20 April 2008

YANG 'WADUH' DARI SENAYAN

Politik didefenisikan sebagai seni merangkai apa yang memungkinkan, the art in the possible. Tapi di Indonesia, dalam praktiknya, politik sudah menjadi tujuan. Tak hanya yang possible, tapi yang impossible juga diupayakan menjadi kenyataan. Tidak hanya musuh, kawan pun bisa jadi lawan. Dan itu sering dipertontonkan wakil takyat di DPR.
Dua tahun lalu anggota DPR dari Fraksi PDIP terlibat cekcok di fraksinya. Kejadian itu mengundang perhatian wartawan. Besoknya, menjadi berita hangat dari Senayan. Saya pun memandang kejadian itu perlu menjadi objek tulisan saya di Indo.Pos. Saya pun menulisnya begini:

PDIP dan Simbol Perjuangan

Tingkah laku memuakkan kembali diperagakan sejumlah anggota DPR RI, Jumat (17/3). Dua anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) nyaris adu jotos. Entah apa, Murdaya Poo dan Irmadi Lubis hampir berantam di ruang rapat fraksi mereka. Rupanya perbedaan pendapat bagi mereka bisa identik dengan perkelahian.
Masih teringat ketika sejumlah anggota dewan bertindak tidak etis saat rapat parpurna DPR membahas kenaikan harga BBM. Effendy Simbolon Aria Bima, dan lainnya menggebrak meja pimpinan sidang. Effendy Simbolon dan Aria Bima juga berasal dari FPDIP. Sayang sekali, contoh itu menular ke Murdaya Poo dan Irmadi Lubis. Tidak sepakat langsung main keras.
Sebelumnya juga anggota FPDIP Jacobus Camarlo Mayong Padang dan Panda Nababan sempat tegang. Itu jauh sebelum yang terjadi di ruang rapat fraksi Jumat lalu. Di Banten, Marissa Haque dan Jayengrana saling teror ketika istri Ikang Fauzi itu ‘masuk’ ke Banten menjajaki kemungkinan ikut bursa calon gubernur dari PDIP.
Ketegangan-ketegangan dari elite-elite PDIP ini sesungguhnya masih lumrah. Di partai politik, polemik dan ketegangan selalu menghiasi perjalanannya. PDIP apalagi. Partai ini secara historis sangat kuat di tingkat akar rumput. Partai ini diibaratkan sebagai simbol perjuangan. Masuk PDIP berarti harus rela dicap sebagai pejuang untuk wong cilik.
Masalahnya, tidak semua berjalan secara bagus. PDIP sendiri sering berhadapan dengan tembok besar ketika harus memperjuangkan aspirasi wong cilik. Sebelum keluar, mereka harus adu debat dulu. Syukur-syukur tidak terjadi ketegangan seperti yang pernah terjadi.
Nah, ketegangan antara Murdaya Poo dan Irmadi Lubis sebenarnya adalah pertentangan kecil dari sebuah keinginan untuk memperjuangkan wong cilik. Soalnya, pertentangan itu adalah bagian dari polemik besar, yakni masalah Blok Cepu, TDL, dan Freeport. Keduanya punya argumen berbeda dalam menyikapi angket Blok Cepu dan sikap terhadap Freeport.
Murdaya yang berangkat dari latarbelakang pengusaha, melihat dari sisi bisnisnya. Sepertinya, suami dari Siti Hartati Murdaya ini menganggap jika blok Cepu dikelola ExxonMobil lebih menguntungkan Pertamina dari sisi bisnis. Ini kontras dengan pikiran Irmadi Lubis yang melihat dari sisi politisnya saja. Dua kutub yang memang kadang tidak bisa didamaikan.
Pendekatan bisnis terhadap polemik Blok Cepu, oke. Hitung-hitungannya ada. Murdaya Poo mungkin sudah tahu efeknya bagi Pertamina dan pemerintah. Pendeknya, bisnis selalu melihat dari untung ruginya. Sebaliknya, politik melihat dari kalah atau menangnya. Irmadi melihat pemerintah melalui Pertamina kalah, seperti halnya pendangan para elite politik dan teknokrat.
Kalau pada kelanjutannya keduanya ngotot, itulah masalahnya. Dua kutub pikiran yang sulit dipertemukan. Sayangnya, ketegangan terjadi karena keduanya mengabaikan satu hal: yakni keinginan partai. Padahal, seperti disebutkan tadi, bahwa partai –dalam hal ini PDIP– adalah simbol perjuangan. Semua harus berjuang ke satu titik.
Masih ingat ketika Sekretaris FPDIP DPR Jacobus Camarlo Mayong Padang mogok makan di DPR ketika rapat paripurna memutuskan soal kenaikan harga BBM? Politisi dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel), itu ‘mengunci’ mulutnya karena gagal menahan laju kenaikan harga BBM. Dia sakit, dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit.
Itukah simbol perjuangan dari PDIP? Rasanya tidak juga. Sebab, tak semua bertingkah seperti Cobu, atau Murdaya Poo atau Irmadi. Juga tak seperti Effendy Simbolon dan Aria Bima atau Panda Nababan. Itu hanya bagian dari sekian cara untuk menuju ke satu titik. Berkelahi, adu jotos, gebrak meja atau mogok makan memang salah satu cara untuk menjustifikasi sebuah perjuangan.
Tapi masalahnya, semua cara tidak semua pula bisa efektif. PDIP sendiri selalu gagal ketika harus betarung di DPR RI. Hak angket untuk kenaikan harga BBM gagal, hak angket untuk impor beras juga gagal, akhirnya bikin tim sendiri. Dukungan ke Ryamizard Ryacudu juga patah, penolakan terhadap Freeport bisa jadi gagal juga, termasuk Blok Cepu.
Lalu apa yang bisa mendorong PDIP sukses di legislatif? Dari jumlah kursi di dewan, PDIP sedikit di bawah Golkar – kongsinya dalam koaliasi kebangsaan. Golkar tambah kuat lantaran PD, PBB, dan PKS menjadi sumbu-sumbu mereka. Praktis, PDIP jalan sendiri, kecuali giat ‘menggarap’ fraksi lain yang dalam hal lain sejalan pikiran dan langkah.
Sayangnya, di internal PDIP sendiri sulit satu suara. Jacobus Camarlo Mayong Padang versus Panda Nababan, Murdaya Poo v Irmadi, dan sikap reaktif sejumlah anggotanya terhadap kebijakan pemerintah, adalah salah satu contohnya. Simbol perjuangan partai lebih pada individu-individu, lebih partial, jauh dari kolektivitas.