TAK sedikit reaksi yang mucul atas sikap Kapolda tersebut. Komunitas pers terutama. Sebagai ketua AJI yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, saya tetap pada keyakinan tidak bersalah. Maka untuk melawan, saya harus menggalang kekuatan pers untuk mempertanyakan sikap Kapolda Amir Iskandar Panji. Sebab sikapnya sangat bertolak belakang dengan kebebasan pers.
Melalui pertemuan PWI, AJI, PWI Reformasi, dan organisasi pers lainnya, disepakati membuat sebuah pernyataan sikap mengecam Kapolda Sultra yang anti kebebasan pers. Salah satu inti pernyataan PWI, AJI, dan PWI Reformasi tersebut adalah meninjau keberadaan Kapolda Amir Iskandar Panji di Sultra. Khusus Kendari Ekspres telah menyatakan berkonfrontasi.
Perlawanan terhadap Kapolda dikembangkan dengan menggalang kekuatan dari elemen masyarakat lain. Pertama-tama saya mendatangi aktivis mahasiswa Sultra. Presiden mahasiswa Unhalu dan jajarannya menyokong langkah saya. Mereka pun memakai isu arogansi untuk pencopotan Kapolda Sultra. Hidayatullah, aktivis mahasiswa Unhalu, bergerilya selama sepekan mengambil tandatangan semua senat mahasiswa dan BPM Unhalu. Pernyataannya adalah minta Kapolri mencopot Kapolda Sultra. Hidayatullah kini menjadi tokoh pergerakan di Sultra dengan lembaga Majelis Amanat Rakyat (Mara) Sultra.
Selain menggalang komunitas pers dan mahasiswa, saya juga bergerilya di kalangan ormas kepemudaan dan LSM. Dalam pertemuan dengan mereka di kantor milik Arsyad Abdullah, saya mendapat dukungan penuh para LSM dan ormas pemuda tersebut. Ketua KNPI Sultra Dra Endang Abbas Buraera tak ketinggalan membubuhkan tandatangannya untuk sebuah pernyataan sikap ke Kapolri. Intinya sama, minta Kapolda Amir Iskandar Panji dicopot.
Dukungan dari komunitas pers dan elemen pemuda sudah saya genggam। Berikutnya, saya mendekat ke legislatif. Saya lantas menyurat ke pimpinan DPRD untuk dilakukan hearing terkait kasus tersebut. Surat saya ditanggapi secara baik. Tiga hari kemudian kami hearing dengan pimpinan DPRD Sultra. Saya hadir bersama empat wartawan Kendari Ekspres, seorang redaktur, dan seorang dari pengacara kami.
Dialog dengan wakil ketua DPRD Sultra H Andrey Jufri SH berlangsung santai tapi serius. Kami membeberkan kronologis sampai Kapolda Sultra menempuh jalur hukum. Dewan paham, namun tidak dapat berbuat banyak karena hanya pertemuan satu pihak. DPRD hanya berjanji untuk menengahi. Akan ada pertemuan berikutnya untuk mempertemukan pihak Kendari Ekspres dengan pihak Kapolda.
Benar, seminggu kemudian Kendari Ekspres menerima undangan hearing dengan peserta kedua belah pihak. Saya senang karena inilah saatnya ada institusi yang bersedia menengahi konflik panjang ini. Sorenya, saya ditelepon Ketua DPRD H Hino Biohanis bahwa pertemuan akan berlangsung bersamaan dengan pihak Kapolda Sultra. Namun pagi sebelum kami ke DPRD, Pak Hino menelepon lagi menyampaikan hearing dibagi dua sesi. Pihak Kapolda di sesi pertama, baru kemudian hearing dengan Kendari Ekspres.
Saya kaget. Apa bedanya dengan hearing sebelumnya yang hanya sepihak. Mengapa pihak Polda tak mau hearing dengan Kendari Ekspres, padahal DPRD telah siap menengahi. Ini memancing kemarahan elemen mahasiswa dan LSM. Buktinya, saat sesi pertama digelar, 50-an mahasiswa dan 30-an aktivis LSM berorasi minta agar DPRD mengusulkan pencopotan Kapolda Sultra. Mereka membawa spanduk, poster dan pamflet. Intinya satu: Kapolda Sultra arogan dan harus segera dicopot.
Kapolda hearing dengan membawa jajarannya. Ada wakapolda, ada Kapolres, Kabid Humas Polda, Kadit Serse Polda, dan beberapa penyidik dalam kasus pencemaran nama baiknya. Saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Kami hanya bisa menunggu giliran hearing. (bersambung)