20 Agustus 2007

Konfrontasi Melawan Kapolda (2)

PERTEMUAN dengan Kapolda saya pikir semua sudah bisa cooling down. Apalagi waktu itu bulan puasa. Ternyata tidak. Kapolda terus mengumbar amarah. Tengah malam, di saat saya tengah bersiap tidur, telepon berdering. Yang angkat istri saya. Telepon di tengah malam itu mencari saya. Tidak diberitahu dari mana, tapi mencari Syahrir Lantoni.
Maaf dari mana? tanya saya. "Ini Kolonel Polisi Amir Iskandar Panji, Kapolda Sulawesi Tenggara!" jawabnya dengan nada tinggi. Saya tersentak, ada apa lagi? Dia minta agar kaset berisi rekaman pernyataan Kapten Boy di PN Kendari diserahkan kepadanya. Saya tolak dengan berbagai pertimbangan. Pertama, itulah alat bukti saya untuk membela diri jika di kemudian hari harus berhadapan hukum dengan Kapolda. Kedua, tidak ada kewajiban saya atau pers menyerahkan peralatan tugas pers kepada siapa pun. Sebab kaset rekaman bukanlah barang bukti, tapi alat bukti Kendari Ekspres untuk membuktikan bahwa liputannya tidaklah bohong.
Sayangnya Kapolda tidak terima. Akhirnya dia mengancam, jika tidak menyerahkan kaset itu maka saya harus bertanggungjawab dan menanggung segala konsekuensinya. Ancaman itu serius karena disampaikan dengan nada tinggi sembari menutup telepon dengan kasar. Saya tertegun, tidak mengerti apa yang bakal terjadi. Penolakan saya menjadi tanda saya telah memulai konfrontasi dengan orang nomor satu di kepolisian di daerah ini.
Besoknya, saya langsung cek semua wartawan Kendari Ekspres. Bagaimana situasi dan kondisi di lapangan, sekaligus menanyakan perkembangan kasus Kapolda ini. Selain itu, saya pun menghubungi dua pengacara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari menceritakan permasalahan yang saya hadapi. Arbab dan Baso Sumange Mengerti dan menunggu perkembangan. Sorenya, saya mendengar dua wartawan saya didatangi rumahnya oleh aparat polisi. Mereka berusaha untuk mendapatkan kaset rekaman itu. Satu wartawan saya dikabarkan telah diteror untuk mendapatkan kaset itu.
Syukur Indarwati telah menggandakan kaset itu. Aslinya saya pegang, satu untuk pengacara AJI, dan satu lagi persiapan jika nanti direbut paksa oleh orang-orang Kapolda. Sambil menunggu perkembangan, saya terus memantau situasi dan terus menyiapkan liputan-liputan yang berkaitan dengan kasus Kapolda ini. Ya, saya harus melanjutkan berita ekslusif tersebut.
Di pihak Polda Sultra, ternyata sudah menyiapkan surat panggilan atas laporan Amir Iskandar Panji dalam kasus pencemaran nama baiknya. Besoknya surat panggilan sebagai saksi terlapor saya terima. Surat itu kemudian saya diskusikan dengan Arbab Paproeka dan Baso Sumange. Disimpulkan saya harus dibela karena dilihat dari kasusnya Kapolda sebenarnya salah alamat. Yang bernyanyi Kapten Boy tapi yang kena sasaran Kendari Ekspres. Artinya sikap ngotot Kapolda dinilai sudah arogan. Maka 8 pengacara langsung bergabung untuk membela saya dan Kendari Ekspres.
Surat penggilan sebagai saksi saya penuhi. Tapi di depan penyidik saya menolak tegas diperiksa. Argumen saya, aku bersaksi untuk tersangka siapa? Saya harus tahu dulu siapa tersangkanya. Jangan-jangan saya bersaksi untuk tersangka yang saya tidak tahu sama sekali. Mereka terima, saya pun pulang. Namun saya belum bernapas surat berikutnya menyusul. Hanya selang satu hari, saya sudah jadi tersangka.
  Langkah hukum Kapolda mengundang reaksi। Sebab substansi permasalahan adalah Kapolda salah alamat jika memperkarakan Kendari Ekspres. Itu liputan murni, fakta yang didapat melalui pengamatan langsung di persidangan. Kalau Kapolda ngotot memperkarakan Kendari Ekspres, di situlah Kapolda sebagai pejabat yang bertindak arogan. Isu arogansi inilah yang diusung untuk mengecam langkah Kapolda Sultra. (bersambung)