PROVINSI Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki dinamika politik yang tinggi. Keputusan pemerintah selalu lahir dari pertimbangan politik. Penempatan pejabat birokrasi sering muncul karena keputusan politik, apalagi etnis di dua wilayah besar (kepulauan dan daratan) yang ada selalu ingin menguasai singgasana kekuasaan di sana.
Tak heran kalau Sultra dikenal dengan suhu politik yang tinggi. Politik di sini adalah kekuasaan. Orientasinya kedudukan, jabatan, posisi dan semacamnya. Sayang sekali orientasi ini sudah memasuki wilayah primordialisme. Berbagai cara dilakukan untuk menggapai semua itu, termasuk pindah-pindah partai. Ini biasanya disebut kutu loncat.
Seorang pejabat dari Golkar dengan gampang pindah ke partai lain hanya karena ingin merebut kekuasaan. Contoh Yusran Silondae, dari Wakil Ketua Golkar pindah menjadi Ketua PPP Sultra. Mashur Masie Abunawas dari Ketua Golkar Kendari keluar dari partai hanya karena ingin menjadi calon gubernur. Di kalangan anak muda juga gampang menjadi kutu loncat. Contoh Arsyad Abdullah, dari PPP loncat ke Golkar.
DARI GOLKAR: Baliho Calon wakil gubernur Sultra Yusran Silondae berdiri kokoh di Kendari. Yusran mencalonkan diri pada Pilgub Sultra 2008-2013 berpasangan dengan calon gubernur Mahmud Hamundu yang diusung PDIP dan PPP namun gagal. Nur Alam dari PAN yang terpilih.
Beberapa tahun lalu, saya juga menulis soal politik kutu loncat ini di Kendari Ekspres. Tulisan itu dimuat tahun 2004 lalu sebelum pemilu legislatif digelar. Inilah tulisan itu:
Ibarat Kutu Loncat
BUKAN main perpolitikan di Sulawesi Tenggara. Dari jauh saya ikut tercengang. Begitu banyak calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), begitu tegang dalam penyusunan nomor urut caleg. Begitu banyak kutu loncat yang begitu gampangnya menyeberang dari satu partai ke partai lain. Penyusunan nomor urut di Partai Golkar juga luar biasa menggelikannya.
Entah bagaimana, politisi busuk pun banyak yang memenuhi daftar DCT Partai Golkar ini. Meski bukan nomor jadi, melainkan nomor sepatu, fenomena politisi busuk di partai kuning ini benar-benar luar biasa. Saya ketemu beberapa di antaranya sedang kasak kusuk mengurus dirinya di Jakarta. Mereka adalah yang terkena sorotan tajam dalam pemilihan Gubernur Sultra 2002 lalu. Yang terdengar mereka ingin mendongkrak urutannya ke nomor jadi. Sudah tradisi, gagal di daerah harus bermain di pusat.
Tapi jangan buta juga soal calon senator alias DPD Sultra. Beberapa nama sangat asing sekali. La Ode Ida, bolehlah. Cukup lama ia malang malintang dalam pergulatan pemikiran politik tanah air. Ia lebih dikenal sebagai pengamat, karena mungkin kapasitasnya sebagai kolumnis di beberapa media. Tapi ketika ia lalu mencalonkan diri menjadi calon anggota DPD Sultra, dedengkot LSM ini pun kena sorotan.
Latar belakangnya mulai dikorek. Rupanya, seperti tradisi juga. Gagal di pusat, ia pun balik kucing ke daerah asalnya, Sultra. Kemarin, Ida gagal bersaing menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum. Pengamat dan tokoh LSM ini banting stir mencalonkan diri menjadi senatornya Sultra untuk duduk di Senayan nanti. Apa tujuannya? Bisa jadi wilayah politik praktis inilah yang ingin dicicipinya, setelah sekian lama hanya bergelut di dunia wacana. Untung sekali tak mengalami kasus seperti Baramuli dan Beddu Amang di Sulsel.
Ir Arsyad Abdullah, tokoh LSM lokal yang keluar dari PPP setempat, apalagi. Dari partai yang loncat ke gelanggang politik perseorangan sudah mempetakan obsesi Arsyad. Suasana yang tidak kondusif di parpol sangat membuka peluang Arsyad untuk hengkang. Meski begitu, putra asal Bima ini jangan dikira bisa mulus berjalan. Track record-nya di LSM perlu juga dicermati.
Saya terkesan dengan La Ode Hasar SE. Karib saya semasa mahasiswa di UMI Makassar ini rupanya latah pula mau menjadi senatornya Sultra. Hasar serupa tapi tak sama dengan Ida. Bedanya, Ida pengamat politik dan tokoh LSM Jakarta, sedangkan Hasar boleh dikata baru kali ini mau memasuki wilayah politik. Sebelumnya ia malang melintang di Jakarta dari satu bisnis ke bisnis lain. Masuk ke Sultra pun membawa bendera konsultan-kontraktor. Sayangnya, Hasar pun lolos dari cengkraman seperti kasus Baramuli dan Beddu Amang di Sulsel. Apa kabar KPU dan Panwaslu Sultra?
Ida, Arsyad dan Hasar, barangkali adalah satu dari sekian fenomena baru perpolitikan di Sultra. Mereka adalah bagian dari kelompok muda yang mencoba menikmati legitnya kursi legislatif, apalagi di Senayan. Kelompok tua yang jumlahnya lumayan, mau menjadi senator juga adalah fenomena. Yokoyama Sinapoi dan Pariama Mbio, contohnya.
Bariun, Noldi dan Sutan Harahap apalagi. Politisi yang banyak disorot tatkala Ali Mazi terpilih jadi Gubernur Sultra ini cukup memiriskan perpolitikan di wilayah ini. Sayangnya kita tak bisa mengatakan “tau diri dong”.. Dilematis memang. Benar, menjadi anggota legislatif punya magnet tersendiri. Di singgah sana DPRD semua bisa dirancang. Bisa mengusulkan hearing, bisa putuskan anggaran, bisa ada studi tur, bisa pula secara tiba-tiba menggertak konsultan-kontraktor yang bermasalah.
Semua itu bisa dilakukan anggota dewan di atas fasilitas yang wah. Tak heran kalau semuanya, termasuk politisi busuk, ingin kembali bertarung meski pun sudah di tempatkan di nomor sepatu. Alamak!