21 Juni 2008

Yang Ringan dari Tanah Haram 2007 (2)

Jalan-Jalan Malam di Madinah, Mobil Ditilang

KOTA Madinah termasuk kota yang tenang. Sebagai kota tempat ziarah di sana, Madinah sangat beda dengan Mekkah. Mekkah terlihat semrawut, macet dan sedikit panas. Untuk kemajuan kota, Madinah cukup berkembang. Lima sampai 10 tahun lalu Madinah belum begitu responsif atas perubahan. Kini mulai terasa.
Namun yang lebih pesat perubahannya adalah Kota Jeddah. Maklum kota ini adalah kota internasional dengan penduduk dari berbagai negara. Pendatang umumnya dari Philipina, Afrika, Indonesia, India, Pakistan dan Amerika-Eropa. Kota ini pula yang bebas dimasuki orang nonmuslim. Beda dengan Madinah atau Mekkah yang disebut tanah haram. Haram bagi nonmuslim.

PUSAT KOTA: Inilah kawasan Sultana yang menjadi pusat Kota Madinah. Di sini banyak toko dan pusat perdagangan mewah. Gaya western juga terlohat di sini.

Tanggal 19 April rombongan jamaah Assuryaniyah sudah berada di Madinah setelah menempuh perjalanan 5 jam dari Jeddah. Beruntung Masjid Nabawi cukup menyeberang dari hotel tempat jamaah menginap. Tak sulit dapat makanan, buah, minuman dan semacamnya, karena di sekitar hotel berdiri toko-toko dan pedagang. Hanya, jangan coba-coba cari rokok buatan Indonesia. Rokok di sana termasuk barang haram, kecuali rokok-rokok tertentu.
Untuk mencari rokok inilah, sepertinya perlu bantuan. Harus ada orang yang tahu seluk-beluk pedagang rokok atau toko yang yang meu menjual rokoknya di bawah tangan. Kebetulan ada teman asal Indonesia yang sudah 12 tahun bermukim dan bekerja di Arab Saudi. Namanya Tashin Rafie, saudara kandung Barratuttaqiyah, mantan wartawan IndoPos. Dia juga perokok buatan Indonesia. Saya tidak merokok, tapi Akbar justru pusing kalau tidak ngepul.

12 TAHUN DI ARAB: Tashin Rafie (kanan) ketika mengajak jalan-jalan malam sebelum keliling kota dengan Ford Jeep-nya.

Tashin datang malam-malam usai salat magrib. Ngobrol sebentar lalu menunggu salat isa. Usai salat isa bertiga dicapai kesepakatan untuk jalan-jalan menikmati Madinah di waktu malam. Tujuannya adalah keliling kota dan nongkrong di Star Bucks Cafe. Dengan mobil Ford Jeep, bertiga menelusuri tengah kota. Jalan protokol teduh. Mobil mewah tampak berseliweran.
Di Madinah toko-toko akan terus buka sepanjang hari kecuali waktu salat. Malam, toko dan perdagangan buka hingga jam 24.00. Makanya, kami jalan-jalan dulu sebelum mampir ke cafe. Madinah juga sudah modern, brand-brand dan simbol-simbol asing telah tersebar banyak. Mc Donald, KFC, dan pakaian merek-merek Eropa dan Amerika pun tersedia.
Mau cari produk elektronik dan jam tangan bermerek juga tersedia di sana. Ada Time, Tissot, Tag Hauer, Swacth, Rado, Rolex dan sebagainya gampang ditemui. Itulah gambaran Kota Madinah yang sudah mulai terbuka. Lima sampai 10 tahun lalu, Madinah masih disebut kolot. Namun kemajuan dan serbuan teknologi modern memaksa pemerintah Kota Madinah harus terbuka. Handphone sudah bebas digunakan. Tiga operator di sana pun berlomba menambah pelanggannya.

SUDAH TUTUP: StarBucks Cafe di kawasan Sultana yang tutup setelah pukul 12.30 lebih. Kami terpaksa pulang setelah mendapat pengalaman ditilang polisi lalu lintas.

Kami melewati jalan utama menuju kawasan Sultana. Di kawasan ini, menurut Tashin Rafie, adalah kawasan elite di tengah Kota Madinah. Di sanalah tempat nongkrongnya anak-anak muda Madinah. Nongkrong di sana, belanja di sana, dan juga memerkan kekayaannya di sana.
Kami terus bercerita dan berkeliling kota. Karena asyiknya, kami tidak lihat kalau traffic light sudah merah. Mau berhenti tanggung, mau terus juga sayang. Akhirnya harus putar balik. Ya, di perempatan Jl Sultana itu kami harus berbelok 90 derajat untuk menuju ke Star Bucks Cafe. Begitu memutar balik, kami sudah kesemprit polisi lalu lintasnya Madinah. Harus berhenti. Tashin terlihat tegang. Maklum, ganjarannya adalah penjara. Begitu memang bagi pelanggar lalu lintas di sana. “Di sini tak ada sogok-sogokan,” kata agen representatif Tiki di Arab Saudi ini.
Mobil dipinggirkan. Tashin dari jauh mencoba negosiasi. Tapi alot, polisi itu pun mendatangi mobil untuk melihat isi mobil. Saya dan Akbar tetap saja di atas mobil. Tashin melanjutkan nego. Lama, dan sepertinya bakal gagal. Tashin masih punya satu jurus. Dia mengatakan, yang diangkutnya adalah peserta umroh dari Indonesia.
Polisi sedikit kendor. Dari belakang datang lagi, dan memastikan apakah saya dan Akbar benar-benar adalah peserta umroh. Jadinya Tashin hanya ditilang, beruntung tidak dipenjara. Lolos dari polisi lega rasanya. Namun di Star Bucks Cafe kami tinggal melihat pintunya yang sudah tutup. Jam menunjukkan pukul 00.45 di sana. (bersambug)