SAMA halnya ProDem, pada 1999 Kendari Ekspres juga banyak sandungan. Kalau ProDem nyaris digugat perdata oleh Kajati Sultra Soewarsono SH, Kendari Ekspres malah sudah dipidanakan oleh Kapolda Sultra Kol Pol Amir Iskandar Panji. Saya langsung jadi tersangka pencemaran nama baiknya. Bersyukur ada 8 pengacara secara spontan menjadi lawyer kami waktu itu, antara lain Arbab Paproeka SH dan Baso Sumange Rellung SH.
Inilah kasus delik pers yang berat yang menimpa saya. Itu karena korbannya adalah Kapolda yang nota bene dia korban, dia melapor, dan dia pemeriksa. Apalagi kasus pidana selalu berhubungan dengan publik figur. Parahnya, Kapolda tidak mau menggunakan UU Pers yakni UU 40/1999.
Saya tidak menyangka kalau Kapolda marah sekali. Padahal, kasusnya berawal dari tulisan wartawan saya saat meliput langsung di persidangan kasus narkoba di Pengadilan Negeri Kendari. Waktu itu ada sidang kasus narkoba yang melibatkan lima tersangka. Salah satunya anggota Polri. Di peradilan sipil anggota Polri itu hanya jadi saksi. Dia terlibat tapi peradilannya di Mahmil atau DKP (Dewan Kehormatan Perwira) karena statusnya sebagai anggota polisi.
Kapten Boy ditangkap oleh jajarannya sendiri saat pesta sabu-sabu di rumahnya bersama 4 kawannya yang sipil. Sebagai saksi di PN, Boy dikonfrontir oleh hakim. Mengapa terlibat, mengapa sering mangkir dari tugas tapi tiba-tiba ditangkap oleh petugas. Boy bercerita panjang lebar. Cerita Kapten Boy ini dikutip langsung oleh wartawan saya yang meliput.
Salah satunya yang menarik, pernyataan Kapten Boy yang mengaku resah terhadap Kapolda. Kapolda, katanya, selalu minta "jatah" tiap bulan Rp 3 juta dari hasil menangkap dan melepas pelaku narkoba. Memang Kapten Boy ditugaskan khusus dalam operasi narkoba di sana. Nyanyian Kapten Boy itu itu dimuat Kendari Ekspres dengan judul mentereng: Upeti Rp 3 Juta per Bulan buat Kapolda.
Pukulan telak, karena sumbernya langsung di pengadilan yang terbuka untuk umum dan didengar oleh banyak yang hadir. Usai sidang wartawan saya pun masih berniat mewawancarai Kapten Boy. Dia menolak, namun mempersilakan mengutip pernyataannya di persidangan tadi.
Berita itu juga saya kirim ke Jawa Pos di Surabaya. Tak disangka berita itu dibaca Kapolda di atas pesawat selepas transit di Surabaya. Jawa Pos memang dibagi gratis di atas pesawat itu. Muka Kolonel Amir Iskandar Panji merah setelah membaca berita dirinya. Saat tiba di Kendari, berita yang sama dimuat di Kendari Ekspres. Dia tambah berang.
Besoknya muncullah surat bantahan sekaligus udangan jumpa pers dari Kapolda. Semua wartawan penting diundang. Dari Kendari Ekspres saya sendiri yang datang, Kendari Pos ada Hasanuddin. Dari ProDem juga hadir. Reporter koran nasional juga diundang sehingga hari itu kami ada 10 orang di hadapan Kapolda.
Di situlah Kapolda melampiaskan murkanya. Dia berteriak dan menghardik dengan sorot mata yang seolah ingin melumat saya. Perwira polisi ini bahkan bersumpah demi Allah tidak makan sesen pun duit dari Kapten Boy. Saat itu Kapten Boy dimasukkan dalam sel Polda. Untuk membuktikan Kapolda berteriak minta dipanggilkan Kapten Boy dari sel tahanan. “Siap Pak!” kata Boy menghadap Kapolda.
Boy dikonfrontir. Benarkah ada wartawan yang mewawancarai kamu? Boy mengatakan ada yang minta tapi ditolak. "Kalau mau kutip saja pernyataan saya di sidang tadi," jawab Boy. Itulah pegangan wartawan saya. Saat kapolda menanyakan apa ada rekaman, saya jawab ada. Memang waktu itu wartawan saya, Indarwati, melengkapi diri dengan perekam. Kasetnya dia simpan secara baik. Itu pula-lah yang menjadi alat bukti kami melawan tuduhan Kapolda.
Tidak ada kesimpulan dari pertemuan itu Yang ada saya kena damprat habis-habisan. Namun saya yakin kami tidak salah. Saya dan wartawan saya telah menjalankan tugas sesuai aturan. Kami pun punya alat bukti berupa rekaman pernyataan Kapten Boy di pengadilan. Indarwati cukup cerdas dengan menggandakan rekaman itu. (bersambung)