaul dengan Nur Alam akan ketahuan seperti apa alur berpikirnya. Cara berpikirnya memang sekali-sekali bombastis, kadang ekstrim, namun cukup smart dalam melihat urgensi permasalahan. Substansi masalah bisa dia ditangkap dan meramunya secara cepat. Dalam diskusi dia menonjol dan mampu mendominasi pembicaraan. Itu karena dia tahu konteks, apalagi soal-soal politik. Dia merasa punya solusinya.
Di masa remajanya Nur Alam juga menonjol. Masa kecilnya yang getir tidak menjadikan dia kalah dari teman-temannya yang secara ekonomi berada di atasnya. Dia pun rela dipanggil La Bolo. Di SD dan SMP juga sudah tampak sifat kepemimpinannya. Di Pramuka, Nur Alam langganan komandan upacara. Orangnya pe de sekali, seperti tak ada takutnya. Yang menarik, di lingkungan Pramuka-nya, dia dikenal pengagum Leonid Brezhnev, pemimpin Uni Soviet waktu itu.
Karena kagumnya pada tokoh itu, namanya, Nur Alam, kadang ditambahkan Brezhnev di belakangannya. Itu secara guyon untuk membahasakan kepada teman-temannya bahwa dirinya kagum dengan Leonid Brezhnev. Kisah-biografi pemimpin lain juga banyak dibacanya, namun dia telah jatuh hati pada mendiang pemimpin Uni Soviet tersebut. Itu dulu. Sekarang dia mengagumi Amien Rais.
Kalah di Kota Kendari, Nur Alam mengincar jabatan gubernur. Modalnya sudah ada: DPW PAN Sultra. Akan tetapi itu belum bisa membawanya menjadi calon karena masih banyak senior yang juga mengintai jabatan puncak di Sultra itu. Ada Hussein Effendi, Hino Biohanis, Adel Berty, Yusran Silondae, dan lainnya. Anwar Adnan Saleh juga tampil sebagai calon kuat, bahkan menjadi musuh bersama. Tapi Ali Mazi yang belakangan muncul, dan akhirnya menjadi gubernur, membawa kekecewaan mendalam dalam diri Nur Alam.
DI RUANG KERJANYA: Nur Alam di ruang kerjanya ketika masih menjabat Wakil Ketua DPRD Sultra.
Berikutnya Nur Alam tak mau kecewa lagi. Dia mau maju sendiri. Makanya di antara banyak kandidat, dialah yang paling siap. Toh sudah banyak yang ditanamkannya, dia juga sudah banyak mengalah. Saatnya untuk mendapatkan dukungan. Syukur jajaran PAN juga legowo memberi jalan kepadanya. Buktinya Arbab Paproeka ihlas jadi caleg DPR RI dan siap tinggal di Jakarta agar tidak ada matahari kembar di Sultra.
Untuk itu, Nur Alam sadar dia harus ekstra keras. Di saat bersamaan dia pun harus melindungi dirinya dari serangan Ali Mazi sebagai konsekuensi dari perseteruannya dengan sang gubernur. Perseteruan itu ada manfaatnya juga. Dia jadinya ditempa secara alami, dan akhirnya matang untuk bisa bertarung di pentas politik yang keras. Dia tahu di mana titik lemah Ali Mazi, kapan harus menyerang, dan kapan harus cooling down dulu. Nur Alam tahu semua itu.
Enam tahun mempersiapkan diri sejak gagal di Kota Kendari, dan empat tahun ditempa akibat ‘perang’ dengan Ali Mazi, sebetulnya sudah menjadi prasyarat menang dalam Pilgub Sultra. Kalau akhirnya Nur Alam menang, itu sudah diprediksi banyak orang.
Nur Alam menang sudah diprediksi. Ali Mazi kalah juga sudah diprediksi. DPP Golkar salah memilih figur, bahkan tim sukses Azimad pun ikut membenamkan Ali Mazi dalam kekalahan. Politik pencintraan tidak dilakukan oleh tim Azimad. Padahal, untuk menang dalam pilkada butuh pencitraan atas figur yang baru saja dililit masalah seperti Ali Mazi. Yang terjadi malah sebaliknya. Golkar tidak solid, berlangsung pemecatan, dan sebagainya.
Memang Ali Mazi sukses keluar dari jerat kasus Hilton, namun itu belum bisa melawan imej dan opini AM sebagai orang yang pernah berstatus tersangka. Butuh waktu lama untuk mengembalikan citra dan imej itu. Tak memadai kalau hanya mendatangkan Rully Chairul Tandjung, Aksa Mahmud, Tadjuddin Noer Said, Syamsul Mu’arif, dan Soemarsono dari DPP Partai Golkar. Pencitraan memerlukan waktu yang cukup dan aksi yang tepat, bukan mendatangkan orang-orang pusat yang tidak ada hubungnnya dengan daerah.
Benar, politik pencitraan tak dilakukan tim Azimad. Lagi pula Ali Mazi banyak menghabiskan energi di Jakarta akibat kasus HGB Hilton yang membelitnya. Praktis konsentrasi terbagi dua, di Kendari dan di Jakarta. Harapannya tim yang di Kendari-lah yang banyak beroperasi untuk mengintensifkan politik pencitraan dirinya. Sedihnya, itu tidak berjalan. Statusnya sebagai incumbent juga tidak menolong lantaran mutasi pejabat yang sering dilakukannya membuat banyak yang sakit hati.
Parahnya lagi, pasangan Ali Mazi juga tidak lebih bagus dari duet pasangan lain. Untuk mengalihkan pemilih rumpun Tolaki ke Azimad, misalnya, bukan berarti harus pula mengambil tokoh Tolaki sebagai pendamping. Bisa tapi harus benar-benar kapabel. Pengaruh ketokohan Abdul Samad belum sampai ke Kolaka, apalagi Kolaka Utara. Sebaliknya, Nur Alam mampu memasuki sisi-sisi humanis komunitas Bugis-Makassar di Sultra.
Atas kekalahan ini, tim sukses Ali Mazi di Kendari dan pembisik Jusuf Kalla di DPP Golkar harus dievaluasi. Kemarin DPP Golkar mengeluarkaan surat edaran (SE) yang mengancam pecat kadernya yang bandel jika gagal dalam pilkada. SE itu merupakan keputusan Rapimnas II Golkar di Jakarta yang ingin merevisi Juklak 05 tentang pemenangan pilkada. Karena revisi memakan waktu lama, dikeluarkan dulu surat edaran. Entah apa hasilnya nanti, yang pasti Golkar di Sultra kembali jeblok menyusul Muzakkir Mustafa yang dipermalukan di Kota Kendari.
Djeni Hasmar, La Ode Bariun, Ruslimin Mahdi, dan siapa saja dalam tim Azimad, seyogyanya pun ikut dievaluasi. Mau dilakukan atau tidak itu terserah Golkar. Karena yang lebih penting sebenarnya adalah tim Azimad -terutama sekali Ali Mazi- harus siap kalah. Kalau itu dilakukan, itu baru namanya jantan. Wassalam. (*)
Jakarta 13 Desember 2007
Syahrir Lantoni, Indo.Pos Jakarta
(www.syahrirlantoni.blogspot.com)
Langganan:
Postingan (Atom)