20 Juli 2008

Gonjang-ganjing DAK Pendidikan (1)

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Dan kita dihadapkan masalah klasik: biaya pendidikan. Niat pemerintah untuk menggratiskan pendidikan tampaknya masih jauh. Yang bisa dilakukan untuk sementara adalah program BOS dan DAK pendidikan. Soal DAK ini saya menuliskan di Indo.Pos pada Desember 2007 silam. Berikut saya tuangkan lagi di blog ini secara bersambung.

Muncul Pemain Baru, Ada Bermodal Katalog

KEBIJAKAN pemerintah di bidang pendidikan cukup membesarkan hati. Triliunan rupiah dana dikucurkan untuk itu. Ada dana Dekon, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sekolah menjadi ‘silau’, sampai-sampai muncul banyak kasus.
DANA Alokasi Khusus telah tiga tahun digelontorkan ke sekolah-sekolah. Awalnya DAK pendidikan ini hanya untuk membantu merenovasi sekolah yang dulu dibangun secara massal oleh proyek Inpres pada 1970-an–1980-an. Pada 2003 jumlah DAK pendidikan baru Rp 625 miliar, lalu tahun berikutnya naik menjadi Rp 652,64 miliar. Tahun 2005 naik lagi menjadi Rp 1,21 triliun. Tahun ini melonjak lagi hingga Rp 1,92 triliun.
Memang pada tahun-tahun pertama dan kedua itu diperuntukkan bagi merenovasi ribuan bangunan SD yang rusak. Data dari Depdiknas menunjukkan dari 149.454 sekolah dasar (SD) di seluruh Indonesia, sebanyak 56 persen mengalami kerusakan. Karenanya, pada 2003 DAK pendidikan dipakai untuk merenovasi 6.908 gedung SD yang rudak di 287 kabupaten/kota.
Pada 2004 dana dialirkan ke 302 kabupaten/kota untuk memperbaiki 7.251 SD yang rusak. Tahun lalu, jatah DAK dipakai untuk merenovasi 13.567 gedung SD di 333 kabupaten/kota. Jadi total dari tahun 2003 sampai 2005 anggaran DAK telah berhasil merenovasi 51.248 gedung SD. Sesuai pelonjakan anggaran, DAK 2006 akan merenovasi lebih banyak lagi gedung SD yang tersebar di 434 kabupaten/kota.
Melonjaknya jumlah DAK Pendidikan tahun ini dikarenakan bukan hanya untuk fisik saja. Tapi juga untuk penunjang kualitas pendidikan. Anggaran sebesar Rp 2,91 triliun itu, berdasarkan edaran Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas No 1591/C/KU/2006, masing-masing sekolah mendapat jatah Rp 220 juta. Dari jumlah itu, Rp 80 juta dipakai untuk renovasi gedung sekolah/ruang kelas, Rp 20 juta untuk renovasi rumah kepala sekolah/penjaga sekolah, dan rehab sanitasi MCK Rp 10 juta.
Kemudian ada perbaikan mebelair sebasar Rp 22 juta, pengadaan lemari perpustakaan/locker sebesar Rp 3. 650.000, pengadaan paket alat peraga pendidikan Rp 21.400.000, pengadaan paket buku pengayaaan keterampilan siswa Rp 20 juta, pengadaan buku referensi untuk perpustakaan Rp 33.400.000, dan administrasi perpustakaan Rp 1.550.000.


RAJIN MEMANTAU: Direktur Pembinaan TK-SD Depdiknas RI, Moedjito.


Dana-dana besar ini diserahkan langsung ke sekolah melalui rekening sekolah. Ini sangat berbeda dengan proyek-proyek Inpres yang dulu dibangun secara massal dan terpusat. Kini, sekolah diberi kewenangan mengelola jatahnya sendiri. Secara material sekolah mendapat alokasi dana yang besar, tapi di sisi lain sekolah sudah digiring untuk ‘bermain mata’ dengan dunia usaha, khususnya kontraktor, penerbit, distributor buku, dan toko-toko furnitur.
Dari sinilah kemudian timbul berbagai masalah. Penerbit, agen dan distributor buku menjadi pemain baru dalam memanfaatkan DAK ini. Berbagai cara dilakukan agar buku-buku terbitan dapat masuk ke sekolah-sekolah. Ada yang menggandeng pejabat pusat, anggota legislatif, dan kekuatan lain.
Parahnya, oknum dari luar penerbit pun ikut ‘ambil bagian’. Modalnya cukup catalog buku dan alat peraga yang seolah-olah suatu konsorsium. Ini terjadi di Magelang, Semarang, Bandung, Jogja, Maluku, dan Soppeng.
Direktur Pembinaan TK-SD Depdiknas, Moedjito, mengakui memang ada potensi DAK ini diselewengkan oleh para oknum. Namun pihaknya juga berharap agar institusi pengawas bisa berperan besar mengontrolnya. “Memang Bawasda dan Komite Sekolah adalah institusi resmi. Tapi masyarakat pun diminta melaporkan jika melihat ada penyimpangan,” katanya kepada Indo.Pos kemarin. (bersambung)