30 September 2008

Lagi, Demokrasi di Sultra

Setelah Nur Alam terpilih jadi Gubernur, saya melihat ada yang perlu disampaikan kepada para pendukung sang pemimpin baru. Cukup lewat tulisan di Kendari Pos, seperti di bawah ini:

Jangan Berharap Banyak dari Nur Alam

Oleh Syahrir Lantoni

INI ditujukan kepada para pendukung Nur Alam. Di tengah euforia kemenangan Nur Alam, ada satu hal yang harus dicamkan. Bahwa Nur Alam dan wakilnya Saleh Lasata, setelah dilantik nanti, sudah menjadi milik rakyat Sultra. Tim sukses bertugas hanya sampai mengantarkan pasangan Nur Alam Saleh Lasata (Nusa) ke singgasana kekuasaan. Selanjutnya adalah memelihara hasil perjuangan. Jangan berharap ada pampasan perang, karena kalau pun itu ada, semua buat seluruh rakyat Sultra.
Sebagai tim yang solid, sukses mengantarkan Nur Alam menjadi gubernur adalah prestasi tersendiri. Episode berikutnya adalah mengawal kepemimpinan Nur Alam-Saleh Lasata, bukan menggerogoti apalagi minta bagian. Sebab, ada stigma tim sukses selalu minta ‘jatah’ lebih dulu. Alasannya klasik: Dialah yang berjuang, dialah yang berkeringat, atau dialah yang banyak berkorban.
Stigma seperti ini sudah banyak terjadi, dan ujung-ujungnya selalu konflik, kekecewaan, dan bahkan berpotensi menjadi musuh baru. Ini sangat berbahaya, karena Nur Alam-Saleh Lasata akan diserang dari dua sisi. Dari yang kalah dan yang kecewa. Yang kalah tentu saja adalah loyalis Ali Mazi, sedangkan yang kecewa adalah tim sukses Nusa yang tidak kebagian jabatan, kedudukan, posisi, proyek, dan sebagainya.
Ingat Nur Alam dulu pernah berkonflik hebat dengan Ali Mazi. Potensi berkonflik kembali terbuka, antara oposan melawan status quo, meski posisinya terbalik. Dulu oposannya adalah Nur Alam, kini bisa jadi oposannya adalah Ali Mazi. Nah, oposan lainnya yang tersembunyi tapi sewaktu-waktu bisa mengancam adalah kalau kelak para pendukung Nur Alam kecewa lantaran tidak dapat pampasan perang.
Dalam sebuah tim sukses, banyak karakter berbeda di dalamnya. Peran yang dimainkan pun beragam. Tugasnya juga macam-macam. Ada yang kebagian memasang stiker, poster, spanduk, banner, dan semacamnya. Juga ada yang menyiapkan logistik, akomodasi, dan sebagainya. Lalu sedikit ke atas, ada yang menyiapkan administrasi, keuangan, dan fungsi komunikatif. Berikutnya, ada yang bertugas melobi, media officer, dan menyiapkan isu-isu strategis kampanye. Terakhir, ada tim inti, istilahnya ring 1 atau juga inner circle, yaitu tim kampanye, tim hukum, penasehat politik, dan penasehat spiritual.

TEGAR: Nur Alam SE masih tersenyum ketika dirinya menghadapi gelombang demo di Kendari.

Banyaknya tugas dan peran ini praktis butuh banyak orang yang sudah barang tentu berasal dari latarbelakang yang berbeda-beda, bahkan unik. Ada dari latar belakang parpol, pengusaha, pendidik, pengacara, mahasiswa, pejabat, dan mungkin juga ada yang, maaf, pengangguran dan kutu loncat dari kandidat yang gagal lolos verifikasi. Skema tim sukses seperti ini juga ada pada tim Nusa. Itu belum termasuk kerabat Nur Alam dan Saleh Lasata.
Nah, berapa banyak yang harus dipenuhi jika semua ini berharap banyak dari Nur Alam. Saya yakin Nusa tak bisa memenuhi itu karena ada yang lebih prioritas, yakni rakyat Sultra, para pemilihnya, para konstituennya, dan tentu saja janji-janjinya. Jadi, jangan berharap banyak dari Nur Alam. Jangan juga memaksakan kehendak karena sangat berbahaya. Nur Alam bisa tergerogoti dari dalam, atau rentan terhadap serangan oposisi. Akhirnya hancur. Energi yang dihabiskan untuk memenangkan Nur Alam menjadi sia-sia.
Beban atas terpilihnya Nur Alam memang sangat berat. Ini sangat berbeda ketika Ali Mazi dulu naik jadi gubernur. Sistem politik membuat Ali Mazi tak perlu membuang banyak energi, tidak perlu sampai menghabiskan Rp 7 miliar lebih. Juga tak perlu membuat tim sukses dengan skema njelimet, tidak usah mengerahkan massa pendukung. Tak harus kampanye, tak harus pasang baliho, spanduk, dan atribut-atribut diri lainnya yang mengotori kota. Cukup masuk ke partai yang memiliki fraksi di DPRD Sultra, lobi sana sini dan membuat komitmen, beres sudah. Hasilnya sangat efektif, dia dicalonkan hampir semua fraksi di DPRD Sultra. New comer itu akhirnya terpilih.
Setelah terpilih, beban Ali Mazi sudah ringan. Dia cukup menservis fraksi-fraksi di DPRD yang memilihnya. Enaknya, karena fraksi-fraksi di DPRD adalah inti dari komisi-komisi di legislatif yang menjadi mitra kerja pemerintah. Jadi klop. Sebaliknya, Nur Alam menjadi berat lantaran sebagian fraksi di DPRD terposisikan diri sebagai partai pengusung calon gubernur yang kalah. Dia bisa jadi mitra tapi juga berpotensi menjadi lawan. Ini sangat tergantung dari Nur Alam bagaimana menservisnya juga.
Di dalam aman, di luar belum tentu. Nusa harus memenuhi segepok janji-janjinya saat kampanye. Apalagi kalau ada janji yang secara ekonomis impossible. Misalnya tiap desa diganjar Rp 100 juta, gratis biaya sekolah sampai SMA, kesehatan gratis dan lain-lainnya. Sekolah gratis di banyak provinsi memang sudah ada, tapi belum sampai tingkat SMA. Provinsi DKI Jakarta pun yang memiliki APBD Rp 20,7 triliun lebih belum berani menggratiskan anak-anak SMA.
Tapi, simsalabim, siapa tahu Nur Alam bisa. Kita positive thinking saja, apalagi siapa yang tidak kenal Nur Alam --a­nak desa yang ulet, berani, dan sangat percaya diri. Modalnya sebagai ketua DPW PAN dan wakil ketua DPRD Sultra cukup mumpuni mengenal kondisi daerah. Sia-sia dia ditempa oleh Amien Rais kalau dalam tiga tahun harus mundur karena tidak bisa merealisasikan janji-janjinya.
Sekali lagi, ini buat pendukung Nur Alam. Mari mengawal dan menjaga sang pemimpin baru pilihan rakyat. Jangan sampai tergores, karena kalau lecet sedikit fatal. Yang sangat penting dilakukan adalah membuat pencitraan positif terhadap Nur Alam, agar tidak jatuh sebagaimana yang terjadi pada Ali Mazi.