07 Juli 2007

Kuliah, Balap, dan HMI

DUNIA MAHASISWA
Masa-masa mahasiswa adalah masa yang menyenangkan. Meski merupakan masa transisi dari remaja ke dewasa, ada tiga tema utama di dunia ini. Yaitu pesta, buku, dan cinta. Tidak banyak juga yang bisa menikmati masa-masa menyenangkan di bangku mahasiswa. Mereka yang bekerja sambil kuliah sangat terproteksi waktunya. Yang dikejar adalah bagaimana lulus cepat, dapat titel untuk mendukung pekerjaan, dan tentu saja status sosial.
Saya termasuk yang tidak seperti itu. Dunia mahasiswa saya nikmati betul. Mulai dari perpeloncoan hingga tamat. Di masa pelonco, saya termasuk bandel. Ikut semua kegiatan, tapi satu hari bolos. Bukan karena apa. Beberapa minggu sebelumnya saya sudah daftar ikut grasstrack, sebuah arena balapan resmi yang diselenggarakan Ikatan Motor Indonesia (IMI) Sulawesi Selatan. Waktu itu IMI Sulsel dipimpin Halim Kalla (adiknya JK). Nah, hari H-nya balapan adalah di saat saya masih pelonco. Aku bolos.
Di arena grasstrack, saya sungguh tidak beruntung. Dari 20 peserta start, kelas bebek tune up 125 cc, saya hanya finis di urutan 10. Itu karena start pertama juga tidak bagus. Yang menyalip saya terjatuh pas di depan motor saya. Saya terhambat belasan detik. Oh, ya, saya memakai nomor 444 (bukan 46 seperti milik Valentino Rossi) dengan motor Suzuki bebek warna cokelat. Foto-foto saat balapan aku perlihatkan di sini.
Tak hanya tidak beruntung. Saya juga mengalami kecelakaan hebat. Saat tim pulang bareng, saya justru pulang sendiri dengan mengendarai motor Vespa PX 2000 milik ponakan. Di jalan tol, saya mencoba melampaui sebuah mobil boks, namun dari depan mucul mobil sedan yang juga melaju kencang. Braak!! Saya sudah di rumah sakit. Melihat motor yang hancur berantakan, pikiran orang pengemudinya pasti meninggal. Alhamdulillah saya hanya rawat jalan.
Sembuh, hari pertama kuliah saya lalui dengan senang. Lupakan balapan, lupakan kecelakan. Saatnya fokus pada kuliah. Maklum mahasiswa baru. Apalagi kampus saya adalah perguruan tinggi Islam swasta terbesar di Indonesia Timur. Saya memilih fakultas ekonomi dan mengambil jurusan manajemen perusahaan. Dari masa perkenalan di perpeloncoan saya sudah menonjol. Dalam waktu cepat saya sudah gaul dengan sejumlah kakak senior. Itu pula yang membuat saya terlibat dalam pengelolaan acara malam inougurasi mahasiswa baru Fakultas Ekonomi UMI Makassar.






Setahun kuliah, saya pun memberanikan diri masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Saya tertarik karena para senior yang banyak membimbing saya pintar-pintar dan cerdas. Mereka ternyata digembleng di di HMI. Tahun 1984 saya training dasar HMI. Kami digodok, ditempa, dan dilatih menjadi mahasiswa yang kritis, intelektual. Tak lupa didoktrin berdasarkan nilai dasar perjuangan HMI.
Salah satu yang saya ingat ketika itu adalah, di saat training meledak peristiwa Tanjung Priok. Di dalam ruang training kami seperti dihasut untuk membenci militerisme. Korban di Tanjung Priok umumnya adalah berasal dari Makassar. Maklum di Tanjung Priok Jakarta itu dihuni banyak pendatang dari Bugis Makassar. Saya terpancing, dan mengajak yang lain turun ke jalan.
Dari Basic Training HMI, aku merasakan ada efek positif dalam diri saya. Aku pun mulai enjoy ber-HMI. Mulai dari menyelenggarakan training HMI angkatan berikutnya. Selanjutnya saya aktif di berbagai program HMI, hingga menjadi pengurus komisariat. Tak hanya itu, saya lalu nenjadi pengurus Korkom UMI. Lanjut lagi hingga pengurus cabang.
Tahun 1996 asas tunggal pancasila mulai diperdebatkan. Di HMI Makassar terjadi dua friksi. Yang menolak dan yang menerima. Pengurus cabang yang sah sangat menolak asas tunggal. Ketua cabang waktu itu Yasin Ardhi (kini di Partai Bulan Bintang) adalah penentang keras asas tunggal pancasila.
Saya dan rekan-rekan dari UMI, sebagian dari IAIN dan IKIP berdiri di pihak yang setuju. Terjadi friksi yang kencang. Yang menerima asas tunggal cukup kuat dari segi pengaruh dan massa. Tak heran kalau kemudian terjadi konferensi istimewa HMI cabang Makassar. Menariknya, saya adalah ketua panitianya. Acara itu membonceng dari kegiatan intermediate training yang diselenggarakan oleh Korkom UMI. Saya ketua panitia training dan didaulat menjadi ketua panitia konferensi istimewa.
Hasil konferensi istimewa dibawa ke Jakarta, ke PB HMI. Ketua Umum PB HMI Harry Azhar Aziz (kini jadi anggota DPR RI) dengan enteng mensahkan hasil konferensi istimewa. Harry A Azis harus teken, sebab kalau tidak HMI akan dibekukan oleh pemerintah. Kongres HMI di Padang cukup alot karena kubu penolak asas tunggal juga makin kuat. Mereka dibantu Tamzil Linrung, Eggy Sudjana, Zulvan Lindan, dll. MS Kaban pun kabarnya termasuk yang menolak asas tunggal waktu itu. Jakarta yang dimotori Bursah Zarnubi masih wait and see. Di Kongres XVI Padang itulah asas tunggal pancasila gol menjadi dasar/azas HMI.
Pulang dari Padang, Makassar masih tegang. Pengurus HMI Makassar hasil konferensi istimewa boleh dikata tidak diperkenankan masuk sekretariat HMI cabang. Itu karena sekretariat dikuasai Yasin Ardhi cs. Akibatnya pengurus hasil konferensi harus menjadi sekretariat berjalan. Itu berlangsung hampir setahun. Sesudahnya, dilakukanlah konferensi bersama. Terpilih jadi ketua Andi Pangerang Muntha. Saya masuk sebagai ketua III bidang kemahasiswaan.
Konferensi berikutnya Aziz Kahar Muzakkar terpilih, kemudian berikutnya saya mencoba maju sebagai kandidat. Sayangnya saya kalah 20-an suara dari idham Halid. Musda Badko Indonesia Timur lalu menjadi perhatian saya. Sayangnya bukan pula saya yang terpilih tapi Gusti Firmansyah. Cuma yang disahkan oleh PB HMI adalah Toni Hamzah. Saya hanya jadi Bendahara umum, namun saya mundur. Banyak pertimbangan saya mundur, selain saya harus fokus menyelesaikan kuliah.
Di HMI saya sudah mengecap masa-masa keemasan. Jenjang training yang tertinggi yang saya ikuti adalah Pusdiklat (semacam Lemhanasnya HMI). Saat Pusdiklat saya satu tempat dengan Yahya Zaini (kini di Golkar). Pada saat Saloka Pengkaderan saya juga satu tim dengan Yahya Zaini yang waktu itu sebagai ketua umum HMI Cabang Surabaya. Ketua umum PB HMI dipegang Ir Saleh Halid. Halid mengalahkan Abidinsyah Siregar dalam Kongres XVI Padang.
Sambil kuliah dan aktif di HMI saya sebenarnya telah pula mengembangkan diri di bidang tulis menulis. Beberapakali tulisan saya dimuat di koran lokal seperti di Pedoman Rakyat, Harian FAJAR, kemudian pernah pula menulis di Majalah Mahasiswa UII Jogyakarta, dan Majalah Jakarta-Jakarta. Ketekunanku menulis mengubah cita-cita saya untuk menjadi wartawan profesional. Ini juga karena kekaguman saya terhadap para jurnalis di Majalah Tempo. Mereka menulis sangat apik, liputannya sangat mengagumkan. Saya harus menjadi seperti mereka.
Tamat, saya akhirnya melamar menjadi wartawan di Harian FAJAR. Modalnya Cuma kumpulan kliping tulisan di berbagai media plus sertifikat HMI. Saya diterima Aidir Amin Daud, waktu itu wakil pemimpin redaksi Harian FAJAR. Di dalamnya sudah bergabung Hazairin Sitepu (kini direktur radar Bandung dan Radar Bogor, juga Ketua Dewan Pengawas TVRI). Ada pula Sukriansyah S. Latif (kini Direktur umum PT Fajar Group), dan Waspada Santing, Ir Suwardi Tahir, dan lain-lain.