28 Agustus 2007

Konfrontasi Melawan Kapolda (3)

TAK sedikit reaksi yang mucul atas sikap Kapolda tersebut. Komunitas pers terutama. Sebagai ketua AJI yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, saya tetap pada keyakinan tidak bersalah. Maka untuk melawan, saya harus menggalang kekuatan pers untuk mempertanyakan sikap Kapolda Amir Iskandar Panji. Sebab sikapnya sangat bertolak belakang dengan kebebasan pers.
Melalui pertemuan PWI, AJI, PWI Reformasi, dan organisasi pers lainnya, disepakati membuat sebuah pernyataan sikap mengecam Kapolda Sultra yang anti kebebasan pers. Salah satu inti pernyataan PWI, AJI, dan PWI Reformasi tersebut adalah meninjau keberadaan Kapolda Amir Iskandar Panji di Sultra. Khusus Kendari Ekspres telah menyatakan berkonfrontasi.
Perlawanan terhadap Kapolda dikembangkan dengan menggalang kekuatan dari elemen masyarakat lain. Pertama-tama saya mendatangi aktivis mahasiswa Sultra. Presiden mahasiswa Unhalu dan jajarannya menyokong langkah saya. Mereka pun memakai isu arogansi untuk pencopotan Kapolda Sultra. Hidayatullah, aktivis mahasiswa Unhalu, bergerilya selama sepekan mengambil tandatangan semua senat mahasiswa dan BPM Unhalu. Pernyataannya adalah minta Kapolri mencopot Kapolda Sultra. Hidayatullah kini menjadi tokoh pergerakan di Sultra dengan lembaga Majelis Amanat Rakyat (Mara) Sultra.
Selain menggalang komunitas pers dan mahasiswa, saya juga bergerilya di kalangan ormas kepemudaan dan LSM. Dalam pertemuan dengan mereka di kantor milik Arsyad Abdullah, saya mendapat dukungan penuh para LSM dan ormas pemuda tersebut. Ketua KNPI Sultra Dra Endang Abbas Buraera tak ketinggalan membubuhkan tandatangannya untuk sebuah pernyataan sikap ke Kapolri. Intinya sama, minta Kapolda Amir Iskandar Panji dicopot.




Dukungan dari komunitas pers dan elemen pemuda sudah saya genggam। Berikutnya, saya mendekat ke legislatif. Saya lantas menyurat ke pimpinan DPRD untuk dilakukan hearing terkait kasus tersebut. Surat saya ditanggapi secara baik. Tiga hari kemudian kami hearing dengan pimpinan DPRD Sultra. Saya hadir bersama empat wartawan Kendari Ekspres, seorang redaktur, dan seorang dari pengacara kami.
Dialog dengan wakil ketua DPRD Sultra H Andrey Jufri SH berlangsung santai tapi serius. Kami membeberkan kronologis sampai Kapolda Sultra menempuh jalur hukum. Dewan paham, namun tidak dapat berbuat banyak karena hanya pertemuan satu pihak. DPRD hanya berjanji untuk menengahi. Akan ada pertemuan berikutnya untuk mempertemukan pihak Kendari Ekspres dengan pihak Kapolda.
Benar, seminggu kemudian Kendari Ekspres menerima undangan hearing dengan peserta kedua belah pihak. Saya senang karena inilah saatnya ada institusi yang bersedia menengahi konflik panjang ini. Sorenya, saya ditelepon Ketua DPRD H Hino Biohanis bahwa pertemuan akan berlangsung bersamaan dengan pihak Kapolda Sultra. Namun pagi sebelum kami ke DPRD, Pak Hino menelepon lagi menyampaikan hearing dibagi dua sesi. Pihak Kapolda di sesi pertama, baru kemudian hearing dengan Kendari Ekspres.
Saya kaget. Apa bedanya dengan hearing sebelumnya yang hanya sepihak. Mengapa pihak Polda tak mau hearing dengan Kendari Ekspres, padahal DPRD telah siap menengahi. Ini memancing kemarahan elemen mahasiswa dan LSM. Buktinya, saat sesi pertama digelar, 50-an mahasiswa dan 30-an aktivis LSM berorasi minta agar DPRD mengusulkan pencopotan Kapolda Sultra. Mereka membawa spanduk, poster dan pamflet. Intinya satu: Kapolda Sultra arogan dan harus segera dicopot.
Kapolda hearing dengan membawa jajarannya. Ada wakapolda, ada Kapolres, Kabid Humas Polda, Kadit Serse Polda, dan beberapa penyidik dalam kasus pencemaran nama baiknya. Saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Kami hanya bisa menunggu giliran hearing. (bersambung)

20 Agustus 2007

Konfrontasi Melawan Kapolda (2)

PERTEMUAN dengan Kapolda saya pikir semua sudah bisa cooling down. Apalagi waktu itu bulan puasa. Ternyata tidak. Kapolda terus mengumbar amarah. Tengah malam, di saat saya tengah bersiap tidur, telepon berdering. Yang angkat istri saya. Telepon di tengah malam itu mencari saya. Tidak diberitahu dari mana, tapi mencari Syahrir Lantoni.
Maaf dari mana? tanya saya. "Ini Kolonel Polisi Amir Iskandar Panji, Kapolda Sulawesi Tenggara!" jawabnya dengan nada tinggi. Saya tersentak, ada apa lagi? Dia minta agar kaset berisi rekaman pernyataan Kapten Boy di PN Kendari diserahkan kepadanya. Saya tolak dengan berbagai pertimbangan. Pertama, itulah alat bukti saya untuk membela diri jika di kemudian hari harus berhadapan hukum dengan Kapolda. Kedua, tidak ada kewajiban saya atau pers menyerahkan peralatan tugas pers kepada siapa pun. Sebab kaset rekaman bukanlah barang bukti, tapi alat bukti Kendari Ekspres untuk membuktikan bahwa liputannya tidaklah bohong.
Sayangnya Kapolda tidak terima. Akhirnya dia mengancam, jika tidak menyerahkan kaset itu maka saya harus bertanggungjawab dan menanggung segala konsekuensinya. Ancaman itu serius karena disampaikan dengan nada tinggi sembari menutup telepon dengan kasar. Saya tertegun, tidak mengerti apa yang bakal terjadi. Penolakan saya menjadi tanda saya telah memulai konfrontasi dengan orang nomor satu di kepolisian di daerah ini.
Besoknya, saya langsung cek semua wartawan Kendari Ekspres. Bagaimana situasi dan kondisi di lapangan, sekaligus menanyakan perkembangan kasus Kapolda ini. Selain itu, saya pun menghubungi dua pengacara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari menceritakan permasalahan yang saya hadapi. Arbab dan Baso Sumange Mengerti dan menunggu perkembangan. Sorenya, saya mendengar dua wartawan saya didatangi rumahnya oleh aparat polisi. Mereka berusaha untuk mendapatkan kaset rekaman itu. Satu wartawan saya dikabarkan telah diteror untuk mendapatkan kaset itu.
Syukur Indarwati telah menggandakan kaset itu. Aslinya saya pegang, satu untuk pengacara AJI, dan satu lagi persiapan jika nanti direbut paksa oleh orang-orang Kapolda. Sambil menunggu perkembangan, saya terus memantau situasi dan terus menyiapkan liputan-liputan yang berkaitan dengan kasus Kapolda ini. Ya, saya harus melanjutkan berita ekslusif tersebut.
Di pihak Polda Sultra, ternyata sudah menyiapkan surat panggilan atas laporan Amir Iskandar Panji dalam kasus pencemaran nama baiknya. Besoknya surat panggilan sebagai saksi terlapor saya terima. Surat itu kemudian saya diskusikan dengan Arbab Paproeka dan Baso Sumange. Disimpulkan saya harus dibela karena dilihat dari kasusnya Kapolda sebenarnya salah alamat. Yang bernyanyi Kapten Boy tapi yang kena sasaran Kendari Ekspres. Artinya sikap ngotot Kapolda dinilai sudah arogan. Maka 8 pengacara langsung bergabung untuk membela saya dan Kendari Ekspres.
Surat penggilan sebagai saksi saya penuhi. Tapi di depan penyidik saya menolak tegas diperiksa. Argumen saya, aku bersaksi untuk tersangka siapa? Saya harus tahu dulu siapa tersangkanya. Jangan-jangan saya bersaksi untuk tersangka yang saya tidak tahu sama sekali. Mereka terima, saya pun pulang. Namun saya belum bernapas surat berikutnya menyusul. Hanya selang satu hari, saya sudah jadi tersangka.
  Langkah hukum Kapolda mengundang reaksi। Sebab substansi permasalahan adalah Kapolda salah alamat jika memperkarakan Kendari Ekspres. Itu liputan murni, fakta yang didapat melalui pengamatan langsung di persidangan. Kalau Kapolda ngotot memperkarakan Kendari Ekspres, di situlah Kapolda sebagai pejabat yang bertindak arogan. Isu arogansi inilah yang diusung untuk mengecam langkah Kapolda Sultra. (bersambung)



11 Agustus 2007

Konfrontasi Melawan Kapolda (1)

SAMA halnya ProDem, pada 1999 Kendari Ekspres juga banyak sandungan. Kalau ProDem nyaris digugat perdata oleh Kajati Sultra Soewarsono SH, Kendari Ekspres malah sudah dipidanakan oleh Kapolda Sultra Kol Pol Amir Iskandar Panji. Saya langsung jadi tersangka pencemaran nama baiknya. Bersyukur ada 8 pengacara secara spontan menjadi lawyer kami waktu itu, antara lain Arbab Paproeka SH dan Baso Sumange Rellung SH.
Inilah kasus delik pers yang berat yang menimpa saya. Itu karena korbannya adalah Kapolda yang nota bene dia korban, dia melapor, dan dia pemeriksa. Apalagi kasus pidana selalu berhubungan dengan publik figur. Parahnya, Kapolda tidak mau menggunakan UU Pers yakni UU 40/1999.
Saya tidak menyangka kalau Kapolda marah sekali. Padahal, kasusnya berawal dari tulisan wartawan saya saat meliput langsung di persidangan kasus narkoba di Pengadilan Negeri Kendari. Waktu itu ada sidang kasus narkoba yang melibatkan lima tersangka. Salah satunya anggota Polri. Di peradilan sipil anggota Polri itu hanya jadi saksi. Dia terlibat tapi peradilannya di Mahmil atau DKP (Dewan Kehormatan Perwira) karena statusnya sebagai anggota polisi.
Kapten Boy ditangkap oleh jajarannya sendiri saat pesta sabu-sabu di rumahnya bersama 4 kawannya yang sipil. Sebagai saksi di PN, Boy dikonfrontir oleh hakim. Mengapa terlibat, mengapa sering mangkir dari tugas tapi tiba-tiba ditangkap oleh petugas. Boy bercerita panjang lebar. Cerita Kapten Boy ini dikutip langsung oleh wartawan saya yang meliput.
Salah satunya yang menarik, pernyataan Kapten Boy yang mengaku resah terhadap Kapolda. Kapolda, katanya, selalu minta "jatah" tiap bulan Rp 3 juta dari hasil menangkap dan melepas pelaku narkoba. Memang Kapten Boy ditugaskan khusus dalam operasi narkoba di sana. Nyanyian Kapten Boy itu itu dimuat Kendari Ekspres dengan judul mentereng: Upeti Rp 3 Juta per Bulan buat Kapolda.
Pukulan telak, karena sumbernya langsung di pengadilan yang terbuka untuk umum dan didengar oleh banyak yang hadir. Usai sidang wartawan saya pun masih berniat mewawancarai Kapten Boy. Dia menolak, namun mempersilakan mengutip pernyataannya di persidangan tadi.
Berita itu juga saya kirim ke Jawa Pos di Surabaya. Tak disangka berita itu dibaca Kapolda di atas pesawat selepas transit di Surabaya. Jawa Pos memang dibagi gratis di atas pesawat itu. Muka Kolonel Amir Iskandar Panji merah setelah membaca berita dirinya. Saat tiba di Kendari, berita yang sama dimuat di Kendari Ekspres. Dia tambah berang.
Besoknya muncullah surat bantahan sekaligus udangan jumpa pers dari Kapolda. Semua wartawan penting diundang. Dari Kendari Ekspres saya sendiri yang datang, Kendari Pos ada Hasanuddin. Dari ProDem juga hadir. Reporter koran nasional juga diundang sehingga hari itu kami ada 10 orang di hadapan Kapolda.
Di situlah Kapolda melampiaskan murkanya. Dia berteriak dan menghardik dengan sorot mata yang seolah ingin melumat saya. Perwira polisi ini bahkan bersumpah demi Allah tidak makan sesen pun duit dari Kapten Boy. Saat itu Kapten Boy dimasukkan dalam sel Polda. Untuk membuktikan Kapolda berteriak minta dipanggilkan Kapten Boy dari sel tahanan. “Siap Pak!” kata Boy menghadap Kapolda.
Boy dikonfrontir. Benarkah ada wartawan yang mewawancarai kamu? Boy mengatakan ada yang minta tapi ditolak. "Kalau mau kutip saja pernyataan saya di sidang tadi," jawab Boy. Itulah pegangan wartawan saya. Saat kapolda menanyakan apa ada rekaman, saya jawab ada. Memang waktu itu wartawan saya, Indarwati, melengkapi diri dengan perekam. Kasetnya dia simpan secara baik. Itu pula-lah yang menjadi alat bukti kami melawan tuduhan Kapolda.
Tidak ada kesimpulan dari pertemuan itu Yang ada saya kena damprat habis-habisan. Namun saya yakin kami tidak salah. Saya dan wartawan saya telah menjalankan tugas sesuai aturan. Kami pun punya alat bukti berupa rekaman pernyataan Kapten Boy di pengadilan. Indarwati cukup cerdas dengan menggandakan rekaman itu. (bersambung)

07 Agustus 2007

Membidani Berdirinya Kendari Ekspres




SATU surat kabar lainnya yang berada di bawah payung Jawa Pos Group adalah Kendari Ekspres. Kendari Ekspres adalah koran kedua setelah Kendari Pos. Surat kabar ini mulai dirancang sejak 1999 oleh Alwi Hamu, Direktur Pengembangan Anak Perusahaan Jawa Pos Grup. Alwi yang kini koordinator staf khusus Wapres Jusuf Kalla memanggil saya untuk membicarakan rencana pendirian Kendari Ekspres. Dipanggil pula Sultan Eka Putra untuk membicarakannya.
Pembicaraan dilakukan bertiga di Hotel Aden, Kendari. Banyak nama yang muncul, namun Alwi Hamu memutuskan memakai nama Kendari Ekspres. Format, content, dan segmennya juga diputuskan. Semua kebutuhan seperti kantor dan segala isinya akan diinvestasi dari Harian FAJAR. Alwi menggaransi Kendari Ekspres akan terbit secepatnya.
Sementara Pak Alwi mendelegasikan ke Harian FAJAR untuk mengurus akte perseroannya, saya dan Sultan langsung gerak cepat juga. Kebetulan saya berdua waktu itu sedang tekun-tekunnya mengelola Tabloid ProDemokrasi (ProDem), sehingga ada fasilitas dan SDM yang bisa saya manfaatkan. Format dan isinya saya rancang sendiri dengan membuat print out-nya seukuran A4, masing-masing halaman. Banner dan font-nya juga saya bikinkan simulasi agar didapat yang ideal.
Bersyukur saya mahir program PageMaker dan Photoshop, sehingga rancangan isi dan desain Kendari Ekspres saya buat sendiri sambil mendiskusikan dengan Sultan Eka Putra dan teman-teman lain. Rancangan sudah, font sudah, dan content-nya pun telah oke. Outline-nya sudah ada. Kini yang dibutuhkan bagaimana menerbitkannya. Tapi sebelum itu saya harus konfirmasi aktenya seperti apa, siapa direksinya, dan seterusnya.
Yang aku ingat waktu itu saya ikut bertandatangan akte bersama Alwi Hamu, Syamsu Nur, Dahlan Iskan, dan Mahtum Mastoem (alm). Dari keempatnya tersusun siapa direksi dan komisarisnya. Untuk lebih pasnya, saya masih harus menanyakan Pak Alwi. Misalnya siapa pemimpin umum, siapa pemimpin redaksi-nya, dan siapa pemimpin perusahaannya. Dari Pak Alwi ada gambaran saya jadi pemimpin umum dan pemimpin redaksi. Sultan pemimpin perusahaan. Tapi belakangan Sultan Eka Putra ditarik ke Harian FAJAR.
Dari gerak cepat saya ada harapan kalau koran ini bisa diterbitkan secepatnya. Lebih lagi karena kantor sudah saya siapkan, yaitu ruko 3 lantai milik istri saya. Pengaturannya nanti, ProDem di lantai 3 dan Kendari Ekspres di lantai 2. Istri setuju, namun ProDem merasa saya abaikan. Akhirnya, sambil menunggu 'modal', kami jalan terus dengan mencoba terbit secara mingguan dulu. Cetaknya bukan di Kendari Pos tapi di Harian FAJAR Makassar. Terbit mingguan berlangsung beberapa bulan. Bahkan dalam rentang itu, Kendari Ekspres mengalami kasus gugatan dari Kapolda Sultra Kol Pol Drs Amir Iskandar Panji. Dia keberatan diberitakan menerima upeti Rp 3 juta per bulan dari hasil operasi narkoba. Kasusnya heboh, sampai-sampai DPRD turun tangan melakukan 2 kali hearing. Soal ini akan saya ceritakan berikutnya.

Lomba karaoke adalah salah satu kegiatan koran kendari ekspres। Saat masih mingguan, Kendari Ekspres sudah mengadakan berbagai kegiatan। Selain lomba karaoke di atas, juga sukses mendatangkan Grup Band Sheila on Seven untuk konser di stadion sepakbola Lakidende Kendari


Kasus Kapolda berakhir, Kendari Ekspres menerima kiriman komputer dan perlengkapan lainnya dari Harian FAJAR. Ini tanda bahwa Kendari Ekspres segera terbit secara harian. Tahun berganti sampai akhirnya Pak Alwi dan Pak Syamsu Nur datang untuk memastikan kesiapan kami. Rapat memastikan Kendari Ekspres segera go menjadi harian.
Hari-hari pertama terbit secara harian cukup berat. Kendari Ekpsres harus kuat melakukan penetrasi pasar harian yang sudah didominasi Kendari Pos. Namun begitu, pembaca setia Kendari Ekspres cukup banyak, sehingga ada pasar tersendiri yang terus dibina. Kesan Kendari Ekspres adalah koran kedua di Kendari, memang benar. Namun ada tekad dari pengelola untuk membalikkan keadaan menjadi koran nomor satu.
Untuk itu saya menyiapkan motto yang menjadi pegangan teman-teman. Motto ini saya jadikan wallpaper di semua komputer redaksi. Mottonya adalah “Mata Bagi Sejuta Rakyat, Kata Bagi Sejuta Rakyat, dan Hati Bagi Sejuta Rakyat”. Entah apakah motto ini masih dipakai, namun edisi terakhir yang saya baca di Jakarta format Kendari Ekspres yang ada sekarang nyaris tidak ada perubahan dari sejak terbit pertama.
Entah mengapa sudah 7 tahun tidak berubah-berubah juga, sementara situasi dan kondisi terus mengalami perubahan yang cukup pesat. Kendari Ekspres tidak berubah di tengah perubahan, padahal kita tahu bertahan di tengah perubahan dan tuntutan perkembangan sama halnya kemunduran. Awaknya terlihat kerja keras tapi hasilnya jalan di tempat. Akibatnya muncul rasa capek, jenuh, karena tidak ada kemajuan, dan akhirnya kehilangan motivasi.


04 Agustus 2007

Kajati Marah, Kajati Berang

TABLOID ProDemokrasi banyak sandungan. Ulasan-ulasannya banyak yang membuat orang kebakaran jenggot. Mungkin ini balas dendam setelah kran kebebasan pers dibuka. Para wartawan yang tadinya hidup dalam bayang-bayang pembredelan, kini berubah bebas, bahkan ada yang bablas. Syukurlah ada aturan main yang selalu kami pegang.
Suatu hari ProDem membuat cover depan dengan judul "Kejaksaan Gombal". Judul itu ingin menegaskan bahwa kinerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra sangat amburadul. Reformasi mengagendakan salah satunya adalah penegakan supremasi hukum, tapi kejaksaan saat itu masih jalan di tempat. Istilah gombal dalam hal ini diambil dari bahasa populer sehari-hari. Bukan pengertian dalam bahasa Jawa.
Pelanggaran hukum merajalela, namun kejaksaan hanya janji-janji gombal untuk meringkus pelakunya. Tidak ada action, bahkan banyak yang dipetieskan. Lainnya diselesaikan dengan istilah 86. Ulasan ProDem sangat telak dalam menggambarkan kinerja Kejati Sultra. Maka besoknya, Kajati Sultra, Soewarsono SH, langsung mencak-mencak.



Hari itu adalah hari Jumat. Di saat kantor ProDem sepi, Soewarsono datang. Marah dan mencari pemimpin redaksi ProDem. Sekretaris redaksi bingung. Maklum dia perempuan. Saat saya datang, Soewarsono sudah pulang. Dia menitip pesan berat: Mohon pemimpin redaksi besok datang menghadap Soewarsono SH di ruang kerja Kajati Sultra.
Saya tidak kaget, sebab pejabat di era orde baru adalah pejabat yang haus dilayani, disanjung, dan jangan coba-coba disentuh. Itu terbawa sampai memasuki era reformasi 1998 dan seterusnya. Tidak heran kalau Kajati Sultra marah bukan kepalang.
Besoknya saya memberanikan diri memenuhi panggilannya mewakili pemimpin redaksi (jabatan saya direktur pemberitaan yang membawahi komponen redaksi). Di depan Soewarsono SH saya dibentak-bentak. Marahnya serius sekali. Dia tersinggung lembaganya diidentikkan dengan gombal. Kesimpulannya dia tidak terima penjelasan saya tentang pengertian gombal.
Karenanya dia ingin agar ProDem meminta maaf melalui koran nasional dan koran lokal. Kami tidak terima, sehingga tiga hari kemudian Kajati melayangkan surat panggilan untuk menghadap ke Kajati untuk kembali minta penjelasan mengenai berita tersebut. Saya tidak datang, tapi cukup membalas dengan surat pula yang isinya bahwa penjelasan saya sudah jelas sebagaimana yang saya sampaikan dalam pertemuan sebelumnya.
Sepekan lamanya tidak ada kelanjutan. Namun diam-diam ternyata Kajati sudah menyiapkan kasus ini secara perdata. Satu bundel berkas siap disampaikan ke Pengadilan Negeri (PN) Kendari. Itu saya tahu setelah Kepala LKBN Antara Kendari Rolex Malaha menelpon saya dari ruang kerja Soewarsono SH. Dialah yang mencegat Kajati agar tidak buru-buru membawa kasus ini ke PN Kendari.
Kemudian Rolex menyampaikan opsi bagaimana kalau pihak ProDem datang ke Kejati untuk bertemu lagi dengan Soewarsono SH। Saya tolak, dan minta bertemunya di tempat netral saja. Saya tidak mau bertemu di kantornya. Saya juga tak mau lagi dia datang ke ProDem. Saya sudah menunjukkan netralitas, dia datang ke ProDem aku datang ke Kejati. Dia bersurat, saya balas dengan surat pula. Selanjutnya saya mau di tempat netral.
Lama baru ada jawaban. Tempatnya, Kajati menyerahkan kepada saya. Aku pilih rumah makan Padang yang letaknya di tengah-tengah antara kantor ProDem dengan kantor Kejati Sultra. Jamnya ditetapkan malam, ya saat-saat makan malam. Malamnya dia membawa wakil Kejati, Kajari Kendari, dan kepala Humas-nya. Saya membawa Kepala Iklan, Sultan Eka Putra, Pemimpin Redaksi, Mappajarungi, dan seorang reporter, Andi Sangkarya Amir.
Pertemuan diawali dengan langsung adu argumentasi. Rolex sebagai penengah cukup hati-hati. Soewarsono bertahan dengan keinginannya agar ProDem minta maaf di beberapa media nasional dan lokal, sementara kami bertahan tidak akan meminta maaf kepada Kajati. Kalau mau dilanjutkan terserah. Masih alot meski pada akhirnya pelan-pelan Kajati mengerem sedikit-sedikit keinginannya itu.
Kesimpulannya ProDem siap membuat pengantar redaksi sekaligus mengklarifikasi pengertian gombal tersebut. Tidak ada permintaan maaf kepada Kajati, kecuali kepada masyarakat yang keberatan dengan istilah gombal itu. Sebab istilah gombal sudah sangat memasyarakat. Naskah itu nanti akan dilihat atau dikoreksi oleh Kajati sebelum diterbitkan.
Besoknya, naskah itu saya minnta kepemimpin redaksi, Mappajarungi, untuk dibawa ke Soewarsono untuk diperiksa. Ruapanya dia kurang sreg dengan isinya. Namun akhirnya mencoret beberapa kata yang tidak tepat dalam istilah hukum. Aman. Kami senang.
Malamnya di saat kami diskusi di kantor, tiba-tiba Soewarsono muncul. Ada apa? Jangan-jangan dia berubah pikiran, mau mengubah naskah tadi. Ternyata tidak. Dia datang silaturahmi sekaligus menanyakan kapan Baharuddin Lopa (almarhum, waktu itu masih menjabat Dirjen LP) datang ke ProDem. Kami jawab besok.
Memang besoknya Baharuddin Lopa mengagendakan berkunjung ke ProDem atas fasilitas Alimaturahhim yang mengundangnya ke Kendari. Diagendakan berdiskusi dengan jajaran redaksi di kantor ProDem. Soewarsono adalah teman lama Baharuddin Lopa. Kami tak lupa minta Soewarsono hadir dalam diskusi itu. Dia setuju, semua setuju, semua senang.