02 Maret 2008
Tak Pernah Melupakan Sultra
INGAT SULTRA: Kesibukan kerja di Jakarta nyaris tak punya waktu ke Sultra. Padahal kerinduan pada kehidupan di sana sering-sering muncul di benak. Dengan sesekali menulis, kerinduan bisa terobati.
DUA tahun setelah pindah ke Jakarta, rasanya ada yang selalu membayang. Saya sangat sulit melupakan kehidupan saya dulu di sana. Kalau agak rindu lagi, biasanya aku menulis apa saja di Kendari Ekspres. Tujuannya agar teman-teman tidak melupakan saya juga.
Suatu hari saya teringat pada Bapak Buhari Matta, Bupati Kolaka yang sangat bersahaja itu. Dulu, pada awal-awal beliau jadi Ketua Bappeda Kota Kendari, kami satu tim. Dia Ketua Harian Persatuan Sepakbola Kendari (PSK) dan saya sekretaris bersama Pak Mujahid. Mengelola tim sepakbola memang berat. Dia banyak mengeluarkan uang pribadi untuk suksesnya sepakbola.
Bersama Pak Buhari, kami pernah memenangi kompetisi Divisi II PSSI lokal Sultra. Suporter Persimuna selaku tuan rumah berbuat onar. Tim dan official terkepung oleh para suporter ini di tengah lapangan. Kami baru dievakuasi aparat Kodim dan Polres Muna jelang tengah malam. Saya melihat Pak Buhari begitu tenang. Dia legawa begitu diminta segera pulang ke Kendari untuk menghindari aksi anarkis.
Dia memang banyak berkorban untuk sepakbola Kendari. Ketika kami mendatangkan PSM Makassar untuk uji coba, jutaan uang pribadi dikeluarkannya. Saya saksikan bagaimana duit itu diambil dari dalam kamarnya guna membayar biaya hotel tim PSM. "Ini pengabdian dik Acil. Ini juga untuk menjaga kehormatan kita sebagai tuan rumah," begitu katanya sambil membawa uang Rp 5 juta.
Ketika dia gagal jadi walikota Kendari, dia pun cukup tenang dan sabar. Dalam beberapa kesempatan jalan berdua, pernah timbul ungkapan dia untuk berwiraswasta. Tapi lama kelamaan terlupakan seiring naiknya dia sebagai Plt Bupati Kolaka. Berikutnya, setelah dipilih jadi bupati yang definitif, saya masih sempat ketemu sekali dengannya di Jakarta.
Mengingat dia, inilah salah satu tulisan saya tentang Kolaka yang dimuat di Kendari Ekspres tahun 2003 lalu:
Sejuknya Kolaka
BELAKANGAN ini Buhari Matta dan Kabupaten Kolaka mendapat porsi besar dalam pemberitaan media massa. Maklum saja, putra Bugis asal Soppeng ini baru saja terpilih sebagai Bupati Kolaka yang definitif. Saya sendiri tak membayangkan bagaimana ia menang meyakinkan di Kolaka, padahal kita tahu Buhari tak begitu sukses dalam setiap suksesi.
Buktinya, dua kali dicalonkan di Unaaha gagal. Begitu pula di Kota Kendari, sangat menyakitkan. Ia hanya beda 1 suara dengan Masyhur Masie Abunawas dalam pemilihan walikota 2 tahun lalu. Paling banter, jabatan definitif yang didudukinya hanya setingkat kepala dinas atau ketua Bappeda. Itu di Unaaha dan di Kota Kendari. Sesudahnya itu ia berpindah-pindah, sampai akhirnya di Kolaka sebagai pejabat sementara alias pelaksana harian bupati.
Bisa jadi sukses di Kolaka karena daerah itu sudah 'dipegangnya'. Bayangkan, Golkar yang begitu dominan di DPRD setempat sampai-sampai tak punya calon. Padahal, untuk urusan politik sudah Golkar-lah jagonya. Hal sama juga dalam suksesi Gubernur Sultra tahun lalu. Golkar harus memilih Ali Mazi.
Saya pun tak membayangkan bisa bertemu kembali dengan Buhari Matta. Tapi kemarin di Jakarta bersua lagi, di saat ia begitu sibuk bolak balik ke Depdagri. Terakhir saya bertemu satu setengah tahun lalu. Saat itu kami duduk bersama sebagai pembicara dalam sebuah lokakarya tentang pers dan dunia akademik. Lokakarya itu dilaksanakan Fakultas Ekonomi Unhalu Program Ekstensi. Di situlah saya baru tau betapa njlimet pemikiran pembangunannya.
Selama ini kami hanya banyak diskusi soal-soal sepak bola. Dulu pernah sama-sama mengurus Persatuan Sepakbola Kendari (PSK). Dia ketua harian, saya wakil sekretaris. Tak pernah sekali pun mendiskusikan soal-soal berat pembangunan Sulawesi Tenggara. Apalagi soal Kabupaten Kolaka.
Tapi, di Jakarta saya kaget. Di saat Kabupaten Kolaka masih panas-panasnya soal suksesi bupati, Buhari Matta malah merasakan betapa sejuknya Kolaka. Bukan karena ia terpilih sebagai bupati definitif, melainkan Buhari mampu mendayung dan menyelami karang-karang politik secara dingin di daerah tajir tersebut. "Saya merasakan Kolaka itu sejuk. Hanya di permukaan saja yang panas," katanya.
Benarkah Kolaka panas tapi di mata Buhari sungguh adem? Satu situasi dan dua makna terjadi di sini. Siapa pun tahu Kolaka merupakan wilayah yang hampir menyamai multikulturnya Kota Kendari. Di sana pun politik laksana panglima. Adel Berty yang sudah 2 periode 'menikmati' Kolaka saja masih tergiur. Tak tanggung-tanggung ia pun berusaha menjegal Buhari. Buhari tidak melawan, tidak pula diam.
Orang dekatnya, sebaliknya, yang pusing. Kok tak ada restu dari Buhari untuk melawan. Bukankah ia punya kekuatan dan tim? Itulah Buhari. Tak pernah mau reseh oleh panasnya bara politik. Pikirannya yang saya tangkap, seolah ada stigma bahwa semua persoalan akan selalu kembali ke sumbunya. Jika disulut, meledaklah ia. Buhari, agaknya, sukses menahan sumbu itu agar tidak meledak. Yang terjadi hanya kesejukan, seperti yang dirasakannya. Tabik!