07 Juli 2007

Masa-Masa Awal di Jurnalistik

Hari-hari pertama di Harian FAJAR cukup menyenangkan. Saya tak menyangka bisa diterima oleh harian yang berada di bawah nama besar Jawa Pos itu. Pagi mengejar sumber berita, sore pulang, menulis berita, dan menyetor ke redaktur. Begitu tiap hari. Aidir Amin Daud, wakil pemi pin redaksi, diam-diam terus mengamati potensi dan hasil kerja saya. Tiga bulan masa percobaan saya lalui dengan baik. Melihat saya cukup bisa diandalkan, saya dipatenkan sebagai reporter. Tiga bulan berikutnya, saya dijajal lagi untuk pekerjaan editing. Hasilnya saya diminta jadi ‘penjaga gawang’ salah rubrik mingguan.


GAMBAR KETIKA MEMBAWAKAN ORASI ILMIAH DI KAMPUS STAIN KENDARI, DALAM RANGKAIAN PELUNCURAN MEDIA MAHASISWA STAIN KENDARI.

Dari rubrik mingguan saya dipercaya menjagagawangi halaman internasional. Tidak terlalu sulit mendapatkan beritanya, karena link berita cukup tersedia dari Jawa Pos. Tinggal pilih dan mengambil yang dibutuhkan. Namun ketika perang Teluk meletus, halaman internasional menjadi pertarungan. Saya pun harus mengikuti perkembangan detik per detik perang di Teluk Parsia itu. Bersyukur, fasilitas dengan parabola dan jaringan internet sudah tersedia di kantor. Sesekali saya menulis tentang perang di Timur Tengah itu.
Menjaga rubrik internasional memaksa saya juga harus tahu banyak perkembangan politik belahan dunia lainnya. Tulisan mengenai kisah hidup dan asmara Winnie Mandela, istri Nelson Mandela, pun pernah saya ulas habis. Dunia internasional cukup kaya dengan beragam informasi. Yang menarik perhatian saya adalah dinamika dan perkembangan bangsa Turki. Negara yang berpenduduk mayoritas muslim itu begitu cepat menerapkan sekularisme. Peran Kemal Attaturk tak bisa dikesampingkan dalam perubahan mendasar di negara itu.
Tak lama di rubrik ini, saya dipindah menangani berita-berita Indonesia Timur. Tak masalah karena saya juga cenderung beriorientasi ke sana, terutama di Sulawesi Tenggara (Sultra). Sebelum dapat tugas di Sultra, saya sempat ditunjuk ikut meliput PT Semen Tonasa yang akan Go Publik. Bersama petinggi Semen Tonasa, saya kembali menginjakkan kaki di Jakarta. Sebelumnya saya sudah sering ke Jakarta semasa aktif di HMI. Tapi kali ini beda, yaitu melakukan tugas jurnalistik di luar Sulawesi.


BERSAMA SUDIRMAN, WARTAWAN SURYA DI KENDARI SAAT BERPOSE DI ATAS KRI SURA, SALAH SATU KAPAL PERANG JENIS PATROLI YANG DIMILIKI RI.

Tahun 1991 aku minta izin cuti kawin di Sulawesi Tenggara. Tanggal 14 Juli itu sangat bersejarah dalam hidup saya. Wanita yang terpilih mendampingi hidup saya adalah adik kelas semasa di kampus. Dia juga junior saya di HMI. Namanya Kasmawati Kasim Marewa. Dia junior tapi dia jusru lebih dulu selasai kuliahnya. Saya terhambat karena larut dalam aktivitas di HMI. Satu foto perkawinan saya tampilkan di sini.



Saya tertarik pada suatu kampung yang terkenal dengan nama Tosiba. Tosiba adalah singkatan dari Tondong, Sinjai dan Balangnipa. Tondong adalah sebuah kawasan di Sulawesi Selatan. Begitu juga Sinjai dan Balangnipa. Mengapa nama daerah di Sulsel itu ada di Sultra? Ternyata kampung Tosiba memang diisi para pendatang dari Sulsel. Merekalah yang merambah kawasan itu dari hutan menjadi sebuah kampung yang meraih predikat kampung terbaik di Sultra.
Para pendatang dari Sulsel itu ibaratnya hidup dengan cara nomaden. Di hutan Kolaka itulah baru mereka memantapkan diri untuk menetap. Sayangnya banyak di antara mereka yang gugur karena diterkam binatang buas. Ada yang cacat, bahkan ada pula yang tidak tahan dan lari menyelamatkan diri ke ibu kota Kabupaten Kolaka. Mereka hidup di hutan. Liputan saya cukup mendapat apresiasi, beberakali saya sambung dengan tema yang berbeda-beda.
Tiga hari di sana barulah saya pulang ke Kendari. Sayang, baru semalam, saya sudah dapat kabar duka. Ayah saya meninggal di Makassar. Saya terpukul karena benar-benar kehilangan orang yang saya kagumi. Semangat hidup saya runtuh. Saya balik ke Makassar seolah tak akan ke mana-mana lagi. Pekerjaan saya hanya dari rumah ke kantor, begitu tiap hari. Saya pun rasanya sudah malas pulang ke Kendari. Padahal istri saya terus menunggu di sana.
Ah, saya tidak boleh larut. Aku harus kuat. Dan baliklah aku ke Ibu kota Sultra itu. Hari terus berlalu. Untuk menghilangkan perasaan sepi, aku dan istri membuka usaha pengetikan komputer. Itu tahun 1991. Itulah satu-satunya usaha pengetikan komputer yang ada di Kendari. Banyak yang datang mengetikkan skripsi, makalah, paper, bahkan hampir semua pengacara datang mengetikkan replik dan dupliknya ke saya. Saya mulai bergairah kembali, sampai tahun berganti.
Suatu hari di saat sedang di rumah, tiba-tiba aku mendapat telepon dari Redaksi Jawa Pos Surabaya. Yang menelepon namanya Mahiyuddin Lakawa. Dia mengaku sebagai KL (kordinator liputan) di Jawa Pos. Senang karena inilah pertama kali saya berhubungan dengan Jawa Pos, koran yang waktu itu sudah menjadi yang terbesar di Jawa Timur.


BERFOTO BERSAMA DENGAN PARA WARTAWAN JAWA POS INDONESIA TIMUR. SEBELUM KRISIS TIAP TAHUN Jawa Pos MENGADAKAN PERTEMUAN REGIONAL SESAMA WARTAWAN YANG BERTUGAS DI INDONESIA TIMUR. DUA KALI DILAKUKAN DI BALI. SAYA KEDUA DARI KANAN

Tidak banyak yang kami bicarakan, tapi intinya bahwa Harian FAJAR telah merekomendasikan saya menjadi koresponden Jawa Pos di Kendari. Ada tiga nama yang direkomendasikan, yaitu Asmadi, Farid Ma’ruf, dan saya. Ketiganya adalah orang FAJAR juga. Namun yang dipilih adalah saya. Aku terima. Mulai saat itulah saya resmi menjadi koresponden Jawa Pos di Kendari.